Category: Ulasan Buku

  • Pray With Your Eyes Open

    Pray With Your Eyes Open

    Doa adalah sesuatu yang pernah saya pikirkan sangat menakutkan, apalagi jika disuruh berdoa di depan umum. Doa juga merupakan hal yang pernah saya pikirkan sangat membosankan. Setidaknya bagi saya yang seringkali begitu mudah merasa jenuh.

    “Hai Mei, Kamis ini kita akan ada mezbah doa di gereja. Ayo ikut!”, seketika itu juga saya merasa risih dan tidak nyaman dengan ajakan seorang teman gereja. Kata mezbah atau persekutuan doa memberikan saya bayangan bahwa setiap orang akan memimpin doa di depan umum. Hal yang sama juga terjadi ketika saya diminta untuk memimpin doa pelayanan. Seketika itu juga, saya dapat merasakan degup jantung saya ketika harus berdoa di depan orang lain dengan bersuara.

    Apa yang salah dalam diri saya? Mungkin saya belum memaknai doa sebagai bentuk komunikasi dengan Tuhan. Pasalnya, kita dapat begitu bersemangat, bahkan mencari-cari waktu untuk bisa mengobrol barang sedikit atau banyak waktu bersama dengan orang yang kita kasihi. Mengapa demikian? Mungkin karena kita mengenal orang yang kita kasihi tersebut, apa yang ingin kita bicarakan kepadanya, apa yang ingin kita ketahui dari orang tersebut, dan lain sebagainya. Seringkali kita takut diminta berdoa di depan umum karena kita tidak tahu apa yang ingin kita bicarakan dengan Tuhan. Atau ketika kita pun mendengar doa yang dipimpin oleh orang lain, bisa saja kita tidak menikmati doa kita dan lupa dalam sekejap apa yang sudah diucapkan dalam doa itu karena kita tidak mengambil waktu tersebut untuk fokus berkomunikasi di dalam doa. Akhirnya kita menjadi orang Kristen yang hanya kelihatannya berdoa, tetapi sebenarnya kita bahkan tidak tahu apa yang kita doakan.

    Kehidupan Doa yang Bermakna

    Markus 1:35 “Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana.”

    Setelah melewati hari yang begitu sibuk, mengumpulkan murid-murid (ay. 16), mengajar di rumah ibadat di Kapernaum (ay. 21), menyembuhkan ibu mertua Petrus dan seluruh penduduk di kota yang sakit dan kerasukan setan (ay. 32), Yesus bangun pagi-pagi benar sewaktu hari masih gelap.

    Pertanyaannya, apakah Yesus sempat beristirahat setelah melewati hari yang begitu panjang? Jawabannya tidak tercatat dengan jelas dalam Alkitab. Yang jelas, Dia memprioritaskan jam berdoanya di atas apapun, bahkan pelayanannya. Mengapa Yesus bisa begitu tekun dan menganggap hal ini penting? Dia sadar bahwa relasi-Nya dengan Bapa di Sorga begitu berharga.

    Doa adalah komunikasi antara orang percaya dengan Tuhan. Dan, komunikasi berkaitan erat dengan relasi. Doa adalah cara berelasi dengan Tuhan. Namun, bagimana caranya kita bisa menikmati waktu-waktu berdoa atau berelasi dengan Tuhan?

    Sebuah buku berjudul Pray With Your Eyes Open yang ditulis oleh Prof. Richard Pratt menjawab permasalahan tentang doa yang saya dan mungkin Anda juga alami. Buku ini membahas tiga elemen di dalam doa yang kita semua harus ketahui dan terapkan dalam doa-doa kita, atau kita akan kehilangan makna dari doa kita.

    #1 Tuhan

    Semua orang Kristen mengerti doa kita ditujukan kepada Tuhan Yesus Kristus. Namun, banyak yang tidak sadar atau tidak peka bahwa mereka telah mereduksi Tuhan seperti pribadi yang jauh dan tidak hidup di dalam doa-doa mereka. Tuhan memiliki begitu banyak peran dalam hidup kita. Ada yang menganggap Dia seperti sahabat, ayah, pahlawan, dan lain sebagainya. Sadar atau tidak sadar, pandangan kita tentang Tuhan dan sifat-Nya sangat mempengaruhi bagaimana kita berdoa. Tuhan memiliki begitu banyak karakter. Dia sempurna, kasih, kudus, adil, maha pengampun, indah, hidup, sedih, dan dapat juga marah.

    Sayangnya begitu banyak orang Kristen bosan berdoa atau tidak menikmati waktu berdoanya, karena pengenalannya tentang Tuhan begitu sempit. Misalnya, jika kita berkomunikasi dengan orangtua, kita akan lebih berhati-hati dengan cara kita berkomunikasi dengan mereka. Sebab kita mengenal mereka yang memiliki perasaan dan sifatnya masing-masing, mereka juga memiliki kedudukan sehingga kita menghormati mereka.

    Ketika orang Kristen tidak memperhatikan hal ini di saat berkomunikasi dengan Tuhan, kita sebenarnya sedang mereduksi atau membuat Tuhan menjadi sebatas tokoh fiksi yang tidak hidup dan tidak nyata sehingga kita mengabaikan pribadi-Nya walaupun berdoa kepada-Nya.

    Contohnya:
    Mazmur 89:14 “Punya-Mulah lengan yang perkasa, kuat tangan-Mu dan tinggi tangan kanan-Mu.”

    Mazmur 18:3 “Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!”

    Jikalau kita mengerti sifat Tuhan yang begitu adil dan mengatakannya di dalam doa kita, doa kita akan lebih bermakna karena kita mengenal kepada siapa kita berbicara. Bahkan dalam Mazmur 18:3, pemazmur tahu benar bahwa Allah itu adalah gunung batu dan benteng yang teguh. Oleh karena pengenalannya akan Allah maka pemazmur dapat memanggil Allah dengan sebutan demikian. Bagaimana kita melihat Allah di dalam doa kita? Bagaimana relasi atau pengalaman kita dengan Allah sehingga kita dapat memanggil-Nya dengan sebutan tertentu?

    #2 Pendoa

    Bagaimana kita menempatkan Tuhan dalam doa adalah sesuatu yang penting. Akan tetapi, bagaimana kita menempatkan diri kita sendiri ketika berdoa kepada Tuhan juga penting. Kita diciptakan sebagai makhluk yang berkomunikasi. Kita diberikan perasaan untuk berelasi. Kita dapat merasa senang, bersyukur, bingung, sedih, kecewa, bahkan marah.

    Self-understanding atau mengenali diri sendiri dan juga self-expressing atau mengekspresikan diri sendiri menjadi aspek yang sangat penting di dalam doa. Pemazmur sangat peka dan mengerti akan kondisi, perasaan, pikiran, dan sikapnya dalam doa.

    Contohnya:
    Mazmur 38:9-10 “Aku kehabisan tenaga dan remuk redam, aku merintih karena degap-degup jantungku. Tuhan, Engkau mengetahui segala keinginanku, dan keluhku pun tidak tersembunyi bagi-Mu.”

    Pemazmur mengerti bahwa dirinya sangat lelah dan takut dalam menghadapi permasalahannya, sehingga itulah yang dia ungkapkan dan ekspresikan dalam doanya kepada Tuhan

    Contoh lain:

    Mazmur 22:2 “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.”

    Dengan jujur, pemazmur bahkan mengungkapkan kekuatiran, kekecewaannya, dan amarahnya kepada Tuhan. Mungkin pemazmur baru saja mengalami kejadian buruk. Seringkali mempertanyakan Tuhan dianggap sebagai hal yang tabu. Orang Kristen diminta untuk selalu percaya dengan Tuhan apapun kondisi dan perasaan yang kita alami. Doa harus selalu terdengar baik. Padahal Tuhan menciptakan kita dapat mengalami perasaan kecewa dan marah.

    Memang kita harus percaya dengan Tuhan, tetapi kita tidak dapat menyangkali perasaan yang kita alami di hadapan Tuhan. Tuhan terlebih mengetahui apa yang kita rasakan sekalipun kita berusaha menyembunyikannya. Ada begitu banyak tokoh-tokoh dalam Alkitab yang justru menemukan jawaban atas pertanyaan imannya kepada Tuhan. Misalnya Daud yang mempertanyakan Allah ketika bawahannya yaitu Uzia mati sewaktu berusaha menahan tabut Allah yang jatuh.

    Ketika kita berhasil melewati permasalahan atau keraguan iman kita, sesungguhnya perubahan terjadi. Di saat-saat yang demikianlah iman dapat semakin dibangun sekalipun jawaban Tuhan tidak mengubah kondisi kita. Kondisi bisa saja tetap sama, namun jawaban Tuhan membuat kita mengerti bahwa Dia bersama dengan kita.

    Sama halnya dengan perasaan senang, bersyukur, bersemangat dalam mengerjakan sesuatu. Mengenali diri itu penting (bagaimana perasaan kita, ide apa yang kita pikirkan, bagaimana kondisi kita) dan jujur kepada Tuhan membuat kita memiliki kehidupan doa yang lebih bermakna.

    #3 Isi Doa

    Untuk melucu atau mengungkapkan kekaguman atau rasa syukur kita, kita harus bercerita. Untuk mendapat informasi, kita harus bertanya. Ada begitu banyak hal yang bisa dikomunikasikan entah itu cerita atau pertanyaan. Sayangnya, kebanyakan orang Kristen jarang berkomunikasi dengan cara-cara yang demikian. Kebanyakan isi doa orang Kristen adalah pola yang sama. Ada yang punya pola penyembahan, pengakuan dosa, ucapan syukur, permohonan. Pola ini tidak salah, tetapi hal ini membatasi kita dalam berbicara dengan Tuhan dalam berbagai pengalaman.

    Contoh:
    Mazmur 77:8 “Untuk selamanyakah Tuhan menolak dan tidak kembali bermurah hati lagi?”

    Pemazmur bertanya kepada Tuhan dalam doanya.

    Mazmur 43:4 “Maka aku dapat pergi ke mezbah Allah, menghadap Allah, yang adalah sukacitaku dan kegembiraanku, dan bersyukur kepada-Mu dengan kecapi, ya Allah, ya Allahku!”

    Pemazmur membuat sebuah statement atau pernyataan kepada Tuhan dalam doanya.

    Mazmur 105:7-11 “Dialah TUHAN, Allah kita, di seluruh bumi berlaku penghukuman-Nya. Ia ingat untuk selama-lamanya akan perjanjian-Nya, firman yang diperintahkan-Nya kepada seribu angkatan, yang diikat-Nya dengan Abraham, dan akan sumpah-Nya kepada Ishak; diadakan-Nya hal itu menjadi ketetapan bagi Yakub, menjadi perjanjian kekal bagi Israel,
    firman-Nya: “Kepadamu akan Kuberikan tanah Kanaan, sebagai milik pusaka yang ditentukan bagimu.”

    Pemazmur bahkan bercerita kepada Tuhan sekalipun Tuhan sudah mengetahui kisah tersebut karena Dia sendiri terlibat di dalamnya. Ketika kita mengadakan pesta ulang tahun untuk anak kita. Kita pasti senang jika anak kita menceritakan kejadian apa yang anak kita paling senangi di pesta ulang tahunnya. Walaupun mungkin kita sudah tahu semua kejadian di pesta ulang tahun itu karena kita terlibat di dalamnya. Namun, ketika anak kita bercerita, kita semakin mengerti bahwa usaha kita mengadakan pesta ulang tahun untuk anak kita tidak sia-sia.

    Dulu saya seringkali bertanya mengapa kita masih perlu berdoa, bukankah Tuhan sudah tahu apa yang akan kita ucapkan? Akhirnya pemikiran seperti ini membuat saya tidak serius dalam berdoa. Toh, tidak perlu saya jelaskan Tuhan sudah terlebih tahu permasalahan saya. Namun, seperti ilustrasi anak tadi, walaupun Tuhan sudah mengetahui apa yang hendak kita doakan, tetapi Dia senang ketika anak-anakNya berbicara, bercerita, bahkan memohon pertolongan-Nya.

    Cara untuk berkomunikasi dengan Tuhan dalam doa bahkan lebih dari kata-kata semata. Pemazmur kadang menangis, berpuasa, menyanyikan doanya, berlutut, dan mengangkat tangannya untuk mengatakan bahwa dia menyembah Allah yang sedang dia ajak berbicara.

    Ada begitu banyak doa dalam Mazmur maupun doa oleh tokoh-tokoh Alkitab. Bahkan banyak tokoh Alkitab yang berdoa dengan berpuasa untuk menunjukkan keinginan dan keseriusannya kepada Tuhan. Puasa juga merupakan suatu ekspresi kita dalam berdoa. Belajar dari doa tokoh-tokoh dalam Alkitab akan memperkaya pengalaman kita dalam berdoa.

    Tips:

    Pertama. Berdoalah dengan bersuara untuk membiasakan diri kita dapat fokus dan menolong kita dapat lebih merasakan kehadiran Tuhan ketika kita sedang berbicara kepada-Nya sehingga perkataan kita lebih tertata karena kita sadar bahwa kita sedang membuka suara untuk pribadi yang hidup dan nyata.

    Kedua. Jikalau ada jadwal bacaan Alkitab dari Mazmur atau doa tokoh-tokoh dalam Alkitab, misalnya doa Zakaria atau nyanyian pujian Maria di dalam Injil Lukas. Bacalah juga dengan bersuara serta ganti kata Tuhan atau Dia yang sebenarnya merujuk kepada Tuhan, dengan kata Engkau. Agar kita dapat memaknai dengan lebih mudah arti dari doa-doa tersebut dan kita dapat meresapi semua doa itu dalam hidup kita sendiri.

    Kiranya kita semua dapat mengalami pengalaman-pengalaman berdoa dan berelasi dengan Tuhan sehingga kita rindu memiliki waktu-waktu berbicara dengan Tuhan. Dan, doa akhirnya tidak lagi menjadi sebuah ketakutan, tetapi kesempatan dan waktu yang kita cari-cari karena kita tahu kita berdoa kepada Tuhan yang kita kasihi dan yang mendengar setiap doa kita.

  • Hidup Bersama

    Hidup Bersama

    Suatu hari saya mendapat email dari seseorang yang saya kenal dan pernah saya temui di suatu tempat. Kawan ini menceritakan pengalamannya yang tidak menyenangkan ketika harus menghadapi perpecahan antara sesama anggota tubuh Kristus di gereja lokal daerahnya. Tentunya bukanlah suatu pengalaman yang menyenangkan ketika diskriminasi dan penghakiman datang dari mereka yang seharusnya bersatu dengan kita. Ini adalah sebuah surat balasan yang kukirimkan baginya. Kiranya ini juga menjadi berkat bagi setiap kita yang memiliki pengalaman serupa.


    Aku paham benar dengan masalah yang sedang kamu alami, karena aku pun pernah merasakan hal yang sama. Ketika diriku dihakimi hanya karena latar belakang denominasi gerejaku yang Injili. Bahkan sesama gereja Injili bisa saling menghakimi karena yang satu merasa lebih Injili dibanding yang lain.

    Ada kalanya kita merasa bingung kenapa hal-hal yang tidak menyenangkan seperti itu justru datangnya dari saudara-saudara kita sendiri. Padahal bukankah Kekristenan mengajarkan kita mengenai kesatuan tubuh Kristus, yaitu kita yang adalah anggota-anggota tubuh Kristus. Hal ini pasti sangat mengganggu dan mengguncang iman kita, tatkala kita tidak melihat bagaimana Firman Tuhan tersebut tidak dihidupi oleh orang-orang Kristen sendiri. Dengan berterus terang, aku juga harus mengakui bahwa terkadang aku merasa diriku lebih baik daripada yang lain, padahal aku sedang jatuh ke dalam dosa menghakimi.

    Aku mungkin tidak bisa membagi banyak hal dan menjawab semua pertanyaanmu dengan memuaskan. Tapi aku ingin berbagi suatu insight dari buku berjudul “Hidup Bersama” yang ditulis oleh teolog asal Jerman bernama Dietrich Bonhoeffer. Kamu dapat mendownload buku tersebut disini Free English E-Book “Life Together” (by Dietrich Bonhoeffer)

    Dietrich Bonhoeffer hidup di zaman perang dunia ke-2, ketika Adolf Hitler memerintah. Hidupnya mengalami berbagai persekusi karena dia seorang Kristen. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan kenyamanan di Amerika Serikat dan kembali ke Jerman untuk memimpin 25 orang calon pendeta yang sedang belajar di seminari Alkitab ‘bawah tanah’. Tentunya bukanlah suatu hal yang mudah, karena sekolah tersebut adalah sekolah “bawah tanah” yang berarti ilegal dan harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau nyawa menjadi taruhannya.

    Pengalamannya ini membuat dia menjadi seseorang yang sangat memaknai artinya hidup bersama dalam persekutuan tubuh Kristus. Dia sadar betul, kondisinya pada saat itu bisa memungkinkan apapun terjadi dalam sekejap. Keberadaan teman-temannya atau dirinya sendiri, bisa saja hilang secara mendadak. Persekutuan dengan orang percaya adalah sebuah anugerah yang tidak bisa diremehkan (taken for granted). Sayangnya, kita melihat begitu banyak orang-orang di sekitar kita yang menemukan anugerah istimewa ini setiap hari justru malah menyia-nyiakannya.

    Ada beberapa hal yang dia bagikan untuk kita tentang makna dari hidup bersama dalam komunitas tubuh Kristus.

    Pertama, Yesus adalah pusat relasi semua manusia. Apa artinya? Artinya adalah kita melihat Yesus yang sudah menebus manusia berdosa, di dalam relasi kita dengan sesama manusia yang berdosa sama seperti kita. Sehingga ketika kita berelasi dengan sesama, kita melihat lawan bicara kita bukan sekedar sebagai sesama manusia semata, tetapi seorang pribadi yang sudah ditebus oleh Yesus. Siapa pun itu, entah dia orang percaya ataupun bukan. Yesus yang telah menebus kita, sekarang juga menjadi pengantara di antara relasi manusia dengan Allah dan sesama kita yang sudah rusak karena dosa. Penebusan yang Yesus kerjakan dalam diri kita, sekarang telah memperbaiki segala kerusakan itu.

    Kedua, tidak ada persekutuan yang ideal di dunia ini. Dietrich menegaskan bahwa persekutuan Kristen adalah persekutuan yang penuh dengan manusia-manusia berdosa dan keterbatasannya. Maka, persekutuan yang idealis sebenarnya hanyalah impian belaka yang tidak akan tercapai dengan usaha manusia sendiri. Malah, seringkali usaha manusia untuk menciptakan persekutuan yang ideal justru akan menghancurkan persekutuan itu sendiri. Tuhan menempatkan kita di dalam persekutuan umat percaya yang tidak sempurna ini bukanlah sebagai hakim bagi sesama. Hanya Allah Tritunggal lah yang mampu menciptakan persekutuan yang ideal dengan membentuk dan mengubah manusia-manusia berdosa di dalamnya. Dan, kita adalah bagian dari rencana Allah tersebut. Sehingga, dalam pemahamanku yang kuyakini, perpecahan gereja ataupun umat bukanlah suatu keputusan yang hikmatnya berasal dari Allah. Aku meyakini dan merindukan suatu hari kelak dalam kedatangan Kristus yang kedua kalinya, semua persekutuan orang percaya terlepas dari denominasinya akan menjadi satu, seperti doa Yesus di Yohanes 17.

    Ketiga, persekutuan Kristen adalah sebuah kenyataan rohani yang berarti semuanya bersumber dari Firman Allah (back to bible), bukan sebuah kenyataan psikologis yang didasarkan pada keinginan ego semata. Persekutuan dalam realitas rohani mempunyai kasih yang melayani dan tujuan akhirnya bukan untuk diri sendiri, sedangkan persekutuan dalam realitas psikologis mempunyai kasih yang berhasrat kepada diri sendiri.


    Dengan cara pandang dari ketiga hal ini, maka kita tidak boleh berelasi dengan orang lain (entah itu mereka yang kita kasihi atau kita benci) secara langsung, karena kasih kita tidak akan murni oleh sebab dosa-dosa kita. Melainkan Kristus harus kita lihat sebagai yang pertama-tama menjadi mediator yang melakukan mediasi antara kita dengan sesama manusia. Tentu saja, ini berlaku kepada orang-orang yang secara tidak langsung membuat kita resah karena penghakiman yang suka mereka lontarkan. Kupikir, orang-orang yang demikian memang tidak mengerti bahwa Yesus sudah menebus kita manusia yang berdosa agar kita dapat hidup bersama dalam tubuh Kristus tidak peduli apa latar belakangnya. Relasi yang dimediasi Kristus saja sudah cukup, apa yang diinginkan lebih oleh manusia pastilah berasal dari egonya sendiri dan relasi yang demikian akan merusak kesatuan tubuh Kristus.

    Ada satu motto yang sangat aku sukai ketika melayani di Persekutuan Mahasiswa Kristen yang jemaatnya terdiri dari berbagai latar belakang gereja,

    In Essentials Unity,

    In Non-Essentials Liberty,

    In All Things Charity

    Motto ini memberikan kita gambaran bagaimana seharusnya tubuh Kristus yang hidup di tengah berbagai denominasi. Bahwasanya di dalam hal-hal yang esensi seperti doktrin keselamatan, Allah, dosa, kita adalah satu (unity) tak peduli apapun latar belakang denominasinya. Kita sama-sama menyembah Allah Tritunggal, kita tahu bahwa semua manusia itu berdosa sesuai dengan apa yang diajarkan Alkitab, dan sebagainya. Tetapi juga dalam hal-hal yang tidak esensi seperti cara baptisan, metode-metode atau budaya lokal gereja, kita seharusnya legowo (liberty), karena itu bukanlah hal-hal prinsip yang punya standard tertentu di dalam Alkitab. Dan, di dalam segala hal kita tetap mengasihi (charity, dari kata caritas yang artinya kasih). Kembali kita mengingat bahwa kasih adalah hukum yang terutama dari segala hukum lainnya. Motto ini lah yang sebenarnya mampu mempersatukan setiap perbedaan antara umat percaya.

    Saudaraku yang terkasih, pengalaman yang kita alami memang tidak menyenangkan karena kekecewaan itu disebabkan oleh saudara-saudara kita sendiri. Akan tetapi, kita bersyukur karena kita manusia yang berdosa diberikan anugerah untuk melihat dinamika dalam persekutuan umat percaya, di dalam kasih. Banyak orang yang merasa sombong dengan pemahamannya akan suatu persekutuan atau gereja atau denominasi – – seperti yang juga kamu ceritakan. Akan tetapi, mari melihat mereka dalam kasih, karena mereka adalah orang-orang berdosa yang telah ditebus Kristus, mereka butuh pengenalan dan pemahaman yang benar tentang kehendak Kristus – – demikian juga kita. Maka seharusnya kita bersikap dewasa dengan saling menopang agar kita dapat sama-sama bertumbuh dan memiliki pemahaman yang benar tentang kehendak Kristus bagi seluruh umat percaya (Yohanes 17).

    “…hidup bersama di bawah Firman akan ada dalam keadaan baik hanya jika persekutuan itu tidak membentuk dirinya sendiri menjadi suatu pergerakan, suatu ordo, suatu paguyuban, suatu collegium pietatis (persekutuan orang saleh), tetapi lebih jika persekutuan itu memahami dirinya sendiri sebagai bagian dari Gereja Kristen yang satu, kudus, dan am, dan mengambil bagian dan ikut menderita dalam pergumulan dan pengharapan seluruh Gereja.” (Hidup Bersama, p.53)

    Kiranya balasan email ini bisa menjadi berkat untukmu. Aku berdoa supaya semakin hari imanmu bisa terus dikuatkan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita yang sungguh hidup dan nyata. Dan, terus bertumbuh demi menyatakan kebenaran Allah dan Injil bagi saudara-saudara kita yang belum mengenal Kristus dan kehendak-Nya.

  • Komunitas Anugerah

    Komunitas Anugerah

    Persekutuan Kristen yang ideal tidaklah berisi para orang Farisi dan pemungut cukai. Persekutuan Kristen yang sesungguhnya adalah persekutuan sesama orang berdosa; persekutuan yang berisi pemungut cukai, para pelacur, koruptor, pendusta, para orang berdosa; persekutuan anugerah.

    Dimana semua yang datang tidak baik performanya, karena itu seseorang diterima dan akan terus diterima semata-mata karena anugerah, bukan performa.

    Kita datang kepada Kristus karena kita adalah orang berdosa yang tidak berdaya tapi diterima Allah, bukan karena kita baik dan memenuhi Taurat-Nya.

    Oleh karena itu, di dalam persekutuan kita saling mengaku dosa untuk saling menyembuhkan dalam kuasaNya.

    (Merupa Hidup Dalam Rupa-Nya, Yohan Candawasa, 2006)

    Allah yang kudus, di hadapanmu kami mengaku cacat dan cela kami. Kami yang seringkali berusaha membuktikan bahwa diri kami tidak berdosa. Kami yang seringkali lupa bahwa diri kami begitu busuk tetapi begitu mudah untuk menghakimi orang lain yang tidak jauh berbeda dari kami.

    Ampuni, ampunilah kami.

    Bahkan untuk mengubah diri pun, kami sadar bahwa kami butuh anugerah Roh Kudus-Mu yang selalu mengingatkan kami untuk melihat diri kami yang berdosa dan tidak lebih baik di hadapan orang lain.

    Tolong, tolonglah kami.

    Amin.