Tanggal 23 Desember 2016 yang lalu, saya mengikuti ibadah malam Natal di Gereja Kristus Yesus Mangga Besar (GKY Mabes). Di ibadah tersebut ditampilkan sebuah drama musikal yang berlatar di kota Shanghai tahun 1937 saat perang antara Jepang dan China.
Diceritakan ada sebuah keluarga (Wu) yang cukup ternama dan merupakan keluarga golongan menengah ke atas. Sang kepala keluarga (Wu Guang), istrinya (Mrs. Wu), anak sulung laki-laki (Wu Xian Hung), dan anak bungsu perempuan (Wu Xiao Fen) adalah keluarga Kristen yang taat. Walaupun kaya, mereka tidak memandang rendah orang miskin. Suatu hari Wu Guang bertemu dengan seorang anak laki-laki yang kedapatan mencuri di pasar. Anak itu ternyata adalah orang Jepang bernama Kenji yang pergi bersama rombongan tentara Jepang. Namun anak ini terpisah dan dia sudah tidak lagi memiliki tempat untuk kembali karena orang tuanya sudah tiada. Tergerak oleh belas kasihan, Wu Guang pun mengangkatnya sebagai anak. Keluarga Wu begitu senang menerima Kenji yang diberi nama baru Wu Xian Zhi ini. Akan tetapi, Xian Zhi sebagai anggota keluarga terpandang di masyarakat merasa tidak nyaman hidup di tengah lingkungan pergaulan elite yang penuh dengan topeng dan kemunafikan. Walaupun keluarga Wu menerimanya dengan tulus, tapi Xian Zhi tetap merasa bahwa dia hanyalah anak angkat yang dipandang rendah oleh masyarakat. Akhirnya dia berpamitan dengan keluarga Wu yang melepaskannya dengan berat hati dan bergabung dengan tentara Jepang sebagai Kenji.
Suatu hari, Kenji diutus untuk mengajak Wu Guang berunding dengan komandan GARNISUN Jepang-China (Saito Oyama) demi membicarakan perjanjian perdamaian. Berita ini disambut dengan antusias oleh Wu Guang dan keluarganya. Namun suatu insiden terjadi saat pertemuan itu yang menyebabkan terbunuhnya Wu Guang dan relasi Jepang-China yang semakin rusak.
Dihantui oleh perasaan bersalah, Kenji berniat untuk mengakhiri hidupnya. Namun di saat itulah kasih dan pengampunan mengalir dari keluarga Wu. Nyonya Wu, Xian Hung, dan Xiao Fen mengampuni Kenji dan mengajaknya untuk kembali hidup bersama sebagai keluarga Wu.
The Beauty of Irony (Pdt. Irwan Pranoto)
Ironi adalah sebuah keadaan yang berkebalikan dari yang seharusnya. Apa yang dialami Kenji adalah sebuah ironi. Perdamaian yang diharapkan akan dia bawa justru berakhir dengan kematian ayah angkatnya sendiri.
Ironi ini juga terjadi dalam kehidupan kita sebagai manusia.
Yohanes 1:9-13 menggambarkan 2 macam ironi:
“Dunia ciptaanNya tidak mengenalNya”
“Dunia milikNya tidak menerimaNya”
Hal ini menimbulkan 2 pertanyaan:
1. Mengapa ironi ini terjadi?
Dosa. Allah tahu bahwa Dia akan ditolak ketika datang, maka ironi itu sebenarnya terjadi pada manusia. Manusia membutuhkan juruselamat karena manusia tidak akan bisa menyelamatkan dirinya sendiri, tetapi manusia justru menolak jusruselamat yang telah datang itu.
2. Mengapa ironi ini justru memancarkan keindahan?
Kasih Allah yang membuatnya menjadi indah sehingga Dia mau mengutus anakNya sendiri untuk mati di kayu salib dan menyelamatkan manusia yang ironis. Inilah letak keindahannya, ironi yang pahit diubah menjadi indah oleh cinta Allah yang demikian besar bagi manusia. Sehingga walapun ditolak, Juruselamat itu tetap rela menebus dosa manusia.
Lalu bagaimanakah respon kita?
1. Mengasihi Allah yang sudah terlebih dahulu mengasihi kita.
Ironi seperti apa yang kita alami saat ini? Mungkin kita bertanya-tanya apakah Tuhan mengasihi kita karena pergumulan-pergumulan yang kita alami. Namun, bukankah Tuhan sudah memberikan kepada kita bukti kasih yang terbesar dengan merendahkan diriNya sebagai manusia dan mati menyelamatkan kita? Seharusnya bukti tersebut cukup bagi kita dapat terus percaya dan mengasihi Allah.
2. Mengasihi sesama seperti Allah mengasihi kita.
Ada kalanya kita mengalami ironi-ironi dalam relasi kita dengan sesama. Mungkin kita membawa perasaan berslaah seperti Kenji, atau kita membawa perasaan benci dan dendam terhadap orang-orang seperti Kenji. Hancurkanlah segala kepahitan ironi yang kita alami. Biarkan Allah mewarnai ironi itu menjadi sesuatu yang indah.
Kejadian 50:20 (TB) Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.
Leave a Reply