(Ringkasan Eksposisi Habakuk part 1, Graduate Christian Learning Center. Oleh Ev. Inawaty Teddy pada tanggal 12 April 2017)
Nabi Habakuk adalah seorang nabi yang mempertanyakan cara kerja Tuhan bagi bangsa Israel. Seringkali kita melihat seseorang yang mempertanyakan Allah akan keadilan atau pekerjaannya sebagai seseorang yang kurang beriman. Tapi mari kita melihat dari kacamata Habakuk yang hidup ketika Yehuda jatuh ke tangan Babel. Seolah keluar dari mulut buaya, menuju mulut singa. Itulah yang dialami oleh Yehuda. Setelah menderita dibawah kekuasaan Mesir, mereka dibuang ke Babel. Penderitaan datang bertubi-tubi kepada Yehuda, tanpa mengijinkannya beristirahat sejenak. Raja Yosia yang baik telah meninggal, anak-anak-Nya tidak dapat diharapkan dan mati satu per satu sambil membawa Yehuda menuju kehancuran total.
Habakuk 1:1-2:1 menyatakan doa Habakuk yang mempertanyakan cara kerja Tuhan yang aneh nan misterius. Bukankah Yehuda adalah umat pilihan Allah? Namun mengapa mereka menderita? Mengapa Tuhan diam saja ketika orang-orang fasik yaitu Babel menginjak-nginjak Yehuda? Sulit dipercaya bahwa semakin hari justru penderitaan yang mereka alami semakin menjadi. Bahkan Habakuk mengatakan bahwa mereka lebih cepat dan ganas daripada serigala, macan tutul, dan rajawali. Kekerasan dimana-dimana. Orang-orang fasik itu seolah mempermalukan Allah dan mendewakan kekuatan mereka. Namun, mengapa Allah diam melihat diriNya dipermalukan lewat kekalahan Yehuda?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terlontar dari mulut Habakuk dan mungkin juga kita sebagai umatNya. Kenyataan bahwa Allah mendatangkan malapetaka bagi umatNya adalah suatu kenyataan pahit yang sulit untuk kita terima. Kita sering berdalih dengan mengatakan Allah mengijinkan malapetaka menimpa kita, padahal Allah yang dengan sengaja melakukannya. Dia adalah Allah yang berdaulat melakukan segala sesuatu termasuk mendatangkan malapetaka.
Kedaulatan Allah adalah sebuah logika yang sangat sederhana, jika kita mengakui keberadaan Allah maka seharusnya kita percaya bahwa Allah berdaulat dan berkuasa atas segala sesuatu. Sebagai manusia kita harus mengakui keterbatasan kita untuk memahami rencana Allah, tapi dengan rendah hati kita juga harus meyakini bahwa ada suatu alasan di balik malapetaka yang didatangkan Allah, entah itu penghukuman atas ketidaktaatan kita, pembentukan, dan lain sebagainya.
Pemikiran manusia seringkali terkungkung dalam pandangan dunia yang menyatakan bahwa setiap manusia patut mendapatkan yang terbaik, sehingga orang yang tidak berdosa tidak pantas dihukum. Padahal bagi Allah semua manusia berdosa dan selayaknya menderita (upah dosa adalah maut). Tidak ada yang benar di hadapan Allah, seorang pun tidak. Hanya oleh karena kemurahan hati Allah saja manusia dapat melakukan hal yang benar.
Jikalau kita tidak mengerti secara menyeluruh akan konsep ini, maka kita akan selalu salah dalam mengerti cara kerja Allah. Hal-hal ini pula yang tercatat dalam Kitab Habakuk. Banyak umat yang tidak menyadari bahwa Tuhan yang membangkitkan bangsa Kasdim (1:5), Babel dan bangsa-bangsa lain tidak sadar bahwa kuasa yang mereka miliki berasal dari Allah (1:11), kebingungan Habakuk mengenai sifat Allah yang kudus dan adil membiarkan orang fasik menelan orang yang lebih benar (Yehuda) serta mempermalukan nama Allah sendiri (1:12-17).
Kembali ke permasalahan awal, apakah seseorang yang mempertanyakan Allah seperti Habakuk adalah tanda kurangnya iman? Jika kita memperhatikan cerita-cerita dalam Alkitab, maka kita akan menemukan banyak sekali tokoh yang melakukan hal serupa. Mereka bertanya, bahkan juga bernegosiasi dan membujuk Allah untuk merubah keputusannya. Misalnya Musa yang membujuk Allah agar tidak memusnahkan Israel, Abraham yang bernegosiasi untuk menyelamatkan Sodom dan Gomora, dan lain sebagainya.
Jawabannya, justru itulah yang Allah inginkan untuk kita lakukan. Richard Pratt Jr dalam bukunya “Praying with Your Eyes Open” mengatakan bahwa umat Allah seharusnya berdoa dengan mengerti apa yang didoakannya. Ketika Alkitab mencatat bahwa Allah seolah ragu ingin memberitahu rencananya kepada Abraham untuk menghancurkan Sodom dan Gomora, sebenarnya Dia tidak ragu. Penulis ingin menarik perhatian pembaca untuk menekankan karakter Abraham yang ingin dilatih Allah untuk menjadi Bapa segala bangsa. Abraham yang tidak peduli dengan bangsa lain, untuk pertama kalinya belajar mendoakan keselamatan bangsa lain. Latihan ini terbukti berhasil di pasal berikutnya (Kej.20) ketika dia mendoakan Abimelekh agar sembuh dari tulah (tidak seperti Firaun yang ditinggalkannya dengan tidak peduli akan tulah yang menimpanya). Allah ingin kita dibentuk melalui doa-doa kita.
Dalam bukunya, Richard Pratt Jr mengatakan ada 3 alasan untuk kita bertanya kepada Allah dalam doa-doa kita:
1. Karakter dan janji Allah. Contohnya ketika Abraham berdoa dengan mempertegas karakter Allah (Kej.18:20) dan Musa dalam peristiwa lembu emas ketika mengingatkan janji Allah untuk membawa Israel ke tanah Kanaan.
2. Keadaan umat Allah. Contohnya ketika Musa mencoba melunakkan hati Allah dengan mengingatkan keadaan Israel sebagai umat pilihan Allah yang sedang akan dimusnahkan Allah.
3. Pandangan dunia. Contohnya Musa berargumen apabila Allah menghabisi Israel maka Mesir akan mempermalukan Allah dan umatNya. Bahkan Musa dengan berani menyuruh Allah menyesali perbuatanNya. Yang lebih mengejutkan, Allah pun menyesali perbuatanNya. Namun ini bukan berarti Allah telah melakukan suatu kekeliruan yang Dia sesali, tetapi Allah sejak semula memang menghendaki penghukuman itu tidak terjadi. Dan Musa tahu benar Allah tidak akan mungkin menghancurkan umatNya, dia sangat mengenal Allah.
Allah ingin kita berdoa dengan jujur kepadaNya dengan pengenalan yang dalam kepadaNya. Mari datang ke hadapan Allah dan bergumul denganNya akan segala kebingungan kita.
Leave a Reply