National Interfaith Youth Camp (IYC) 2018 adalah sebuah pertemuan lintas agama yang diadakan pada tanggal 25-30 Januari 2018 di Pantai Liang, Maluku. IYC 2018 ini bertemakan Counter Violent Extremism.
Awalnya saya tidak memiliki ekspektasi untuk mengikuti acara ini. Saya hanya mengirim tulisan yang pernah saya tulis setahun yang lalu. Akan tetapi, ternyata saya terpilih sebagai salah satu dari 120 peserta yang diseleksi dari 3000 orang pendaftar dari seluruh provinsi di Indonesia.
Kebimbangan pun mulai muncul. Dari izin cuti di tengah pekerjaan yang sedang hectic, hingga keraguan h-1 karena takut acaranya tidak seharga pengorbanan pekerjaan saya. Namun, saya bersyukur memutuskan untuk tetap pergi. Sebab di akhir tulisan ini saya akan berkata bahwa ini adalah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan dan sesali.
Hari 1, 25 Januari 2018
Saya teringat cerita dari salah seorang sahabat saya, seorang nona (panggilan untuk perempuan Ambon) Ambon manise, yang menceritakan bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya dengan melihat pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Bahkan, ia akhirnya harus pindah ke kota Jakarta dan terpisah dari orangtuanya. Kisah-kisah memilukan dan traumatis itulah yang pada umumnya dialami oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Ambon manise. Sejarah kelam pernah menyelimuti pulau ini pada tahun 1999 sampai 2005.

Inilah juga yang diceritakan oleh kedua nyong (panggilan untuk laki-laki Ambon) yang saya temui di hari pertama. Chad dan Sammy, mereka adalah pemuda Ambon yang pernah mengalami pahitnya perang dan konflik yang terjadi di tanah para raja ini. Persatuan dan kedamaian adalah cita-cita mereka, dan bahkan juga seluruh saudara di Ambon. Termasuk penyelenggara acara ini, yaitu lembaga Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) yang berada di bawah naungan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Ambon. Cita-cita akan perdamaian menjadi harapan yang tidak hanya diinginkan oleh masyarakat Ambon, tetapi seluruh Indonesia yang saat ini tengah menghadapi berbagai macam bentuk intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Acara ini dimulai dengan upacara peresmian yang dilakukan oleh wakil gubernur provinsi Maluku dan direktur PPIM UIN serta direktur ARMC IAIN Ambon. Mereka bersama menyuarakan harapan mereka agar youth camp ini menjadi momentum bangkitnya 120 anak-anak muda yang idealis dan berperan menjaga dan mengusahakan perdamaian bangsa.
Hari 2, 26 Januari 2018
Hari ini kami berdiskusi dalam kelompok kecil mengenai masa depan keberagaman di Indonesia serta dinamika gerakan intoleransi, radikalisme, terorisme, dan kekerasan ekstrimis di Indonesia.
Kami berbagi cerita bagaimana masing-masing kami pernah mengalami diskriminasi. Ada seorang teman dari Ahmadiyah yang di diskriminasi karena perbedaan aliran, ada yang rumahnya pernah dibakar karena konflik agama, ada juga yang pada masa kanak-kanaknya disuruh berperang, dan lain sebagainya.
Saya pikir masalah-masalah dan solusi-solusi ketika membahas isu-isu mengenai intoleransi, radikalisme, dan terorisme bukanlah suatu hal yang baru untuk dipelajari. Kita sudah terbiasa mendengar semua masalah itu dari surat kabar, televisi, maupun berita-berita digital. Namun, kesempatan untuk mendengarkan semuanya itu dari orang-orang yang mengalaminya langsung dan bagaimana mereka belajar mengampuni dan pulih dari luka-luka masa lalu itu adalah hal yang lebih menarik bagi saya secara pribadi.
“… berdamai itu bukan suatu kewajiban atau keharusan semata karena ajaran agama dan norma…”
Begitu juga halnya dengan solusi-solusi untuk menjaga perdamaian. Kita sering membaca atau mendengar kisah orang-orang yang mengusahakan perdamaian dalam berbagai bidang, misalnya seni, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Namun, bagi saya, hal yang lebih menarik adalah ketika belajar bahwa berdamai itu bukan suatu kewajiban atau keharusan semata karena ajaran agama dan norma, tetapi bagaimana perlahan memangkas stereotype yang bersembunyi di balik hati setiap orang. Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar murni dapat bersikap netral, tanpa stereotype, sekalipun mengerti betapa berbahayanya stereotype yang buta.
Setelah beberapa kali mengalami diskriminasi oleh orang-orang Muslim karena saya seorang Tionghoa dan Kristen, serta melihat fakta bahwa kebanyakan ormas radikal dan teroris seringkali mengakui identitasnya sebagai Islam. Dengan jujur saya mengakui bahwa saya punya stereotype tertentu terhadap orang Muslim. Meskipun saya tidak membenci mereka dan terus mengusahakan perdamaian, bahkan senang mengikuti acara lintas iman. Namun, selama saya belum mengerti apa yang sebenarnya dipelajari oleh teman-teman Muslim, maka stereotype itu rasanya sulit untuk dikendalikan. Sehingga, bagi saya pengalaman berharga selama mengikuti IYC ini adalah ketika bisa berdiskusi dan bertanya jawab dengan saudara-saudari Muslim.
Hari 3, 27 Januari 2018
Hari ini kami belajar tentang peran media sosial dan kearifan budaya lokal dalam menangkis intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Hal yang berkesan untuk saya hari ini adalah ketika tidak sengaja saat makan malam bisa bertemu dengan teman-teman Kristen dan Katolik (Ervan dan Felis) dan kami sama-sama membahas gerakan-gerakan mahasiswa Kristen dan Katolik dalam menyikapi isu-isu kebangsaan.
Hari 4, 28 Januari 2018
Hari ini kami melakukan outbound dengan teman-teman di kelompok baru dan juga menanam pohon sebagai simbol perdamaian di tanah yang rencananya akan dibangun kampus IAIN yang baru. Semoga 20 tahun lagi, jika saya kembali ke tempat itu, saya dapat melihat pohon duren yang saya tanam dan menikmati buahnya 😀
Hari 5, 29 Januari 2018
Hari ini kami melihat prosesi panas pela pendidikan. Pela-gandong adalah kekayaan kebudayaan lokal di Ambon yang memperkuat persaudaraan antara desa dan bahkan agama. Panas pela pendidikan adalah prosesi untuk mengingatkan kembali akan tradisi pela kepada anak-anak muda. Dalam hal ini, kami menyaksikan panas pela pendidikan antara SMPN4 Ambon yang mayoritas siswanya beragama Kristen dan SMPN 9 Ambon yang mayoritas siswanya beragama Islam. Tradisi ini begitu indah dan mengharukan, setidaknya bagi saya yang hidup di ibukota dan jarang melihat umat antar beragama yang dapat hidup rukun. Setelah itu kami makan siang bersama dengan cara patita (makan patita sama seperti makan liwetan di pulau Jawa, berbagai macam makanan khas Ambon disusun memanjang).
Kemudian kami melakukan kunjungan masyarakat. Kelompok kami mengunjungi kampus IAIN Ambon. Sebenarnya saya cukup kecewa ketika mengetahui akan mengunjungi institusi pendidikan. Jikalau boleh memilih, saya lebih senang mengunjungi tokoh masyarakat di desa-desa atau komunitas seni dan jurnalistik di Ambon. Akan tetapi, mungkin ini juga bagian dari pembelajaran saya selaku staf NGO yang berfokus pada leadership development khususnya pada mahasiswa Kristen di kampus-kampus.
Dari kunjungan ini, saya semakin melihat secara nyata bahwa peran institusi pendidikan dalam menangkis nilai-nilai intoleransi, radikalisme, dan terorisme semakin penting. Namun, sedihnya banyak institusi pendidikan yang cuek dalam menangani ormas-ormas radikal di kampus. Bahkan institusi pendidikan banyak yang terlibat kepentingan politis. Saya teringat seorang teman di salah satu kampus yang diberi nilai tidak adil oleh dosennya karena masalah agama.
“Apakah kita harus bersikap toleransi terhadap intoleransi?” Ini adalah pertanyaan yang saya ajukan dalam kelompok diskusi di hari kedua. Sampai kapan kita akan membiarkan toleransi mati perlahan-lahan karena terus mengalah kepada intoleransi? Saya merasa Indonesia begitu miris. Seringkali masyarakatnya yang mayoritas masih kurang berpendidikan dan tertekan karena sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, membuat Indonesia begitu mudah diadu domba demi kepentingan politis oknum-oknum tertentu. Konflik Ambon, tragedi 65, tragedi Mei 98, dan lain sebagainya adalah bukti nyata betapa mirisnya negara kita ini.
Dalam perjalanan pulang, saya terus berpikir bagaimana caranya menolong orang-orang yang membutuhkan pendidikan, wawasan yang luas, dan kesejahteraan hidup yang ditingkatkan sehingga tidak mudah diadu domba. Saya berpikir, apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang menyadari hal ini, khusunya dalam profesinya masing-masing? Bagaimana seorang guru tidak hanya mengajari murid-muridnya dalam ilmu pengetahuan tetapi menanamkan juga nilai-nilai toleransi? Bagaimana seorang pengusaha turut menyebarkan nilai-nilai toleransi lewat bisnisnya? Bagaimana seorang dokter juga tidak hanya mengobati secara fisik tetapi juga secara mental? Bagaimana seorang mahasiswa/i dapat berani menyatakan nilai-nilai toleransi di kampusnya yang mungkin intoleran? Dan lain sebagainya. Kita butuh aksi yang aktif dan tidak pasif dalam menjaga perdamaian.
Hari 6, 30 Januari 2018
Akhirnya, kami tiba di penghujung acara dimana kami membacakan deklarasi perdamaian.
Saya teringat ketika akan pergi ke bandara Soekarno-Hatta untuk terbang ke Ambon dan mengikuti acara ini, saya sangat takut acara ini tidak sesuai dengan harapan saya. Namun, seperti yang saya tuliskan di awal tulisan ini dan juga saya sampaikan dalam kesan pesan peserta di acara penutupan, saya tidak akan pernah menyesal menjadi bagian dari Interfaith Youth Camp ini.
Jika saya dapat menyimpulkan pelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan selama IYC 2018, maka musuh sebenarnya yang harus kita perangi bukanlah sesama kita yang berbeda secara lahiriah. Musuh kita yang sebenarnya adalah karakter yang tidak berprikemanusian, pendidikan yang rendah, dan kemiskinan yang menekan bangsa ini. Kita membutuhkan orang-orang idealis yang mau bangkit demi memerangi masalah-masalah ini agar bangsa kita tidak mudah menjadi provokator dan diprovokasi untuk memecah persatuan.
Terima kasih
Kepada orang-orang yang juga berkesan bagi saya di bawah ini:














Teman-teman terkasih yang gak ada foto bareng: Kak Abah (bapake para peserta), Caca Lynda, Bang Embong, dan semua peserta lainnya yang gak bisa disebutin satu-satu 😀
“Potong di kuku, rasa di daging. Sagu salempeng dipata dua.” artinya di saat kamu merasa sakit, maka aku juga ikut merasakan sakit. Karena, kita adalah satu.
All thanks and glory to Lord for this experience.
Dengar juga testimoni teman-teman lainnya:
Leave a Reply