“Alangkah sukacita hatiku
Sungguh sempurna bahagiaku
Ketika akhirnya ‘ku di-s’lamatkan
oleh Yesus Kristus.
Alangkah sukacita hatiku
Sungguh sempurna bahagiaku,
terhapuslah kini s’mua dosaku
Oleh darah Yesus.
Kini ‘ku hidup bukan untukku lagi.
Ku hidup untuk Yesus
Kar’na kasih-Nya, Dia pandangku
Sungguh berharga
Oh sungguh berharga
ya sungguh ‘ku berharga.”
First post 🙂
Let me start it with a short story of myself when I meet my Father…
Lagu di atas adalah lagu yang saya pelajari di Persekutuan Mahasiswa Kristen Bina Nusantara (Binus). Di sana jugalah saya mengalami “sungguh sempurna bahagiaku, kini ‘ku hidup bukan untukku lagi”.
Mengenal dan berelasi dengan Allah adalah topik yang sangat umum dibawakan di gereja maupun persekutuan kampus. Saya yakin kita sudah sering sekali mendengar tentang pentingnya bersaat teduh dan berdoa. Banyak orang yang berjuang untuk rutin bersaat teduh dan berdoa setiap hari. Akan tetapi, saat teduh dan doa yang rutin bukanlah menjadi jaminan kalau kita berelasi dekat dengan Tuhan.
Saya sudah mulai bersaat teduh dan berdoa syafaat setiap hari dengan rutin sejak masih kelas 4 SD (umur 10 tahun). Mungkin orang-orang akan berpikir bahwa saya adalah orang yang baik dan saleh sekali. Sayang, kenyataannya saya bukanlah orang yang sebaik itu. Justru semua kegiatan yang rutin saya lakukan itu membuat saya menjadi orang yang sombong rohani. Saya menganggap diri layak dikasihi dan diberkati Tuhan.
Hal itu terus berlangsung sampai saya memasuki dunia perkuliahan. Saya bersyukur dapat bertumbuh dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen atau biasa disingkat Persekutuan Oikoumene (PO) Bina Nusantara di kampusku. Di PO Binus, saya mengikuti Kelompok Kecil (KK) atau yang biasa lebih dikenal sebagai komsel. Saya bersyukur karena orang-orang di dalam kelompok kecil saya adalah orang-orang yang tidak segan-segan untuk menegur semua kesalahan saya tanpa bersikap menghakimi dan mendoakan saya di tengah-tengah banyak pergumulan yang saya alami.
Khususnya ketika saya menjalin relasi dengan seorang kakak tingkat di kampus. Saya pada waktu itu adalah seorang yang sangat idealis. Bagi saya, ada beberapa requirement yang harus dipenuhi dalam menjalani sebuah hubungan. Saya menuntut hubungan yang sempurna dan itulah berhala saya. Saya mencari kebahagiaan dalam sebuah hubungan yang sebenarnya tidak realistis.
Sampai akhirnya saya merasa hidup ini sangat kosong. Semakin lama menjalin relasi tersebut, saya tidak menemukan kebahagiaan yang selama ini saya cari-cari. Saya semakin jauh dari Tuhan dan saya tahu Tuhan tidak berkenan dengan relasi seperti ini.
Selama tahun pertama kuliah itulah saya terus melawan dan lari dari kehendak Tuhan. Akhirnya setelah mendoakan dan bergumul selama beberapa bulan, saya memutuskan untuk taat akan kehendak-Nya dan mengakhiri relasi itu.
Rasanya sakit sekali kehilangan orang yang sangat dikasihi. Saya merasa hancur. Saya yang merasa diri saya sudah cukup baik dengan bersaat teduh rutin, berdoa setiap hari, bahkan mati-matian dalam pelayanan, tapi kenapa Tuhan mengijinkan semua hal ini terjadi? Di tengah kegalauan itu, suatu hari saya berdiam diri di kos tempat saya tinggal. Saat itulah saya menyadari betapa berdosanya diri saya dan apa arti Salib Kristus. Saya merasa Tuhan menjadi begitu dekat dengan saya. Walaupun kehilangan, tetapi saya tidak merasa sendirian karena mengetahui ada Pribadi yang sudah rela mati demi menebus dosa saya. Dia sudah rela kehilangan segala-galanya di dunia ini karena Dia mengasihi saya sepenuhnya bahkan kasih-Nya melebihi kasih dari orang tua, kekasih, dan semua orang di dunia ini. Satu hal yang saya sadari lagi setelah itu adalah kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dalam Kristus.
Perjumpaan pribadi dengan Tuhan membuat saya mengerti bahwa mengenal dan berelasi dengan Tuhan bukan berarti saat teduh, doa, dan pelayanan mati-matian. Tapi mengenal dan berelasi dengan Tuhan artinya kita terus terkoneksi dengan Tuhan dalam setiap detik hidup kita. Kita tahu apa yang menjadi kehendak Tuhan dan kita mau taat walaupun berat bagi kita mentaatinya.
Filipi 3:8
“Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Yesus Kristus, Tuhanku lebih mulia daripada semuanya. Oleh karena Dialah, aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus.”
Berhala apa yang selama ini menghalangi mata kita untuk dapat melihat Salib Kristus? Berhala apa yang selama ini kita terus coba untuk mengisi kekosongan dalam hati kita? Mari kita taat kepada-Nya, pasti hidup kita akan lebih berarti dan kita jadi mengerti untuk apa kita ada di dunia ini.
“There is a God-shaped vacuum in the heart of every person, and it can never be filled by any created thing. It can only be filled by God, made known through Jesus Christ.” – Blaise Pascal
Leave a Reply