Tag: Gospel

  • Di Bawah Pembelaan Sang Advokat

    Di Bawah Pembelaan Sang Advokat

    Aksi-aksi pembelaan agama rasanya sudah menjadi hal yang tidak mengherankan lagi terjadi di Indonesia. Berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer dari tempat yang jauh, kepanasan di bawah matahari yang terik dan menyengat, ataupun ketika kedinginan karena diguyur hujan bercampur angin. Semuanya itu rela dilakukan dengan dorongan motivasi bahwa ini adalah bukti kecintaan terhadap agama dan iman. Manusia membela agama karena agamanya mendapatkan tuduhan yang tidak bisa diterima. Namun, apa jadinya jika kita yang justru dibela oleh Tuhan? Tunggu, memangnya ada tuduhan apa sampai kita harus dibela oleh Tuhan?

    Baca 1 Yohanes 2:1-6

    Serangan terhadap agama dan iman Kekristenan juga terjadi di tengah ajaran sesat Gnostic yang beredar di jemaat Kristen sekitar 2000 tahun yang lalu. Ajaran ini mengatakan bahwa hidup kudus dan menghindari dosa tidak berhubungan dengan keselamatan yang Yesus anugerahkan (dualisme). Oleh karena itulah, Yohanes terus mengingatkan jemaat bahwa kehidupan sebagai orang percaya tidak dapat terlepas dari meninggalkan dosa. Namun, Yohanes menyadari bahwa kita begitu lekat dengan dosa walaupun kita sudah bertekad untuk menjauhi dosa. Ajaran sesat yang beredar itu menunjukkan suatu fakta bahwa manusia berdosa yang tinggal di dunia berdosa memang tidak akan sanggup meninggalkan dosa sepenuhnya. Bagi mereka, hidup kudus dan menghindari dosa adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Manusia tidak akan bisa diselamatkan kalau dituntut untuk hidup kudus. Ya, ini memang benar. Di pasal pertama juga dikatakan kalau kita tidak mengakui diri sebagai seorang pendosa maka kita sebenarnya sedang membohongi diri sendiri. Dosa itu adalah natur manusia yang sudah mengalami kejatuhan.

    Syukurlah ada seorang Pribadi yang ingin membela kita! Yohanes berkata bahwa kita mempunyai seorang pengantara kepada Bapa, yaitu Yesus. Kata aslinya (parakletos; para: di samping) artinya adalah advokat. Ibaratnya seperti berada di dalam sidang pengadilan, Yesus adalah seorang pengacara atau advokat atau orang yang berbicara mewakili terdakwa. Yesus adalah seorang advokat yang juga adil atau dalam bahasa Inggrisnya “the righteous One”, karena Dia adil dan benar maka Dia mampu untuk menjadi advokat bagi kita yang didakwa akibat dosa.

    Kenyataan ini seharusnya membuat kita benar-benar merasa lega. Oleh karena kita sebagai manusia yang sudah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati, pada akhirnya mendapatkan pembelaan dari seorang advokat terbaik. Mengapa terbaik? Karena Dia tidak pernah berbuat salah, bahkan Dia adalah putera dari Sang Hakim sendiri. Dia juga adalah advokat terbaik karena bukan hanya membela tetapi bahkan juga bersedia menanggung hukuman yang tidak akan sanggup kita tanggung. Bukan hanya untuk kelompok tertentu saja, bukan hanya untuk Jews, bukan hanya untuk orang Kristen, tetapi untuk semua orang di dunia. Yesus menawarkan pembenaran kepada semua manusia yang sudah divonis bersalah ini.

    Lalu apa buktinya bahwa kita sudah mengenal sang advokat dan punya relasi dengan-Nya (‘know’ / ‘ginosko’ / ‘yada’) sehingga kita menerima tawaran pembenaran-Nya itu? Sebanyak 42 kali, kata ‘mengenal’ ini muncul di surat 1 Yohanes. Di surat yang cukup pendek ini, kata ‘mengenal’ sangat sering digunakan oleh Yohanes. Kata ‘mengenal’ ini menjadi sangat signifikan dalam surat 1 Yohanes karena kita dapat menerima tawaran pembenaran-Nya hanya dengan mengenal-Nya. Mengenal Allah berarti juga mengenal kehendak-Nya dan dengan taat melakukannya. Seseorang baru dapat jatuh cinta jika mengenal siapa yang dia cintai. Orang yang mencintai seseorang pasti ingin melakukan kehendak orang itu. Itulah kenapa Yohanes berkali-kali mengatakan bahwa seseorang yang mengaku mengenal Dia tapi tidak mentaati kehendak-Nya adalah seorang pendusta atau munafik karena pengenalan dan cintanya tidak terbukti dari tindakannya.

    Sumber: asianwiki

    Cinta yang sempurna adalah cinta yang mampu mentransformasi. Ada satu drama Jepang berjudul “We Married as a Job”. Dikisahkan ada seorang perempuan berumur 25 tahun, Moriyama Mikuri (Aragaki Yui) yang kesulitan mencari pekerjaan. Kemudian dia akhirnya memutuskan untuk mengambil studi pascasarjana. Namun, tetap saja dia sulit mencari pekerjaan setelah lulus pascasarjana. Hal ini membuat kepercayaan dirinya menjadi rendah. Akhirnya dia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di rumah seorang pria berumur 35 tahun yang bernama Tsuzaki Hiramasa (Hoshino Gen). Hiramasa adalah seorang yang sangat pintar dan selalu unggul dalam hal akademis dan pekerjaan. Namun, dia juga memiliki kepecayaan diri yang sangat rendah dalam masalah relasi. Dia merasa fisiknya buruk, dirinya kaku, membosankan, dan tidak tahu bagaimana caranya berelasi. Singkat cerita mereka akhirnya saling jatuh cinta. Namun, karena takut mengalami penolakan dan kekecewaan, Hiramasa selalu membangun tembok dalam berelasi dengan Mikuri. Dia merasa dirinya tidak layak untuk Mikuri. Sampai akhirnya relasi mereka berkembang dan Mikuri berhasil menembus tembok itu. Perubahan pun terjadi di antara mereka berdua, khususnya Hiramasa. Dia tidak mau melarikan diri lagi dalam menjalin hubungan dan siap menerima Mikuri sekalipun dia tahu pasti akan ada resiko dalam hubungan yang akan dia jalani ini.

    Kita yang naturnya adalah dosa ini juga tahu bahwa hidup mengenal dan menuruti seorang Pribadi yang tidak bisa dekat dengan dosa adalah sesuatu yang sulit. Namun, ketika kita jatuh cinta kepada Tuhan dan mau mentaati kehendak-Nya sekalipun itu sulit bagi kita, maka sebenarnya cinta Tuhan yang sempurna lah yang memampukan kita melakukannya. Pribadi-Nya ada di dalam kita dan kita juga ada di dalam Dia sebagai satu relasi yang penuh cinta. Jadi, setelah kita dibela oleh advokat terbaik yang ada di dunia ini, mari kita berjuang memperbaiki hidup kita yang sudah melakukan banyak kesalahan agar seperti Dia yang juga pernah hidup sebagai manusia yang tak pernah berbuat salah di dunia ini. Itulah kehendak-Nya, sebuah respon yang tepat bagi orang-orang yang sudah dibela dan dinyatakan TIDAK BERSALAH!

    Jesus paid it all,
    All to Him I owe;
    Sin had left a crimson stain,
    He washed it white as snow.

    – Jesus Paid It All (Elvina M. Hall)

    (Renungan Persekutua Doa Staf Kantor Perkantas Jakarta)

  • Kegagalan yang Ditebus

    Kegagalan yang Ditebus

    Seorang senior pernah berkata kepada saya sewaktu saya masih melayani di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampus, “Dulu di zaman saya, semuanya berjalan lebih baik daripada di zaman kalian.” Secara sadar, kita benci ketika mendengar perkataan seperti itu dari orang lain, apalagi jika perkataan tersebut ditujukan kepada diri kita. Namun, secara tidak sadar kita juga sering melakukan hal yang sama, membandingkan dan menghakimi. Padahal setiap kita juga rentan terhadap kegagalan, bahkan setiap generasi pasti memiliki cerita kegagalannya masing-masing. Seperti yang sering dikatakan orang-orang, “Tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan.”

    Kegagalan Terbesar Manusia

    Seorang tokoh Alkitab, murid Yesus, dan seorang rasul pernah berkali-kali diceritakan mengalami kegagalan dalam hidupnya. Siapakah dia? Petrus, seorang yang begitu blak-blakan, berbicara tanpa berpikir, seseorang yang juga sangat tidak ingin terlihat buruk di depan orang lain. Bahkan sewaktu mendengar Yesus berkata bahwa iman para murid-murid akan goncang pada saat itu, Petrus bisa langsung membantah dan menganggap salah perkataan Yesus (Mat. 26:30-35). Dengan pride yang begitu tinggi, dia tidak ingin Yesus berkata buruk tentang dirinya yang disebutkan akan menyangkal Yesus. Kita semua tahu kenyataannya karena kisah ini begitu sering dikhotbahkan. Petrus benar-benar menyangkal Yesus. Ini adalah salah satu kegagalan Petrus yang diceritakan dalam Alkitab.

    Rasanya hampir semua tokoh Alkitab pernah diceritakan mengalami kegagalan. Misalnya Daud, dia gagal dalam menghadapi dosa perzinahan, dia juga gagal memimpin keluarganya sendiri sampai-sampai anaknya sendiri ingin membunuh Daud. Kemudian kita juga bisa melihat Musa, dia gagal memimpin bangsa Israel ke tanah Kanaan hanya karena satu ketidaktaatan Musa. Ada juga Ayub yang selama ini selalu diceritakan sebagai orang yang sangat saleh, tetapi toh di dalam penderitaannya, dia juga mengalami jatuh bangun rohani.

    Semua orang berdosa adalah orang-orang yang pasti pernah mengalami kegagalan dan akan selalu rentan mengalami kegagalan di sepanjang hidupnya.

    “Karena semua orang telah berbuat dosa, dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” (Roma 3:23)

    Manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah juga dengan suatu tujuan tertentu yang Allah persiapkan yaitu menikmati dan memuliakan Allah sepanjang hidupnya, kini telah mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan tersebut karena dosa. Buntut-buntutnya, hingga kini manusia terus dan akan terus mengalami berbagai macam kegagalan dalam hidupnya karena dosa yang masih terus mengikat diri kita. Dosa adalah kegagalan terbesar manusia, dan manusia adalah kegagalan itu sendiri.

    Yesus dan Bartimeus

    Mungkin sebagian dari kita jarang mendengar nama Bartimeus. Kisahnya diceritakan dalam Markus 10:46-52. Bartimeus adalah seorang yang buta. Tentunya dia menginginkan kesembuhan sehingga dia dapat melihat kembali. Namun, disini ada hal yang menarik. Mengapa ketika Bartimeus datang kepada Yesus, dia justru mendapatkan pertanyaan, “Apa yang engkau inginkan untuk Aku lakukan kepadamu?” Mengapa Yesus mengajukan pertanyaan seperti itu? Bukankah sudah pasti dia menginginkan kesembuhan? Tidak mungkin kan apabila ada orang kelaparan yang datang kepada kita, namun kita masih bertanya, “Apa yang kamu mau?”

    Beberapa waktu yang lalu, ketika kota Jakarta masih dipimpin oleh gubernur Basuki Purnama ‘Ahok’. Ada berita tentang warga Kampung Pulo yang selama ini mendirikan rumah-rumah liar di pinggir kali. Mereka menolak dipindahkan ke rumah susun yang didirikan oleh Ahok. Kita semua mungkin geram ketika mendengar berita ini. Padahal mereka sudah disediakan fasilitas yang begitu memadai di rumah susun. Mereka bisa mendapatkan unit secara cuma-cuma, bahkan bisa hidup dengan lebih layak di rumah yang terbuat dari tembok. Akan tetapi, mengapa mereka tidak mau pindah?

    Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita perlu membayangkan diri kita menjadi seperti mereka. Mereka tidak siap dengan perubahan. Kehidupan yang lebih baik di rumah susun, tentunya menuntut mereka juga untuk memiliki standard hidup dan skill-skill baru yang harus mereka pelajari. Mereka harus mencari pekerjaan yang baru, mereka harus mencari penghasilan lebih untuk membayar uang sewa setiap bulannya, dan tentunya menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan hidup bersama dalam rumah susun. Mereka tidak bisa hidup bebas seperti dulu lagi ketika mereka hidup di rumah-rumah yang mereka dirikan.

    Hal yang sama juga tentunya akan dialami oleh Bartimeus jika dia dapat melihat kembali. Setelah sekian lama hidup sebagai orang buta, dia harus keluar dari zona nyaman yang dia miliki selama ini. Jika dia dapat melihat lagi, maka dia harus mencari pekerjaan dan penghasilan sendiri. Dia tidak dapat lagi berbaring di pasar sambil mengemis dan bergantung kepada kemurahan hati orang lain. Dia harus mengubah cara hidupnya. Dengan kata lain, pertanyaan Yesus sebenarnya ingin memastikan apakah dirinya ingin benar-benar sembuh dari kebutaannya dan membayar harga untuk sebuah kesembuhan, yaitu keluar dari zona nyaman dan beradaptasi dengan hidup yang baru.

    Pada akhirnya, pilihan yang diambil Bartimeus telah membawanya kepada kesembuhan dan menjadikannya sebagai pengikut Kristus. Bagi Bartimeus, kebutaannya adalah keterpurukan, kegagalan, dan penghalang baginya. Kristus yang datang ke dalam hidup Bartimeus telah mengangkat dirinya dari kegagalan itu. Kristus yang sama juga datang dalam hidup kita, menebus dosa dan setiap kegagalan kita dan mengangkat kita dari keterpurukan akibat kegagalan dan dosa.

    Apa yang selama ini menjadi kegagalanmu? Mungkin kejatuhan dalam dosa yang sama terus menerus? Mungkin kegagalan dalam studi, pekerjaan, pelayanan, berelasi? Semua kegagalan itu adalah masa lalu dan masa lalu bukanlah sebuah ke-selalu-an. Artinya, kita tidak dapat melihat masa lalu sebagai masa kini dan masa depan kita. Jika bagi Bartimeus, kebutaannya adalah masa depan yang tidak dapat diubah. Maka hidupnya akan selalu diikat oleh masa lalu, “Ah saya memang orang buta, mau bagaimana lagi? Saya akan mengemis sepanjang hidup saya.” (Merupa Hidup Dalam Rupa-Nya, Yohan Candawasa).

    Tetapi Bartimeus tidak mengambil jalan pasrah dengan kegagalan yang dialaminya. Dia beriman, dia menyerahkan masa depannya ke dalam tangan Kristus yang dia percaya. Sehingga poin terpenting bukanlah lagi apakah dia sembuh atau tidak, karena jika dia tidak sembuh maka hidupnya tidak akan berubah, tetapi jika dia sembuh maka akan ada tantangan baru yang harus dia hadapi.

    Poin terpenting dalam kisah ini adalah bagaimana Bartimeus beriman dan percaya kepada Kristus yang mampu menyelamatkan dan memberi masa depan baginya. Itulah yang membuat Bartimeus berani melangkah dari zona nyaman dan membayar harga untuk sebuah perubahan. Kita sesungguhnya juga merupakan Bartimeus yang mengalami kegagalan demi kegagalan dalam hidup kita. Pertanyaannya, maukah kita melangkah dengan berani menuju masa depan dan membayar harga demi masa depan yang lebih baik?

    Melangkah Menuju Masa Depan

    Mari kita kembali kepada kisah Petrus dalam Yohanes 21:15-19. Ini adalah pertama kalinya Petrus bertemu kembali dengan Yesus setelah dia menyangkal Yesus, tepat seperti yang dikatakan Yesus sebelumnya. Kita dapat membayangkan perasaan Petrus disini, dia pasti merasa sangat malu dan bersalah kepada Yesus. Akan tetapi, disini Yesus tidak bersikap menghakiminya. Justru Yesus menawarkan suatu perubahan dalam hidup Petrus, “Gembalakanlah kawanan dombaku.” Tentunya ini bukan suatu langkah mudah yang harus diambil Petrus. Dia tahu bahwa tidak mudah menjadi pengikut dan penyebar ajaran seseorang yang dianggap bidat bahkan sampai dihukum salib. Namun, kita tahu apa yang dipilih Petrus, seperti yang juga dijelaskan Yesus di ayat 18-19. Di akhir hidupnya, Petrus akan mati martir dan memuliakan Tuhan.

    Petrus, dari sebuah penyangkalan sampai akhirnya mati martir demi Kristus. Dari keterpurukan dalam kegagalan, hingga akhirnya diberikan kesempatan untuk hidup baru. Sekarang kita semua juga diberikan kesempatan untuk bangkit menuju masa depan walaupun ada tantangan yang harus dilewati dan harga yang harus dibayar. Pertanyaannya adalah, “Apa yang kamu mau agar Aku lakukan untukmu?”

    Mari meminta hikmat kepada Kristus untuk memampukan kita menjawab dengan tepat, keluar dari zona nyaman, dan membayar harga demi sebuah perubahan.

    HIDUP BAGI KRISTUS

    Tuhan Kau pernah ada di tengah manusia
    Berjalan di antara manusia berdosa
    Menyembuhkan yang luka, mengangkat yang jatuh
    Melepaskan yang terikat dalam dosa

    Tuhan t’lah kurasakan indahnya kasih-Mu
    Tak mungkin hanya kusimpan berdiam diri
    Bawalah aku berjalan di tengah dunia-Mu
    Buatlah aku hidup hanya untuk-Mu

    Reff:
    Hidup bagi Kristus hanya mungkin kar’na kasih-Nya
    Hidup bagi Kristus hanya mungkin kar’na anugerah
    Mengasihi yang Dia kasihi
    Melakukan yang Dia kerjakan
    Kumau hidup bagi Kristus

    Cipt: Astri Sinaga

    (Tulisan ini merupakan hasil penyuntingan dari naskah khotbah yang saya bawakan di Pembinaan Pengurus PO Binus pada tanggal 1 Desember 2017)

  • Jesus, What a Friend for Sinners!

    Jesus, What a Friend for Sinners!

    Baca Roma 16:25-27

    Paulus yang tidak yakin apakah dia akan bisa sampai dengan selamat di Roma setelah melewati Yerusalem–tempat dimana kemungkinan dia akan dibunuh–pasti menyadari bahwa mungkin ini adalah tulisan terakhirnya yang bisa ditulis. Tulisan terakhir pastilah merupakan sesuatu yang penting, karena berarti itu adalah kesempatan terakhir Paulus untuk memberitakan Injil. Doksologi yang menjadi penutup surat terakhirnya–jika ia dibunuh di Yerusalem—tentunya bukanlah ayat-ayat yang tidak penting. Bagi Paulus, setiap kata berarti, apalagi dalam surat yang kemungkinan menjadi surat terakhirnya ini.

    Doksologi berasal dari kata “doxa” yang berarti kemuliaan dan “logos” yang berarti firman atau kata. Doksologi adalah kata-kata yang memuliakan Allah atau suatu ungkapan penyembahan dan pujian kepada Allah atas setiap perbuatan-Nya. Kita dapat menemukan Doksologi juga di dalam Mazmur 117 dan Yudas 1:24-25. Doksologi membuat kita mengingat perbuatan Allah dalam hidup kita dan kemudian kita mengungkapkan ekspresi pujian kita kepada-Nya.

    Lalu, mengapa Paulus memuji Allah di ayat ini? Apa alasannya?

    Dikuatkan oleh Kebenaran Injil

    Alasannya terutama terletak pada kebaikan Allah yang terbukti melalui Injil. Kemudian Injil ini yang menguatkan manusia–memberi pengharapan dan iman bagi setiap orang yang mendengarnya–khususnya jemaat di Roma lewat surat yang ditulis oleh Paulus ini (Rom.1:11-12).

    Injil Allah tidak pernah berubah, ini adalah “perintah Allah yang abadi”. Injil tidak muncul tiba-tiba dalam benak Allah. Sejak awal, Allah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kedatangan Kristus sebagai manusia. Allah bekerja di dalam sejarah melalui nabi-nabi. Injil itu otentik dan merupakan rencana otentik dari Allah yang juga otentik. Sekalipun dulu dianggap misteri, namun sekarang Injil itu dapat dimengerti. Tidak semua orang mendapat hak yang sama untuk dapat mengerti misteri tersebut. Hanya orang-orang terpilih berdasarkan kemurahan hati Allah yang diberikan anugerah untuk mengerti hal tersebut. Di dalam surat Roma, kita dapat menemukan banyak topik mengenai anugerah Allah bagi umat-Nya dan pembebasan bagi umat manusia dari dosa. Kerusakan total (total depravity) yang dialami manusia bahkan tidak dapat membuat manusia memilih untuk berpaling mendengarkan atau membaca Injil. Tetapi, kita dapat, bahkan kita dapat mengerti Injil itu. Paulus juga mengalaminya. Ia yang semula adalah penindas umat Allah, tapi diizinkan mengalami penyataan Ilahi sehingga dapat mengerti Injil yang ia sebut “my gospel” (Gal.1:12). Betapa besarnya anugerah Allah bagi umat yang dikasihi-Nya. Injil tentang kedatangan Juruselamat telah menguatkan umat–setiap orang percaya dari abad ke abad. Injil itu memberikan pengharapan bagi semua bangsa. Sekarang, bagi Paulus yang bebannya begitu besar untuk jemaat non Yahudi, begitu mensyukuri kemurahan hati Allah bagi semua bangsa yang ternyata dari misteri itu sudah tersingkap dengan jelas.

    Kekuatan dari Allah melalui Injil itulah yang membimbing kita kepada ketaatan iman. Sebagai manusia, seringkali kita melihat kekuatan kita dalam hal-hal di luar Allah. Seringkali saya pribadi suka berpikir, seandainya saya punya uang banyak bak konglomerat sekaliber Bill Gates. Pasti rasanya enak sekali karena seumur hidup sudah aman dan tinggal menjalani sisa hidup dengan senang-senang. Akan tetapi pikiran tersebut untungnya selalu dipatahkan ketika saya mengingat bahwa kekayaan itu bisa dan akan hilang di dalam kekekalan. Kekuatan kita tidak dapat didasarkan pada sesuatu yang fana, hanya Kristus lah yang kekal. Berita tentang Kristus–Injil–adalah kekuatan kita.

    “… mengalami kasih Allah dalam Kristus membuat seseorang tidak akan menemukan kepuasan pada berkat-berkat terhebat dari dunia ini. Kasih luar biasa itu membuat kita tidak akan berhenti berjalan, sampai kita ada bersama Yesus di Sorga nanti.” (Mendapatkan-Mu Dalam Kehilanganku, Pdt. Yohan Candawasa)

    Paulus yang begitu militan dalam pelayanannya, menantang maut, hidup melarat dan ditindas, sangat mengerti akan hal tersebut. Bagi Paulus, Injil adalah kekuatan yang begitu berharga yang diberikan oleh Allah. Hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya memuliakan Allah.

    Jesus, What a Friend for Sinners!

    Jesus! what a Friend for sinners!
    Jesus! Lover of my soul;
    Friends may fail me, foes assail me,
    He, my Savior, makes me whole.

    Jesus! what a strength in weakness!
    Let me hide myself in Him.
    Tempted, tried, and sometimes failing,
    He, my strength, my victory wins.

    Jesus! what a help in sorrow!
    While the billows over me roll,
    Even when my heart is breaking,
    He, my comfort, helps my soul.

    Jesus! what a guide and keeper!
    While the tempest still is high,
    Storms about me, night overtakes me,
    He, my pilot, hears my cry.

    Refrain

    Hallelujah! what a Savior!
    Hallelujah! what a friend!
    Saving, helping, keeping, loving,
    He is with me to the end.

    Lagu Jesus What a Friend for Sinners menyatakan dengan jelas bahwa Yesus adalah penyelamat di tengah hukuman, kekuatan di tengah kelemahan, penolong di tengah kesukaran, dan penuntun di tengah kesesatan. Lagu ini ditulis oleh J. Wilbur Chapman (1859-1918). Sejak kecil, kedua orangtuanya yang merupakan orang percaya sudah mempersiapkan Chapman untuk menjadi hamba Tuhan. Demikianlah Chapman dididik dalam iman Kristen dan bertumbuh menjadi seseorang yang melayani Tuhan seumur hidupnya di gereja Presbyterian. Namun, kehidupannya yang saleh ternyata tidak menjamin malapetaka terhindar darinya. Hidupnya dirundung dengan kehilangan-kehilangan yang menyakitkan. Ia menikah dengan Irene Staddon pada tahun 1882. Namun, istrinya meninggal sebulan setelah melahirkan anak pertama mereka pada tahun 1886. Dua tahun kemudian, Chapman menikah lagi dengan Agnes Pruyn Stain. Mereka memiliki 4 orang anak, tetapi salah satu anaknya meninggal ketika masih bayi. Kemudian Agnes meninggal pada tahun 1907.

    Sumber: http://www.wnd.com/files/2013/04/130402chapmanz.jpg

    Semua kemalangan itu pasti membuatnya lemah, tetapi Allah terus memberinya kekuatan untuk terus melayani Tuhan. Ia dipakai dengan begitu luar biasa, memimpin beberapa gereja, berkhotbah, menginjili hingga ribuan orang bertobat. Pada tahun 1910, akhirnya ia mengikat janji pernikahan untuk terakhir kalinya bersama wanita yang menemani sepanjang sisa hidupnya. Di tahun yang sama, ia menulis lagu yang menjadi ungkapan hatinya bagi Tuhan dalam melewati pergumulan hidupnya. Berharap pada sahabat ataupun keluarga dapat mengecewakan karena mereka tidak abadi. Tetapi Kristus tidak pernah mengecewakannya, justru malah kepuasan sejati dapat dirasakan dari-Nya. Itulah yang menjadi kekuatan bagi Chapman untuk memuji dan menyembah Allah lewat lagu gubahannya.

    Doxologi

    Apakah Injil sudah menjadi kekuatan bagi kita? Seringkali kita mengaku bahwa memang Injil adalah keselamatan bagi kita, tapi nyatanya Injil tidak kita anggap kekuatan bagi kita. Kekuatan bagi diri kita masih disandarkan pada hal-hal lain. Kitab Roma dibuka oleh pemaparan tentang bagaimana manusia tidak berdaya, hopeless, dan diperbudak oleh dosa. Tetapi kitab Roma ditutup oleh pengharapan bahwa Injil menguatkan kita, manusia berdosa. Ketika kita dapat menghayati arti Injil, maka kita akan sampai pada suatu titik dimana kita dapat berkata, “Aku tidak butuh yang lain, Injil saja sudah cukup bagiku untuk menghadapi kehidupan ini.”

    Mari belajar menghayati arti Injil itu dan pujilah Allah atas rahmat dan kasih-Nya yang besar bagi kita. Doxology!

    Praise God, from Whom all blessings flow;
    Praise Him, all creatures here below;
    Praise Him above, ye heav’nly host;
    Praise Father, Son, and Holy Ghost.

    (“Doxology” by Thomas Ken, 1674)