Tag: Ministry

  • Belajar Menjadi Hamba Tuhan dari Amos

    Belajar Menjadi Hamba Tuhan dari Amos

    Bagi sebagian besar orang, mengetahui dan memberitakan kebenaran adalah suatu hal yang sangat penting. Walaupun kebenaran bukanlah suatu berita yang selalu menyenangkan untuk diketahui, apalagi diberitakan. Seorang hamba Tuhan merupakan seorang pemberita kebenaran. Tentu, ini bukanlah sebuah tugas yang mudah. Bagaimana kita dapat belajar menjadi seorang hamba Tuhan atau pemberita-pemberita kebenaran? Mari belajar dari Amos 7:10-17.

    Amos adalah seorang pemberita kebenaran. Sekalipun apa yang dia beritakan tersebut tidak enak didengar, bahkan mungkin tidak untuk dirinya yang menubuatkan penghukuman bagi bangsanya sendiri. Namun, Amos tetap taat dan setia mengerjakan panggilan Tuhan sebagai penyambung lidah-Nya. Sebenarnya sangat banyak alasan untuk Amos tidak menyuarakan kebenaran. Nyawanya terancam karena dituduh sebagai pengkhianat (10) yang bersepakat melawan Raja oleh karena malapetaka yang dinubuatkan bagi bangsanya sendiri. Dirinya pun terancam dialienasi oleh teman-teman sebangsanya sendiri yang tidak dapat menerima nubuat penghukuman tersebut. Di dalam hatinya pun, mungkin dia menjerit karena kesedihan ketika harus menubuatkan malapetaka-malapetaka bagi bangsanya sendiri seperti Raja yang akan terbunuh dan bangsa tersebut akan menjadi orang-orang buangan (11).

    Dalam berbagai alasan dan kondisi yang demikian, Amos tetap setia menjalani panggilan Tuhan walaupun latar belakangnya bukanlah seorang nabi, baik dia maupun keluarganya (14). Amos hanyalah seorang peternak domba dan pemungut buah ara hutan (15). Dia hanyalah seorang biasa yang berjuang menafkahi hidupnya dengan pekerjaan yang mungkin seringkali diremehkan orang-orang sekitarnya. Tidak ada yang istimewa dari dirinya. Namun, uniknya Tuhan seringkali memberi anugerah-Nya kepada mereka yang biasa saja, lemah, dan tidak dipandang orang. Tuhan tidak memandang Amos berdasarkan penampakan luar, di saat begitu banyak orang-orang yang bisa saja menilai kepantasan Amos dari apa yang dia miliki. Lebih dalam lagi kepada apa yang tidak dapat dipandang oleh manusia, Tuhan memandang hati Amos yang tulus meninggalkan pekerjaannya—sumber mata pencahariannya untuk sekedar menafkahi hidupnya—demi memenuhi panggilan Tuhan tanpa upah sekalipun.

    Kebenaran adalah suatu hal yang tidak dapat dibeli dengan emas atau perak. Sekalipun seseorang memiliki begitu banyak harta pun, tidak ada jaminan bahwa dia merupakan seorang yang sudah mengerti kebenaran. Sementara ada begitu banyak orang yang berharap dan mengasumsikan bahwa dirinya sudah cukup mengerti kebenaran. Lain halnya dengan mereka yang tidak peduli dan mengeruk keuntungan dengan memanipulasi kebenaran.

    Amazia adalah seorang kepala imam di Betel. Seorang dengan kedudukan yang demikian tinggi, bersahabat dengan golongan kelas atas, sehari-harinya bekerjasama dengan Raja dan jajaran pemerintahan. Terhormat di mata dunia, namun tidak bagi Allah. Dia adalah seseorang yang memanipulasi kebenaran demi keuntungan pribadinya. Sebutannya memang imam, tetapi dia tidak melayankan kebenaran dan melayani Allah.

    Sangat kontras dengan Amos yang rela melayani tanpa upah, bagi Amazia pekerjaan hamba Tuhan adalah sebuah profesi untuk mencari makan (12). Kepada siapa dia melayani pun bukanlah kepada Allah dan umat-Nya, tetapi kepada Raja yang dapat memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri (13). Perkataannya yang menjurus kepada materi dan bahkan tanpa segan menyerang Amos untuk mengusirnya dengan tuduhan yang tak dapat dibuktikan (10) menggambarkan dengan jelas motivasi hatinya.

    Seseorang yang menyandang sebutan sebagai hamba Tuhan secara khusus atau penuh waktu sangat mungkin memiliki motivasi yang melenceng. Apalagi saat ini sangat banyak hamba Tuhan penuh waktu yang hidupnya bahkan lebih terjamin dan lebih berlimpah ketimbang jemaatnya sendiri. Ketika panggilan sebagai hamba Tuhan pada awalnya adalah panggilan untuk menyerahkan seluruh hidup dan mempercayai Tuhan yang akan mencukupkan kebutuhan diri, namun banyak juga kisah-kisah kejatuhan sebuah gereja atau lembaga pelayanan yang diakibatkan permainan politik antara hamba Tuhan penuh waktu. Mereka dapat saling menyerang dalam mimbar dan rapat untuk membuktikan kehebatannya di mata jemaat dan majelis. Tanpa segan, gaji dan persembahan kasih pun bisa dipermasalahkan di saat gaji yang ada mungkin melebihi pendapatan jemaat yang memberikannya.

    Kisah ini mengajarkan sisi gelap dari seseorang yang mengakui dirinya sebagai hamba Tuhan tetapi tidak melayani Tuhan. Tidak terbayangkan betapa sulitnya tuntutan yang diemban Amos sebagai pemberita kebenaran namun ditekan oleh berbagai pihak. Walaupun demikian, Tuhan tidak tinggal diam membiarkan nama-Nya dimanfaatkan demi kepentingan pribadi. Amazia dihukum karena menolak Amos dan Allah yang sudah mengutusnya (16). Apa yang akan menimpa istri dan anak-anak Amazia merupakan sebuah gambaran yang jelas bahwa Tuhan akan mengambil setiap harta yang selama ini dia terima sebagai hasil memanipulasi kebenaran. Selain istrinya yang harus menjual diri demi bertahan hidup, tanah yang selama ini Amazia kumpulkan akan dibagi-bagi sebagai hasil jarahan. Hingga akhirnya dia akan mati dengan tangan hampa dan tanpa kehormatan karena bangsa Israel benar-benar akan dibuang seperti yang dinubuatkan oleh Amos yang dia tolak.

    Allah membela hamba-Nya yang berani menyuarakan kebenaran. Pengakuan dari Allah adalah bentuk apresiasi tertinggi yang bisa didapatkan seorang hamba Tuhan yang taat dan setia mengerjakan panggilannya.

    “Akhirnya sebagai pelayan di gereja, apakah sebagai pendeta, presbiter, pemimpin, atau pekerja dalam bidang apa pun, yang selama ini telah memanfaatkan tugas dan fungsi gereja untuk memperkaya diri sendiri, serta untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan keluarga Anda, maka kini saatnya untuk Anda berhenti melakukan semua perbuatan itu, mengaku kesalahan Anda di hadapan Allah, dan meminta pengampunan-Nya. Anda masih memiliki kesempatan untuk kembali memurnikan motivasi dan tujuan Anda dalam melayani Allah sebelum hal-hal buruk menimpa Anda dan keluarga.” (Kitab Amos – Tanggung Jawab Orang Kristen dalam Mengatasi Masalah Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik- Victor P. H. Nikijuluw)

    (Renungan Persekutuan Doa Staf Kantor Perkantas Jakarta)

  • Wounded Healer

    Wounded Healer

    Baca Matius 9:9-13

    Kisah ini bercerita tentang Yesus yang makan bersama dengan pemungut cukai. Pada zaman itu, pemungut cukai umumnya sering memeras pajak rakyat dan dianggap pengkhianat karena mereka adalah orang-orang Yahudi yang memeras sesama orang Yahudi. Hal ini memancing komentar-komentar nyinyir dari para orang Farisi. Mereka heran mengapa Yesus mau makan bersama dengan orang berdosa.

    Apa respon Yesus? Tidak terbayangkan bagaimana ekspresi wajah Yesus pada saat itu. Mungkin dengan santai dan tegas, mungkin rautnya sedih, mungkin dengan marah, Yesus berkata bahwa “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.”

    Siapakah yang dimaksud orang sehat disini? Dan, siapa yg dimaksud orang sakit? Pastinya, yang dimaksud orang sakit disini adalah orang berdosa, yaitu pemungut cukai yang dipandang sebagai orang berdosa. Lalu siapa yang dimaksud Yesus sebagai orang yang sehat? Apakah orang Farisi tersebut bisa dibilang sehat? Ternyata tidak. Yesus tidak bermaksud mengatakan bahwa hanya pemungut cukai lah yang sakit dan butuh tabib, sedangkan orang Farisi sudah sehat dan tidak butuh penyembuhan sang tabib. Yesus sama sekali tidak bermaksud mengatakan hal itu.

    Nyatanya tidak ada satu orang pun yang sehat, semuanya sakit.

    Orang Farisi yang dikenal sebagai orang yang sangat taat hukum Allah, rutin dan sangat rajin melakukan semua hukum taurat sampai ke perintilannya, tidak bisa dibilang sehat. Mereka sakit, kita pun demikian. Sebagai seorang pelayan Tuhan, sebagai seorang pengkhotbah, majelis atau gembala para jemaat, kita pun butuh tabib karena kita juga adalah orang yang terluka.

    Yesus bahkan berkata “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa”

    Seringkali sebagai seorang pelayan Tuhan, kita merasa bahwa diri kita sudah cukup baik ketika melayani Tuhan. Kita sibuk melayani, mengurusi ini dan itu, membuat program, acara, dan sebagainya. Kita mudah terjebak dalam pemikiran ‘yang penting jemaat menikmati dan bertumbuh’, padahal kita juga perlu duduk di kaki Tuhan Yesus dan disembuhkan oleh-Nya.

    Kita adalah wounded healer. Healer sebagai penyembuh para jemaat yang terluka, tapi kita sendiri juga wounded sama seperti mereka yang kita layani. Ini adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang mengangkat kita sebagai penyembuh walaupun kita sendiri juga terluka. Itulah sebabnya kita butuh terus melihat kepada sang Penyembuh, sang Tabib yang sejati, Yesus Kristus.

    Ketika Yesus menyuruh orang Farisi untuk pergi dan mempelajari arti perkataannya ini, demikianlah juga Dia menyuruh kita untuk terus mengingat dan memahami bahwa kita adalah orang-orang yang membutuhkan penyembuhan sang tabib.

    Kiranya kebenaran ini dapat membuat kita selalu haus dan rindu mencari Tuhan yang mampu terus menyembuhkan luka kita sampai kelak di surga nanti luka kita akan benar-benar sembuh dengan sempurna.

  • Bejana Tanah Liat

    Bejana Tanah Liat

    2 Korintus 4:7 “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.”

    Bejana tanah liat adalah sebuah benda yang rapuh dan tidak elite. Ketika membaca ayat ini, kita seharusnya bertanya-tanya siapa yang mau menyimpan harta dalam sebuah tempat yang rapuh. Bukankah seseorang biasanya menyimpan harta di tempat yang aman dan berharga?

    Sebuah bejana tanah liat seharusnya adalah benda yang dapat membantu kita untuk menyimpan sesuatu, tetapi jikalau dipakai untuk menyimpan harta, bisa saja bejana tanah liat bukanlah benda yang tepat untuk itu. Pernahkah kita memiliki niat baik untuk membantu orang lain, tapi yang ada justru kita malah merepotkan orang yang ingin kita bantu seperti bejana tanah liat itu?

    Saya mengalami kejadian ini dengan keponakan saya yang masih berumur 3 tahun. Suatu hari ketika saya sedang menginap di rumah kakak, saya bertanya kepadanya apakah ada meja laptop yang bisa saya pakai. Sebelum kakak saya menjawab, keponakan saya yang bernama Jason ini rupanya mendengar pembicaraan kami dan langsung berinisiatif mengambil meja laptop yang sedang dipakai adik saya untuk memberikannya kepada saya. Lantas laptop adik saya hampir saja jatuh dari meja laptop yang digeser secara mendadak oleh Jason. Saya tahu Jason bermaksud baik kepada saya, hanya saja saya merasa akan sangat bersalah dan kerepotan apabila harus membelikan adik saya laptop baru.

    Seringkali kisah ini kita alami juga dalam kehidupan sehari-hari, tatkala niat baik kita berubah menjadi beban bagi orang lain yang ingin kita tolong. Bahkan secara tidak sadar, kita juga sebenarnya melakukan hal itu kepada Tuhan di dalam pelayanan kita. Dengan rendah hati, kita harus belajar mengakui bahwa kualitas pelayanan yang kita berikan tidak akan pernah bisa mencapai standard Tuhan. Maka dari itulah, pelayanan sebenarnya adalah sebuah anugerah. Kita sangat sering mendengar kalimat itu sampai-sampai kita tidak sadar apa arti sesungguhnya anugerah pelayanan itu. Berefleksi dari kisah saya dan Jason, sesungguhnya kita tidak akan bisa membantu Tuhan melalui pelayanan kita.

    Jikalau Tuhan yang maha kuasa itu mau bekerja sendiri, dia bisa saja dalam sekejap mengubah segala hal dalam pelayanan yang sedang kita kerjakan untuk langsung menggenapkan kehendak-Nya. Dia tidak perlu lagi merepotkan diri melihat dan mengurusi pelayan-pelayannya ini yang setiap kali bertengkar dalam pelayanan, merasa diri paling dibutuhkan dan tidak bergantung pada Tuhan dengan pikiran “jika tidak ada aku, pelayanan ini tidak akan berjalan”, atau malas-malasan dan melayani tergantung mood saja. Namun, mengapa Dia masih ingin mempercayakan sebuah harta, yaitu Injil Kerajaan Sorga untuk kita beritakan, walaupun kita penuh dengan keterbatasan dan kelemahan dalam mengerjakannya?

    Ini adalah sebuah paradoks yang indah dalam kehidupan Kristen. Tuhan tidak membutuhkan tenaga, waktu, kemampuan, atau kepintaran kita. Akan tetapi, Dia melihat kepada sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi dalam diri setiap kita. Dia menginginkan hati kita dan apa yang lahir dari situ, yaitu niat dan kesungguhan kita menyerahkan segenap hidup kita kepada-Nya. Dia bagaikan seorang Ayah bagi kita yang sangat senang melihat anak-anak-Nya yang masih kecil dan lugu mau membantu Dia sekalipun mungkin yang kita kerjakan secara tidak disadari sedang merepotkan sang Ayah.

    Ada sebuah lagu yang sangat indah mengajarkan kepada kita betapa dalamnya kerinduan hati Bapa melihat pelayanan kita yang bukan didasarkan pada kehebatan ataupun kemampuan kita tetapi kesungguhan hati kita.

    Andaikan jagad milikku
    dan kuserahkan padaNya,
    tak cukup bagi Tuhanku
    diriku yang dimintaNya.

    (Memandang Salib Rajaku, KJ 169 bait 5)

    Seperti Tuhan yang tidak menyerahkan diri-Nya setengah-setengah melainkan sepenuhnya. Bayangkan jika Yesus hanya mau sekedar lahir sebagai manusia tapi tidak mau hidup menderita dan mati di kayu Salib. Atau bayangkan jika Yesus hanya mau sekedar lahir sebagai manusia, memuridkan murid-murid-Nya tetapi Dia tidak mau mati di kayu Salib. Kiranya kita juga bisa belajar meneladani Yesus yang tidak setengah-setengah, melainkan dengan sepenuh hati melayani-Nya dan menyadari bahwa kekuatan untuk bisa merawat harta Injil Kerajaan Sorga itu adalah berasal dari sang pemilik harta itu sendiri, yaitu Allah.