Tag: Servant’s Life

  • Wounded Healer

    Wounded Healer

    Baca Matius 9:9-13

    Kisah ini bercerita tentang Yesus yang makan bersama dengan pemungut cukai. Pada zaman itu, pemungut cukai umumnya sering memeras pajak rakyat dan dianggap pengkhianat karena mereka adalah orang-orang Yahudi yang memeras sesama orang Yahudi. Hal ini memancing komentar-komentar nyinyir dari para orang Farisi. Mereka heran mengapa Yesus mau makan bersama dengan orang berdosa.

    Apa respon Yesus? Tidak terbayangkan bagaimana ekspresi wajah Yesus pada saat itu. Mungkin dengan santai dan tegas, mungkin rautnya sedih, mungkin dengan marah, Yesus berkata bahwa “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.”

    Siapakah yang dimaksud orang sehat disini? Dan, siapa yg dimaksud orang sakit? Pastinya, yang dimaksud orang sakit disini adalah orang berdosa, yaitu pemungut cukai yang dipandang sebagai orang berdosa. Lalu siapa yang dimaksud Yesus sebagai orang yang sehat? Apakah orang Farisi tersebut bisa dibilang sehat? Ternyata tidak. Yesus tidak bermaksud mengatakan bahwa hanya pemungut cukai lah yang sakit dan butuh tabib, sedangkan orang Farisi sudah sehat dan tidak butuh penyembuhan sang tabib. Yesus sama sekali tidak bermaksud mengatakan hal itu.

    Nyatanya tidak ada satu orang pun yang sehat, semuanya sakit.

    Orang Farisi yang dikenal sebagai orang yang sangat taat hukum Allah, rutin dan sangat rajin melakukan semua hukum taurat sampai ke perintilannya, tidak bisa dibilang sehat. Mereka sakit, kita pun demikian. Sebagai seorang pelayan Tuhan, sebagai seorang pengkhotbah, majelis atau gembala para jemaat, kita pun butuh tabib karena kita juga adalah orang yang terluka.

    Yesus bahkan berkata “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa”

    Seringkali sebagai seorang pelayan Tuhan, kita merasa bahwa diri kita sudah cukup baik ketika melayani Tuhan. Kita sibuk melayani, mengurusi ini dan itu, membuat program, acara, dan sebagainya. Kita mudah terjebak dalam pemikiran ‘yang penting jemaat menikmati dan bertumbuh’, padahal kita juga perlu duduk di kaki Tuhan Yesus dan disembuhkan oleh-Nya.

    Kita adalah wounded healer. Healer sebagai penyembuh para jemaat yang terluka, tapi kita sendiri juga wounded sama seperti mereka yang kita layani. Ini adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang mengangkat kita sebagai penyembuh walaupun kita sendiri juga terluka. Itulah sebabnya kita butuh terus melihat kepada sang Penyembuh, sang Tabib yang sejati, Yesus Kristus.

    Ketika Yesus menyuruh orang Farisi untuk pergi dan mempelajari arti perkataannya ini, demikianlah juga Dia menyuruh kita untuk terus mengingat dan memahami bahwa kita adalah orang-orang yang membutuhkan penyembuhan sang tabib.

    Kiranya kebenaran ini dapat membuat kita selalu haus dan rindu mencari Tuhan yang mampu terus menyembuhkan luka kita sampai kelak di surga nanti luka kita akan benar-benar sembuh dengan sempurna.

  • Kegagalan yang Ditebus

    Kegagalan yang Ditebus

    Seorang senior pernah berkata kepada saya sewaktu saya masih melayani di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampus, “Dulu di zaman saya, semuanya berjalan lebih baik daripada di zaman kalian.” Secara sadar, kita benci ketika mendengar perkataan seperti itu dari orang lain, apalagi jika perkataan tersebut ditujukan kepada diri kita. Namun, secara tidak sadar kita juga sering melakukan hal yang sama, membandingkan dan menghakimi. Padahal setiap kita juga rentan terhadap kegagalan, bahkan setiap generasi pasti memiliki cerita kegagalannya masing-masing. Seperti yang sering dikatakan orang-orang, “Tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan.”

    Kegagalan Terbesar Manusia

    Seorang tokoh Alkitab, murid Yesus, dan seorang rasul pernah berkali-kali diceritakan mengalami kegagalan dalam hidupnya. Siapakah dia? Petrus, seorang yang begitu blak-blakan, berbicara tanpa berpikir, seseorang yang juga sangat tidak ingin terlihat buruk di depan orang lain. Bahkan sewaktu mendengar Yesus berkata bahwa iman para murid-murid akan goncang pada saat itu, Petrus bisa langsung membantah dan menganggap salah perkataan Yesus (Mat. 26:30-35). Dengan pride yang begitu tinggi, dia tidak ingin Yesus berkata buruk tentang dirinya yang disebutkan akan menyangkal Yesus. Kita semua tahu kenyataannya karena kisah ini begitu sering dikhotbahkan. Petrus benar-benar menyangkal Yesus. Ini adalah salah satu kegagalan Petrus yang diceritakan dalam Alkitab.

    Rasanya hampir semua tokoh Alkitab pernah diceritakan mengalami kegagalan. Misalnya Daud, dia gagal dalam menghadapi dosa perzinahan, dia juga gagal memimpin keluarganya sendiri sampai-sampai anaknya sendiri ingin membunuh Daud. Kemudian kita juga bisa melihat Musa, dia gagal memimpin bangsa Israel ke tanah Kanaan hanya karena satu ketidaktaatan Musa. Ada juga Ayub yang selama ini selalu diceritakan sebagai orang yang sangat saleh, tetapi toh di dalam penderitaannya, dia juga mengalami jatuh bangun rohani.

    Semua orang berdosa adalah orang-orang yang pasti pernah mengalami kegagalan dan akan selalu rentan mengalami kegagalan di sepanjang hidupnya.

    “Karena semua orang telah berbuat dosa, dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” (Roma 3:23)

    Manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah juga dengan suatu tujuan tertentu yang Allah persiapkan yaitu menikmati dan memuliakan Allah sepanjang hidupnya, kini telah mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan tersebut karena dosa. Buntut-buntutnya, hingga kini manusia terus dan akan terus mengalami berbagai macam kegagalan dalam hidupnya karena dosa yang masih terus mengikat diri kita. Dosa adalah kegagalan terbesar manusia, dan manusia adalah kegagalan itu sendiri.

    Yesus dan Bartimeus

    Mungkin sebagian dari kita jarang mendengar nama Bartimeus. Kisahnya diceritakan dalam Markus 10:46-52. Bartimeus adalah seorang yang buta. Tentunya dia menginginkan kesembuhan sehingga dia dapat melihat kembali. Namun, disini ada hal yang menarik. Mengapa ketika Bartimeus datang kepada Yesus, dia justru mendapatkan pertanyaan, “Apa yang engkau inginkan untuk Aku lakukan kepadamu?” Mengapa Yesus mengajukan pertanyaan seperti itu? Bukankah sudah pasti dia menginginkan kesembuhan? Tidak mungkin kan apabila ada orang kelaparan yang datang kepada kita, namun kita masih bertanya, “Apa yang kamu mau?”

    Beberapa waktu yang lalu, ketika kota Jakarta masih dipimpin oleh gubernur Basuki Purnama ‘Ahok’. Ada berita tentang warga Kampung Pulo yang selama ini mendirikan rumah-rumah liar di pinggir kali. Mereka menolak dipindahkan ke rumah susun yang didirikan oleh Ahok. Kita semua mungkin geram ketika mendengar berita ini. Padahal mereka sudah disediakan fasilitas yang begitu memadai di rumah susun. Mereka bisa mendapatkan unit secara cuma-cuma, bahkan bisa hidup dengan lebih layak di rumah yang terbuat dari tembok. Akan tetapi, mengapa mereka tidak mau pindah?

    Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita perlu membayangkan diri kita menjadi seperti mereka. Mereka tidak siap dengan perubahan. Kehidupan yang lebih baik di rumah susun, tentunya menuntut mereka juga untuk memiliki standard hidup dan skill-skill baru yang harus mereka pelajari. Mereka harus mencari pekerjaan yang baru, mereka harus mencari penghasilan lebih untuk membayar uang sewa setiap bulannya, dan tentunya menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan hidup bersama dalam rumah susun. Mereka tidak bisa hidup bebas seperti dulu lagi ketika mereka hidup di rumah-rumah yang mereka dirikan.

    Hal yang sama juga tentunya akan dialami oleh Bartimeus jika dia dapat melihat kembali. Setelah sekian lama hidup sebagai orang buta, dia harus keluar dari zona nyaman yang dia miliki selama ini. Jika dia dapat melihat lagi, maka dia harus mencari pekerjaan dan penghasilan sendiri. Dia tidak dapat lagi berbaring di pasar sambil mengemis dan bergantung kepada kemurahan hati orang lain. Dia harus mengubah cara hidupnya. Dengan kata lain, pertanyaan Yesus sebenarnya ingin memastikan apakah dirinya ingin benar-benar sembuh dari kebutaannya dan membayar harga untuk sebuah kesembuhan, yaitu keluar dari zona nyaman dan beradaptasi dengan hidup yang baru.

    Pada akhirnya, pilihan yang diambil Bartimeus telah membawanya kepada kesembuhan dan menjadikannya sebagai pengikut Kristus. Bagi Bartimeus, kebutaannya adalah keterpurukan, kegagalan, dan penghalang baginya. Kristus yang datang ke dalam hidup Bartimeus telah mengangkat dirinya dari kegagalan itu. Kristus yang sama juga datang dalam hidup kita, menebus dosa dan setiap kegagalan kita dan mengangkat kita dari keterpurukan akibat kegagalan dan dosa.

    Apa yang selama ini menjadi kegagalanmu? Mungkin kejatuhan dalam dosa yang sama terus menerus? Mungkin kegagalan dalam studi, pekerjaan, pelayanan, berelasi? Semua kegagalan itu adalah masa lalu dan masa lalu bukanlah sebuah ke-selalu-an. Artinya, kita tidak dapat melihat masa lalu sebagai masa kini dan masa depan kita. Jika bagi Bartimeus, kebutaannya adalah masa depan yang tidak dapat diubah. Maka hidupnya akan selalu diikat oleh masa lalu, “Ah saya memang orang buta, mau bagaimana lagi? Saya akan mengemis sepanjang hidup saya.” (Merupa Hidup Dalam Rupa-Nya, Yohan Candawasa).

    Tetapi Bartimeus tidak mengambil jalan pasrah dengan kegagalan yang dialaminya. Dia beriman, dia menyerahkan masa depannya ke dalam tangan Kristus yang dia percaya. Sehingga poin terpenting bukanlah lagi apakah dia sembuh atau tidak, karena jika dia tidak sembuh maka hidupnya tidak akan berubah, tetapi jika dia sembuh maka akan ada tantangan baru yang harus dia hadapi.

    Poin terpenting dalam kisah ini adalah bagaimana Bartimeus beriman dan percaya kepada Kristus yang mampu menyelamatkan dan memberi masa depan baginya. Itulah yang membuat Bartimeus berani melangkah dari zona nyaman dan membayar harga untuk sebuah perubahan. Kita sesungguhnya juga merupakan Bartimeus yang mengalami kegagalan demi kegagalan dalam hidup kita. Pertanyaannya, maukah kita melangkah dengan berani menuju masa depan dan membayar harga demi masa depan yang lebih baik?

    Melangkah Menuju Masa Depan

    Mari kita kembali kepada kisah Petrus dalam Yohanes 21:15-19. Ini adalah pertama kalinya Petrus bertemu kembali dengan Yesus setelah dia menyangkal Yesus, tepat seperti yang dikatakan Yesus sebelumnya. Kita dapat membayangkan perasaan Petrus disini, dia pasti merasa sangat malu dan bersalah kepada Yesus. Akan tetapi, disini Yesus tidak bersikap menghakiminya. Justru Yesus menawarkan suatu perubahan dalam hidup Petrus, “Gembalakanlah kawanan dombaku.” Tentunya ini bukan suatu langkah mudah yang harus diambil Petrus. Dia tahu bahwa tidak mudah menjadi pengikut dan penyebar ajaran seseorang yang dianggap bidat bahkan sampai dihukum salib. Namun, kita tahu apa yang dipilih Petrus, seperti yang juga dijelaskan Yesus di ayat 18-19. Di akhir hidupnya, Petrus akan mati martir dan memuliakan Tuhan.

    Petrus, dari sebuah penyangkalan sampai akhirnya mati martir demi Kristus. Dari keterpurukan dalam kegagalan, hingga akhirnya diberikan kesempatan untuk hidup baru. Sekarang kita semua juga diberikan kesempatan untuk bangkit menuju masa depan walaupun ada tantangan yang harus dilewati dan harga yang harus dibayar. Pertanyaannya adalah, “Apa yang kamu mau agar Aku lakukan untukmu?”

    Mari meminta hikmat kepada Kristus untuk memampukan kita menjawab dengan tepat, keluar dari zona nyaman, dan membayar harga demi sebuah perubahan.

    HIDUP BAGI KRISTUS

    Tuhan Kau pernah ada di tengah manusia
    Berjalan di antara manusia berdosa
    Menyembuhkan yang luka, mengangkat yang jatuh
    Melepaskan yang terikat dalam dosa

    Tuhan t’lah kurasakan indahnya kasih-Mu
    Tak mungkin hanya kusimpan berdiam diri
    Bawalah aku berjalan di tengah dunia-Mu
    Buatlah aku hidup hanya untuk-Mu

    Reff:
    Hidup bagi Kristus hanya mungkin kar’na kasih-Nya
    Hidup bagi Kristus hanya mungkin kar’na anugerah
    Mengasihi yang Dia kasihi
    Melakukan yang Dia kerjakan
    Kumau hidup bagi Kristus

    Cipt: Astri Sinaga

    (Tulisan ini merupakan hasil penyuntingan dari naskah khotbah yang saya bawakan di Pembinaan Pengurus PO Binus pada tanggal 1 Desember 2017)

  • Memakai Waktu Anugerah

    Memakai Waktu Anugerah

    Regenerasi pelayanan adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Regenerasi berarti adalah kontinuitas. Dan, kontinuitas berarti tidak mati. Regenerasi menjadi suatu tanda pemeliharaan Tuhan atas sebuah pelayanan. Akan tetapi, bagaimana jika di dalam regenerasi ini, kita memberikan tongkat estafet pelayanan kepada orang yang tidak tepat? Masalah pun timbul dari kualitas kepada siapa kita mempercayakan penerus dari pelayanan ini. Lalu, bagaimana kita dapat menjadi pelayan-pelayan yang berkualitas?

    Baca 1 Petrus 4:7-11

    Kesudahan segala sesuatu sudah dekat.

    Saya akan memulai bagian ini dengan sebuah pertanyaan retorik. Apakah ada seorang manusia yang mengetahui kapan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya akan berlangsung? Tentu saja tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan Alkitab menyatakannya dengan jelas bahwa seorang malaikat pun tidak tahu kapan datangnya hari itu. Mungkin bisa seminggu lagi, besok, atau bahkan satu jam lagi. Satu hal yang kita ketahui, Kristus pasti akan datang kembali. Tanpa iman yang mempercayai hal itu, maka iman Kekristenan akan menjadi sia-sia karena hidup ini akan menjadi tanpa arah dan tujuan yang jelas akan akhir dari segalanya.

    Pertanyaan yang sama juga layak kita ajukan mengenai kehidupan kita. ‘Memento mori’ (Latin: ‘remember that you have to die’) adalah sebuah refleksi teologis mengenai kematian. Bahwasanya setiap orang akan menemui ajalnya cepat atau lambat. Merenungkan hal ini seharusnya membuat kita berpikir akan apa yang ingin kita lakukan dalam hidup ini untuk mempertanggung jawabkannya di dalam kekekalan nanti. Kenyataannya, kematian juga adalah suatu hal yang tidak terduga. Seorang teman pernah meninggal hanya karena waktu satu detik dalam hidupnya yang tidak berhasil menghindari truk yang melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.

    Rasul Petrus sangat mengerti bahwa waktu ini tidak terduga. Kesudahan segala sesuatu telah dekat. Demikian dikatakan Petrus walaupun ia sendiri tidak tahu kapan kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Oleh karena itu, ia ingin agar kita dapat menggunakan waktu seakan sebentar lagi adalah kedatangan Kristus yang kedua kalinya.

    Pernahkah kamu membayangkan apa yang akan kamu lakukan dengan sisa waktumu apabila besok Kristus datang kembali? Tentunya, kita akan menggunakan waktu untuk melakukan hal-hal yang kita idamkan, menebus penyesalan, atau lainnya. Akan tetapi, Petrus melanjutkan perkataannya dengan menegaskan bahwa waktu kita adalah milik Tuhan. Allah yang telah menciptakan kita untuk suatu tujuan tertentu, yaitu melayani-Nya. Kristus yang telah mati demi menebus diri kita agar kita dapat kembali kepada tujuan semula sebagai ciptaan. Hidup ini bukanlah milik kita lagi, tetapi milik Tuhan.

    Tanpa sebuah kesadaran bahwa diri kita diciptakan untuk suatu tujuan, maka kita tidak akan mampu menjadi seorang pelayan yang mengabdikan diri kepada Sang Pencipta. Kita tidak tahu untuk apa dan kepada siapa kita melayani.

    Kuasailah dirimu, jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa

    Rasul Petrus menulis surat ini ketika orang-orang Kristen ditindas dengan begitu mengerikannya oleh Kaisar Nero. Literatur sejarah mencatat bahwa Nero adalah kaisar yang begitu gila dan kejam. Ia menjadikan orang-orang Kristen sebagai bahan tontonan di koloseum ketika mereka dibakar dan dijadikan makanan singa. Tantangan yang harus dihadapi orang-orang Kristen pada zaman itu, tentulah tidak mudah. Setiap hari, mereka hidup di bayang-bayang ketakutan dan ketidakpastian apakah mereka dapat bertahan atau tidak. Goncangan iman mungkin mereka rasakan tiap kali dikejar oleh para prajurit yang hendak menyeret mereka ke koloseum. Sangat mungkin untuk mereka tergoda meninggalkan iman mereka. Secara akal dan emosi manusia, menyerah mungkin adalah jalan paling aman bagi mereka pada saat itu. Akan tetapi, kesetiaan kepada Kristus menuntut mereka untuk menyangkal akal dan emosi mereka sebagai manusia yang rentan jatuh dalam dosa. Kekuatan untuk bertahan dari godaan iman itu tentunya tidak mungkin berasal dari diri sendiri, tetapi dari Tuhan yang memampukan mereka. Oleh sebab itulah, Petrus mendorong mereka untuk mengontrol diri, menjadi tenang, dan berdoa meminta kekuatan untuk mempertahankan iman itu.

    Di Indonesia, mungkin hal ini tidak terlalu kontekstual, orang Kristen masih boleh beribadah dan menyatakan imannya. Namun, tantangan yang kita hadapi bisa jadi lebih sulit, yaitu kenyamanan. Godaan untuk hidup tidak berintegritas dengan iman Kekristenan sangat sering dialami oleh kita, manusia yang berdosa ini. Pelayanan yang kita kerjakan juga akan menjadi tanda tanya besar bagi setiap orang yang kita layani, apabila kita tidak dapat menjadi teladan hidup yang baik bagi mereka. Kita perlu kekuatan dari Tuhan untuk dapat mempertahankan iman kita setiap waktu.

    Mengasihi dan menolong satu sama lain

    Menjadi seorang pelayan Kristus berarti siap mengasihi dan menolong mereka yang dikasihi oleh Kristus. Saya mempelajari hal ini ketika melayani salah seorang anak kelompok kecil saya. Bagi saya, anak kelompok kecil ini merupakan anak yang sulit untuk dilayani, perilakunya yang cukup aneh dan terkadang sangat ‘caper’ alias ‘cari perhatian’ membuat saya sulit untuk memberikan perhatian dengan tulus kepadanya. Namun, semakin lama saya semakin menyadari bahwa diri saya sesungguhnya tidak berbeda dengannya. Pergumulan demi pergumulan mengingatkan bahwa saya juga manusia berdosa yang tidak berhak menghakiminya. Kristus yang mati bagi saya, juga mati baginya. Bahkan juga bagi orang terjahat sekalipun, orang-orang yang saya benci, para penjahat dan penyebar teror.

    Jikalau kita mempunyai seorang kekasih yang sangat suka memelihara binatang. Maka kita harus juga belajar menerima dan bahkan belajar menyukai binatang peliharaannya walaupun kita mungkin tidak menyukainya. Mengapa? Karena apabila kita menolak apa yang disenangi kekasih kita, pastilah ia akan kecewa. Kristus sangat menyayangi manusia-manusia yang kita anggap jahat, bahkan Dia rela menyerahkan nyawa-Nya sendiri untuk mereka yang kita anggap paling hina. Mengasihi Kristus, berarti mengasihi mereka yang telah ditebus oleh darah Kristus.

    Gunakanlah karunia rohanimu

    Setiap orang percaya telah dianugerahkan setidaknya satu karunia rohani untuk dipakai dalam melayani. Seorang dokter pasti memiliki tas yang berisi perlengkapan yang ia butuhkan sebagai seorang dokter. Seorang businessman pasti memiliki koper yang berisi perlengkapan yang ia butuhkan sebagai seorang businessman. Kita dapat melanjutkan daftar ini dengan profesi-profesi lainnya.

    Kita juga seperti seorang anak yang diberikan tas yang berisi perlengkapan untuk melakukan suatu pekerjaan. Itulah karunia rohani yang Tuhan berikan bagi setiap kita. Bagi yang masih belum mengetahui karunia rohaninya, maka mereka harus mencari tahu dan menggali lebih dalam. Bagi yang sudah tahu karunia rohaninya, maka mereka harus fokus mengembangkan dan memaksimalkan karunia rohani tersebut.

    Time lost cannot be regained

    Waktu yang hilang tidak dapat terulang lagi. Maka mari gunakan waktu kita untuk melayani Dia sesuai dengan kehendak-Nya. Tentunya dengan hati yang terus mau bergantung kepada-Nya, bukannya mengandalkan kekuatan diri sendiri. Menyadari bahwa kita manusia berdosa yang butuh Tuhan untuk mengubah hidup kita, bukannya merasa diri hebat karena bisa melayani. Sehingga ketika kita bertemu muka dengan muka bersama Tuhan Yesus, kita dapat mempertanggungjawabkan hidup yang kita pakai dengan singkat ini di hadapan-Nya.

    Matius 28:20 (TB) “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

    Kiranya melalui pelayanan yang kita kerjakan, kita dapat mengalami pengalaman-pengalaman nyata bersama Tuhan yang selalu menyertai kita. Sehingga kita dapat terus bertumbuh semakin dewasa dalam iman. Amin.


    Sharing

    Sebagian dari tulisan di atas sebenarnya merupakan poin-poin besar dari khotbah yang saya bawakan di Rohani Kristen SMAN 77 Jakarta pada tanggal 10 November 2017 yang lalu. Inilah cerita bagaimana saya mengalami sendiri apa yang saya khotbahkan di khotbah perdana saya.

    Selasa, 7 November 2017

    Saya menolak permintaan salah seorang teman yang menghubungi saya untuk berkhotbah di SMAN 77. Sebelumnya, saya memang selalu menolak jika diminta untuk berkhotbah. Bagi saya, berkhotbah bukanlah karunia yang Tuhan berikan bagi saya. Seorang teman lainnya kemudian berkata kepada saya, “Terima saja pelayanan itu Mei, bisa jadi itu pelayanan terakhirmu untuk mereka.” Walaupun saya langsung menepis perkataannya, tetapi kata-kata ini ternyata terus menghantui pikiran saya.

    Rabu, 8 November 2017

    Saya bangun dengan kondisi tubuh demam dan tidak bisa pergi ke kantor. Di hari itu, saya –yang teringat dengan perkataan teman saya kemarin– berpikir apakah sebaiknya saya menerima tawaran berkhotbah di sekolah itu? Toh, hari ini saya hanya di rumah dan tidak mengerjakan apapun. Waktu-waktu ini tentunya bisa saya pakai untuk melakukan persiapan khotbah. Akhirnya saya menerima pelayanan itu. Saya mempersiapkan khotbah ini untuk hari Jumat mendatang. Saya menikmati waktu-waktu mempersiapkan khotbah ini, dalam hati saya berdoa agar khotbah yang akan saya sampaikan ini dapat mengubah hidup siswa-siswa SMAN 77.

    Kamis, 9 November 2017

    Biasanya jika saya sakit demam, saya akan sembuh keesokan harinya. Tetapi, kali ini rupanya tidak. Namun, saya memaksakan diri untuk pergi ke kantor karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Ternyata pada sore harinya, saya ‘tumbang’. Saya memutuskan untuk menginap di kantor karena tidak kuat untuk pulang ke rumah. Saya cemas sekali karena besok saya harus berkhotbah, apalagi ini khotbah perdana saya.

    Jumat, 10 November 2017

    Syukurnya, saya bangun dengan tubuh segar. Saya bisa pergi ke SMAN 77 dan berkhotbah. Meski gentar karena berpikir bahwa saya akan gugup dan blank (khususnya ketika siswa-siswa tersebut ribut sendiri dan tidak memperhatikan apa yang saya sampaikan), tapi ternyata saya bisa berbicara dengan lancar dari awal sampai akhir. Bahkan saya tidak terlalu terpaku dengan naskah khotbah yang saya siapkan. Hari ini saya sangat bersyukur melihat penyertaan Tuhan yang begitu nyata selama proses pelayanan khotbah perdana saya.

    Apa yang saya pelajari?

    Seperti yang dikatakan oleh teman saya, mungkin kesempatan yang ditawarkan kepada kita adalah kesempatan terakhir kita untuk melayani, atau kesempatan terakhir bagi mereka yang kita layani untuk mendengar Injil dan kebenaran-Nya. Umur manusia tidak ada yang tahu bukan? Saya semakin menghayati bahwa hidup ini tidak terduga, kesempatan tidak selalu datang dua kali, dan penyertaan Tuhan itu nyata di saat saya merasa tidak mampu. Semua ketakutan yang saya rasakan ternyata tidak berarti, karena Dia yang bekerja atas saya.

    Hidup ini memang tidak terduga sehingga hidup ini terlalu berisiko untuk dilewati dengan pilihan-pilihan yang tidak bijaksana. Syukurnya, Ia tidak meninggalkan kita sendirian dalam menjalani pilihan-pilihan yang harus kita ambil.

    Pakailah waktu anug’rah Tuhanmu,
    hidupmu singkat bagaikan kembang.
    Mana benda yang kekal di hidupmu?
    Hanyalah kasih tak akan lekang.

    Janganlah sia-siakan waktumu,
    hibur dan tolonglah yang berkeluh.
    Biarlah lampumu t’rus bercahaya,
    muliakanlah Tuhan di hidupmu.

    Karya jerihmu demi Tuhan Yesus,
    ‘kan dihargai benar olehNya.
    Kasih yang sudah ‘kau tabur di dunia,
    nanti ‘kau tuai di sorga mulia.

    Refrein:
    Tiada yang baka di dalam dunia,
    s’gala yang indahpun akan lenyap.
    Namun kasihmu demi Tuhan Yesus
    sungguh bernilai dan tinggal tetap.

    (NKB 211)