Pernahkah kamu menonton film Shaun The Sheep The Movie? Film ini bercerita tentang sekumpulan domba nakal yang sudah bosan dengan keseharian kehidupan di peternakan. Kemudian mereka berencana membuat gembala mereka tertidur sementara mereka menguncinya di sebuah karavan mobil usang yang sudah tidak terpakai lagi. Rencana berjalan dengan baik hingga akhirnya sesuatu yang tidak terduga terjadi, mobil karavan itu tiba-tiba saja meluncur dari atas bukit dan akhirnya sampai di kota dekat peternakan mereka.
Awalnya para domba nakal itu merasa agak khawatir, tapi akhirnya mereka membiarkan hal itu dan mulai “menguasai” rumah sang gembala untuk bersantai-santai. Namun kesenangan yang mereka rasakan ternyata tidak berlangsung lama, mereka mulai merasa membutuhkan sang gembala. Mereka tidak dapat makan sendiri, mereka tidak dapat mengurusi diri sendiri, dan mereka rindu dengan sang gembala yang sudah merawat mereka sejak kecil.
Akhirnya mereka pun memulai petualangan mereka di kota untuk mencari sang gembala. Di kota itu banyak tantangan yang menunggu, yaitu sang penangkap binatang liar yang begitu berambisi untuk menangkap domba-domba ini, penolakan dari penduduk kota, dan penolakan dari sang gembala yang ternyata kehilangan ingatannya akibat kecelakaan itu.
Ceritanya yang mengocok perut dan mudah dimengerti sangat cocok ditonton oleh anak-anak hingga orang dewasa. Selain itu, film animasi ini juga membuat saya kembali merenungkan realita relasi antara sang Gembala Agung dan umat-Nya.
Yesaya 53:6-8 (TB) “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah.”
Melihat kenakalan domba-domba itu, saya kembali merenungkan bahwa manusia pun juga sama seperti domba-domba itu. Di dalam keberdosaannya, manusia cenderung ingin menjauhi Sang Gembala, Allah.
Menjauh dan terus menjauh sampai akhirnya kita menyadari bahwa dosa dapat mematikan diri kita sendiri. Terkadang Allah mengijinkan kita mengambil jalan yang salah agar kita tahu betapa bodoh dan lemahnya kita tanpa Tuhan. Seperti perumpamaan anak bungsu, dia akhirnya menyadari kesalahannya dalam mengambil harta warisan ayahnya yang masih hidup.
Jikalau di film ini, para dombalah yang mencari gembalanya, maka bersyukurlah kita karena Gembala kita sendiri yang mencari kita. Bahkan Dia rela menderita dikucilkan, ditolak, dan dihukum mati demi menyelamatkan kita, para domba nakal yang melarikan diri dari-Nya.
Jikalau di film ini, gembalanya mengalami amnesia dan melupakan para dombanya, maka bersyukurlah kita karena Gembala kita sendiri tidak pernah melupakan kita dan selalu membuka tangannya untuk menerima kita, para domba nakal yang ingin kembali kepada-Nya.
Shaun adalah domba yang terlupakan, tetapi kita adalah domba yang begitu berharga, bahkan seharga darah dan nyawa sang Gembala. Selama apapun dan sejauh apapun kita telah pergi dari-Nya, Dia bukan sekedar menunggu, tapi Dia mengejar kita.
“[My faith is] due to Jesus Christ himself, who pursued me relentlessly even when I was running away from him in order to go my own way. And if it were not for the gracious pursuit of the hound of heaven I would today be on the scrap-heap of wasted and discarded lives.” (Why I am a Christian, John Stott)
Leave a Reply