Category: Pendalaman Alkitab

  • Zakharia “Tuhan Mengingat”

    Zakharia “Tuhan Mengingat”

    Beberapa bulan yang lalu saya menonton sebuah film berjudul Snowpiercer. Awalnya saya tertarik karena film ini disutradarai oleh Bong Joon-Ho yang juga dikenal melalui film Parasite, pemenang piala Oscar pada awal tahun 2020. Lalu yang kedua karena saya tertarik dengan film-film yang bertemakan post-apocalypse (paska kehancuran dunia).

    (Warning Contain Spoiler)

    Film ini bercerita tentang dunia yang tiba-tiba saja iklimnya kacau, sehingga dunia ini dipenuhi es, suhunya mencapai -100 derajat. Kemudian seorang konglomerat yang dikenal sebagai Mr. Wilford mengantisipasi kehancuran umat manusia akibat fenomena ini dengan membangun sebuah teknologi yang sangat canggih, yaitu kereta raksasa sepanjang 1001 gerbong untuk menyelamatkan sebagian manusia yang mau membayar mahal untuk tiketnya. Sementara yang tidak bisa membayar tiket, tidak boleh naik, dan akhirnya ditinggalkan mati begitu saja. Akan tetapi tidak sedikit orang yang tidak mampu membeli tiket yang menyusup ke dalam kereta. Walaupun akhirnya mereka diperbolehkan naik dengan syarat menjadi penduduk kelas bawah dan harus melakukan pekerjaan kotor, misalnya membersihkan toilet, dan sebagainya. Makanan mereka pun sangat terbatas, sebanyak puluhan atau mungkin ratusan orang harus tidur dalam satu gerbong yang sama. Sementara mereka yang membayar tiket yaitu penumpang kelas satu, hidup dengan mewah. Setiap keluarga memiliki satu gerbong, ada yang memiliki kolam renang di gerbong keretanya, dan mereka sangat menikmati hidupnya.

    Film ini menjadi menarik ketika mereka menyadari satu rahasia besar dari kereta tersebut, yang akhirnya menyebabkan terjadinya pemberontakan dan revolusi penumpang kelas bawah terhadap kelas satu dan kelas dua. Gerbong penumpang kelas satu pun akhirnya dilepas dan ditinggalkan begitu saja. Mereka membayar tiket, mereka mampu memiliki segalanya berkat kekayaan mereka, tetapi pada akhirnya mereka tidak dapat berbuat apa-apa di tangan sang engineer dari kereta tersebut yang lebih memilih berpihak kepada kelas bawah.

    Hari ini kita juga akan belajar tentang bagaimana manusia memiliki segalanya tetapi semua itu tidak menentukan keamanannya. Mari kita membaca dari Zakharia 9:1-10.

    Di Zakharia pasal 9 ini, Zakharia, para umat Israel, dan tentunya kita semua yang membaca juga diingatkan bahwa Tuhan jauh lebih berkuasa dan Dia akan menghukum kejahatan dan kelaliman. Di sepanjang ayat 1 hingga 8 diceritakan bagaimana Tuhan akan menghukum bangsa-bangsa di sekitar Israel. Negeri Hadrakh, Damaskus, Hamat, Tirus, Sidon, kota-kota Filistin seperti Askelon, Gaza, Ekron, Asdod, semua akan dihancurkan oleh TUHAN. Bahkan sekalipun Tirus dikenal sebagai kota dengan tembok benteng yang kokoh, kecerdasan karena pertumbuhan ekonominya yang baik, sehingga memiliki kekayaan perak dan emas yang jumlahnya tak terkira seperti debu dan lumpur di jalanan pun akan habis menjadi miskin, dan tembok benteng antara laut dan daratan yang mereka banggakan akan hancur sehingga mereka hanyut bersama laut, kotanya juga akan terbakar habis.

    Mengapa hal yang sedemikian mengerikan ini terjadi? Mungkin kita bertanya-tanya, namun mari kembali ke ayat pertama. Bahwasanya TUHAN-lah yang memiliki semua kota itu. Dan sebenarnya, jikalau kita kembali melihat ke zaman Musa dan Yosua, maka kota Hamat, Tirus, Sidon sebenarnya masih merupakan tanah perjanjian dari Allah kepada Israel. Namun, seiring berjalannya waktu, terjadinya perang dari zaman Musa hingga Zakharia yaitu dalam kurun waktu 1526 SM – 480 SM, Israel tidak pernah tenang. TUHAN ingin mengembalikan tanah perjanjian menjadi milik umat pilihanNya, suatu tanah perjanjian yang jauh lebih luas daripada apa yang pernah dimiliki oleh Israel.

    Sumber: Life Application Study Bible

    Seperti nama “Zakharia” yang berarti “YHWH Mengingat”, sekalipun dalam kurun waktu kurang lebih 1000 tahun sudah berlalu sejak zaman Musa melihat tanah perjanjian, bahkan sejak 2500 SM yaitu pada zaman Abraham dan perjanjian ALLAH dengannya, TUHAN mengingat. Dia mengingat tanah yang dijanjikan bagi umatNya, bahkan Dia mengingat janji keselamatan bagi umat pilihanNya yang berkali-kali gagal menepati janji kepada TUHAN, melalui kedatangan sang raja damai. Kita semua pasti tahu maksud ayat 9 bukan? Ketika digambarkan bahwa ada seorang raja yang naik di atas keledai, kita tahu bahwa ini digenapi sekitar 500 tahun kemudian ketika Yesus menaiki keledai memasuki kota Yerusalem. Zakharia memang merupakan kitab yang mengingatkan kita bahwa TUHAN mengingat setiap janjiNya.

    Namun, apakah ketika Zakharia menubuatkan semua hal ini, semuanya langsung tergenapi dalam sekejap? Tentu tidak, kita pasti mengerti sebagai orang-orang percaya yang selalu menantikan jawaban Tuhan atas doa-doa kita. Tuhan bekerja sesuai waktu-Nya, tetapi Dia tidak pernah lupa. Nubuat dalam pasal 9 ini bagi Tirus tergenapi 100 tahun setelah dinubuatkan tepatnya pada saat Alexander the Great menguasai kota Tirus tahun 332 SM, Sidon hancur lebih cepat yaitu tahun 351 SM. Semua ini tercatat dalam sejarah, kita bisa mencari sejarahnya di internet tentang akhir dari kota-kota ini pada zaman kuno. Lalu bagaimana dengan nubuat kedatangan raja damai di ayat 9 dan 10? Seratus tahun, lima ratus tahun, tentu terdengar cepat berlalu ketika kita yang sudah berada di masa depan mengucapkannya. Namun, bagaimana perasaan orang-orang pada zaman itu ketika menunggu?

    Jikalau waktu itu saya sebagai orang Israel dan mendengar nubuat Zakharia, mungkin 10 tahun kemudian saya akan menjadi orang yang sangat skeptis. Katanya Tuhan akan menghancurkan mereka, kok sudah 10 tahun berlalu mereka masih berdiri tegap? Hal yang sama mungkin dialami oleh orang Israel di segala masa. Katanya keturunanku akan dijadikan sebanyak bintang di langit, katanya ada juruselamat, katanya ada raja damai yang memerintah selamanya, katanya Kerajaan Israel akan dipulihkan. Katanya musuh-musuh ini akan dihukum. Bahkan sekarang pun kita juga bisa bertanya-tanya, katanya Tuhan akan datang kedua kalinya. Ini sudah 2000 tahun berlalu, pertanyaannya KAPAN?

    Mungkin ayat 10 juga merupakan pertanyaan yang belum terjawab bagi orang-orang percaya di sepanjang zaman yang membaca kitab Zakharia ini. Kapan Tuhan akan datang, memerintah dari ujung laut sampai ke ujung laut dan perang akan dilenyapkan. Kita saat ini hidup di dalam dunia yang semakin memburuk. Saya tidak tahu apakah benar dunia semakin memburuk atau kehidupan menjadi dewasa itu memang semakin sulit. Tetapi yang saya tahu, alam dan lingkungan semakin rusak, perang antara negara semakin sengit dan dingin, perekonomian dunia bertumbuh tetapi sewaktu-sewaktu anjlok dan seperti kembali dari awal. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang pada tahun tulisan ini ditulis sedang terjadi. Kapan? Itulah pertanyaan yang mungkin diajukan oleh semua orang.

    (Warning Contain Spoiler)

    Mr. Wilford dalam film Snowpiercer merupakan sesosok yang dianggap sebagai juruselamat umat manusia dari kepunahan. Kehadirannya misterius karena tidak seorang pun, bahkan penumpang kelas satu pun tidak dapat melihat dia. Mr. Wilford hanya berkomunikasi kepada penumpang melalui ajudan setianya, Melanie yang adalah seorang Head of Hospitality dan berperan untuk menyampaikan pesan pengumuman di dalam kereta. Meski demikian, banyak orang mengagumi Mr. Wilford dan menantikan kemunculannya. Tetapi rahasia terbesar di dalam kereta itu adalah bahwa Mr. Wilford sudah mati dan peran kepemimpinan kereta itu selama ini dijalankan oleh Melanie yang ternyata adalah ketua tim engineer kereta tersebut. Mr. Wilford ternyata tidak ada dan semua orang kehilangan arah, berusaha merebut kekuasaan kereta tersebut, merasa dibohongi, dan akhirnya terjadilah kerusuhan yang menghilangkan begitu banyak nyawa dan membuat kepedihan hati orang-orang di dalam kereta tersebut. 

    Kita patut bersyukur karena Tuhan yang kita percayai, kita agungkan, kita nantikan bukanlah seonggok harapan palsu seperti Mr. Wilford. Tuhan kita lahir dan mati, tetapi tidak mati, melainkan bangkit dan naik ke surga. Mike Licona pernah berkata, “Inti iman Kristen adalah kebangkitan Yesus, kamu boleh tidak percaya hal lainnya, tetapi setidaknya percayalah Yesus benar-benar bangkit.” Paulus pun berkata bahwa jika Yesus tidak bangkit, maka sia-sialah iman percaya kita.

    Kita boleh memberi pertanyaan kapan? Bahkan sangat boleh mempertanyakan hal tersebut kepada Tuhan. Walaupun mungkin tidak ada jawaban yang presisi akan pertanyaan tersebut, namun ingatlah “Zakharia”. Tuhan mengingat selama seratus, lima ratus, seribu, dua ribu, dua ribu lima ratus tahun, janjiNya telah digenapi oleh kedatangan Yesus dan kebangkitanNya. Kita belum mencapai dua ribu lima ratus tahun yang lainnya untuk menanti kedatangan Tuhan Yesus kedua kalinya, namun kita boleh mempercayai bahwa Yesus akan datang kembali sebagai raja damai dan mengakhiri semua kesulitan, penderitaan, dan permusuhan di dunia ini.

  • Natal yang Mengubah Hidup

    Natal yang Mengubah Hidup

    Ketika saya masih kecil, saya senang sekali membaca kisah buku cerita atau komik dimana pemeran utama dari kisah tersebut adalah anak-anak muda yang tiba-tiba saja mendapat tanggung jawab besar untuk menyelamatkan dunia dan akhirnya pergi bertualang. Tentu saja, sebagai anak muda, menjalani hidup yang begitu-begitu saja bisa jadi terkesan begitu membosankan. Terkadang kita menginginkan sesuatu yang berbeda dalam keseharian yang kita jalani. Belajar di luar negeri, berpindah tempat kerja, menjalin relasi yang baru, mungkin semua itu adalah cara-cara yang pada akhirnya seringkali diambil untuk mengatasi kejenuhan tersebut.

    Berita Natal mungkin terdengar seperti kisah yang biasa, cerita tentang dua orang muda yang tiba-tiba saja mendapat tanggung jawab yang besar dan mengubah hidup mereka. Namun, apa yang mereka alami bukanlah sesuatu yang diidam-idamkan oleh orang-orang muda pada umumnya. Mereka mengalami pilihan-pilihan yang sulit dan membuat hidup mereka tidak akan lagi sama. Mari membaca kisah mereka dalam Matius 1:18-21 dan belajar memposisikan diri sebagai mereka.

    If I were Mary

    Jika aku adalah Maria, aku akan bertanya “Kenapa aku yang Engkau pilih, Tuhan? Mengapa tidak yang lain saja? Tubuhku terlalu berharga untuk dirusak dengan kehamilan yang tidak pernah kurencanakan sebelumnya. Aku mencintai tunanganku dan aku tidak ingin hubungan kami berakhir, apalagi jika dia salah paham karena mengira aku mengkhianatinya. Aku mencintai keluargaku dan aku tidak ingin mereka menanggung malu di antara tetangga karena putri mereka mengandung sebelum menikah. Dan, yang paling menakutkan adalah, apakah aku harus mempertaruhkan nyawaku juga karena mengandung di luar pernikahan yang artinya hukuman mati menanti?”

    If I were Joseph

    Jika aku adalah Yusuf, aku akan bertanya “Maria, kenapa Engkau mengkhianatiku? Aku sangat kecewa kepadamu, namun di saat yang sama aku juga sangat mencintaimu. Jikalau aku ingin, aku bisa saja melaporkan kepada orang banyak bahwa anak di dalam kandunganmu memang bukanlah anakku sehingga engkau dihukum mati atas ketidaksetiaanmu. Atau aku bisa menceraikanmu di depan para tua-tua dan mempermalukanmu di depan umum. Aku ingin kamu merasakan sakit seperti kekecewaan yang kualami saat ini. Namun, mengapa aku tidak sanggup melakukan semua itu? Apakah mengakhiri pertunangan secara sepihak dan diam-diam sehingga kamu tidak menanggung malu, tidak perlu dihukum mati, dan kamu dapat menikah dengan pria itu merupakan keputusan yang adil bagiku? Lagi pula jikalau aku memutuskan untuk melakukannya aku harus mengembalikan sejumlah uang pernikahan kepada keluargamu, di saat aku bisa tetap menyimpannya jikalau engkau dihukum mati atau aku menceraikan dan mempermalukanmu di depan umum. Apakah ini adil bagiku yang engkau khianati ini?”

    If I were Joseph (Part 2)

    Jika aku adalah Yusuf yang telah mendengar berita dari malaikat, aku akan bertanya “Tuhan, bagaimana mungkin Engkau menyuruhku untuk tetap menikahi Maria? Aku mencintainya dan aku lega bahwa ternyata dia tidak mengkhianatiku walaupun kedengarannya kehamilannya tidak masuk akal, tetapi aku tidak dapat membayangkan bagaimana kami menjalani hidup setelahnya. Cibiran, hinaan, kesalahpahaman harus kami tanggung selama sisa hidup kami. Lagi pula sebagai seorang laki-laki, tidak menyentuh isteriku sendiri sampai persalinannya pun kedengarannya cukup tidak masuk akal. Apa kami sanggup menjalani pernikahan yang demikian?”

    Di tengah semua itu, mereka tetap taat menjalaninya sekalipun mereka tahu bahwa ini adalah hal yang sulit. Namun, ada satu pribadi yang jauh lebih taat di dalam memilih pilihan yang lebih sulit daripada yang harus dipilih Maria dan Yusuf.

    If I could ask a question to Jesus…

    Dan kini aku sendiri sebagai manusia berdosa akan bertanya kepada bayi mungil Yesus yang lahir ribuan tahun yang lalu, “Tuhan, mengapa Engkau mau meninggalkan takhtamu yang mulia di Surga sana? Mengapa Engkau mau meninggalkan kemuliaan, kenyamanan, dan kekayaanmu, lahir sebagai manusia yang hina, miskin, dan mengenaskan di kandang domba? Bahkan begitu banyak manusia lainnya tidak bernasib serendah itu. Tetapi pertanyaan terbesarku adalah mengapa Engkau mau menjalani hidup yang demikian menderita dan berakhir dengan mengenaskan demi kami yang menolak Engkau dan bahkan tidak sadar bahwa diri kami sesungguhnya membutuhkan Engkau.”

    Ketaatan yang Sempurna

    Belajar menyelami perasaan ketiga tokoh di atas membuatku bertanya-tanya, apa artinya menjadi taat? Taat adalah suatu hal yang mudah diucapkan tetapi tidak mudah dipraktekkan. Menjadi seorang Maria atau Yusuf tentu bukan suatu hal yang mudah, mereka menghadapi pilihan yang sangat sulit. Mereka harus memutuskan sesuatu yang akan membuat hidup mereka tidak lagi sama. Tetapi tokoh utama dalam cerita ini bukanlah Maria dan Yusuf, mereka hanyalah dua orang manusia berdosa yang diberikan anugerah untuk melahirkan dan merawat bayi Yesus yang akan menebus dosa mereka.

    Tokoh utama dari kisah ini adalah Yesus. Filipi 2:1-8 menggambarkan Yesus yang adalah contoh dari ketaatan yang sempurna. Yesus, sang pencipta dunia ini, pemilik dunia ini, seorang Tuhan yang disembah, tetapi mau turun sebagai manusia. Jikalau manusia menjadi hina seperti binatang, Tuhan Yesus yang adalah Tuhan, mau menjadi hina seperti manusia. Bahkan bukannya menjadi manusia yang sukses, tetapi miskin, dari desa yang tidak dikenal, anak tukang kayu, ditindas, dicemooh, dikutuk, dibunuh dan dianggap sesat oleh manusia-manusia yang ingin Dia tolong.

    Padahal bisakah Tuhan Yesus menolak menjadi manusia? Bisa.

    Bisakah Tuhan Yesus memilih ingin lahir dimana dan di keluarga yang seperti apa? Bisa.

    Bisakah Yesus memilih kesuksesan selama hidupnya dan tidak mau mati disalib? Bisa.

    Namun, nyatanya Yesus tetap memilih pada akhirnya untuk taat kepada perintah Allah Bapa sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Yesus menunjukkan bahwa di dalam ketaatanNya, Dia tidak taat hanya seperempat, sepertiga, setengah dalam perjalanan hidupnya, namun Dia mengabdikan atau menyerahkan seluruh hidupnya.

    Jikalau Yesus hanya taat dalam setengah perjalanan hidupnya, hanya lahir menjadi manusia tetapi tidak mau hidup susah, atau hanya sebatas hidup susah tapi tidak mau mati disalib, bagaimana hidup kita saat ini? Kita tidak akan memiliki pengharapan lagi, karena semua manusia dosa kita tidak ditebus dan kita tahu bahwa ujung hidup kita adalah maut.

    Dalam momen Natal ini, kita kembali diingatkan akan ketaatan Maria, Yusuf, namun yang terutama adalah ketaatan Yesus sendiri. Dalam momen bulan Desember ini juga, kita akan menutup tahun ini dan menyambut tahun yang baru. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita di masa depan, mungkin kita secara tidak sadar sedang merasa jenuh di dalam comfort zone kita saat ini, mungkin kita was-was akan perubahan seperti apa yang akan kita alami nantinya. Namun Yesus memberikan kita teladan dan kasih yang tulus sehingga Dia mau taat dengan sempurna. Kiranya apapun yang kita hadapi di masa depan, kita juga menjadi taat dan setia menjalani panggilan kita sebagai muridnya.

  • Mematikan Diri Demi Hidup

    Mematikan Diri Demi Hidup

    Kita mungkin tidak asing dengan beberapa iklan game yang belakangan seringkali muncul di sosial media kita. Ada iklan game yang berupa interaktif visual novel dan memberikan kita pilihan-pilihan untuk menentukan bagaimana hidup dari karakter game yang kita mainkan. Di dalam kehidupan kita, hal yang sama pun kita alami. Kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang harus kita pilih setiap harinya. Terkadang, pilihan-pilihan ini dapat memimpin kita kepada hasil yang sangat berbeda. Bedanya dengan game, kita tidak bisa mengulang jika kita salah pilih. Tidak ada fitur “save” dan “load” di dalam realita kehidupan kita. Celakanya kita berada di dalam game yang tingkat kesulitannya adalah “extremely hard”. Mengapa? Karena by default, kita memiliki kecenderungan memilih pilihan yang salah.

    Jujur saja, kita lebih suka dengan pilihan yang salah sekalipun kita sudah tahu bahwa itu salah. Kita lebih senang dengan pornografi walaupun kita tahu itu salah, kita lebih senang main game daripada saat teduh, kita lebih senang dengan apapun itu yang membuat kita nyaman dan nafsu kita terpuaskan walaupun seringkali kita tahu itu tidak berkenan di hadapan Tuhan. Sebuah buku berjudul You Are What You Love mengatakan bahwa “Human is not primarily a thinker. Human is not primarily a believer. Human is primarily a lover.” Tepat seperti yang dikatakan penulis buku ini, manusia memilih apa yang dicintainya lebih daripada rasionalitasnya. Kamu tahu di dalam akal sehatmu bahwa merokok itu merusak tubuhmu dan membuang uangmu, tetapi kamu lebih mencintai rokokmu. Kamu tahu bahwa kamu harus belajar untuk ujian besok, tetapi kamu lebih mencintai game yang menyita waktu belajarmu.

    Tiap-tiap hari, tiap-tiap saat, kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan yang sulit. Kita diharuskan memilih antara mentaati keinginan daging atau roh. Dan, sudah sejak kejatuhan manusia ke dalam dosa, kita akan terus lebih mencintai keinginan daging. Bahkan Paulus pun mengakui betapa sulitnya hidup melawan keinginan daging.

    “Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.” (Roma 7:22-23)

    Lalu bagaimana kita bisa belajar menjadi murid Kristus yang sesungguhnya jikalau kita lebih senang mentaati keinginan daging daripada keinginan roh? Bersiaplah karena perjalanan ini tidak mudah dan penuh dengan penderitaan, siapkan ototmu untuk memikul salib, hatimu untuk menyangkal diri, dan kakimu untuk mengikuti Yesus, sang teladan yang sempurna untuk menjadi taat.

    Berkali-kali Alkitab mencatat Yesus taat melakukan kehendak Allah Bapa, bahkan Dia juga pernah berkata bahwa makanan-Nya adalah melakukan kehendak Bapa. Ketaatan Yesus dimulai sejak dari Dia lahir sebagai manusia, hidup sebagai manusia, bertahan melalui pencobaan di padang gurun (Matius 4), melakukan pelayanan, bahkan hingga akhirnya Dia dibenci, dianiaya, dan mati di kayu salib. Yesus taat mengerjakan semua itu walaupun berat dan sulit. Mari kita menyoroti gambaran nyata kemanusiaan Yesus yang bergumul sama seperti kita di dalam menjadi taat.

    Mari kita membaca Matius 26:36-46

    Di Taman Getsemani, Yesus Bergumul

    Kita seringkali membaca perikop ini di ibadah Kamis Putih sebelum Jumat Agung. Dalam perikop ini, Yesus sudah tahu bahwa waktunya tinggal sebentar lagi sebelum Dia ditangkap dan diadili. Kemudian seperti biasa, Yesus mencari tempat untuk berdoa. Mengapa berdoa? Karena Yesus merasakan pergumulan yang sangat hebat untuk mentaati kehendak Bapa-Nya, yaitu mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia. Dia merasa sedih dan gentar seperti mau mati rasanya (36-37). Dan, Yesus tahu bahwa Dia membutuhkan kekuatan dari Bapa dalam menghadapi pergumulan ini. Tidak mudah bagi Yesus menanggung semua dosa manusia. Ibaratnya seperti manusia yang tidak bisa tinggal di dalam septic tank, itu terlalu menjijikkan. Yesus yang adalah Tuhan juga sebenarnya tidak bisa menanggung dosa semua umat manusia, itu terlalu menjijikkan bagi Tuhan Yesus. Ditambah lagi, oleh karena dosa itulah, Yesus harus mengalami bagaimana rasanya menanggung hukuman Bapa yang sangat dikasihi-Nya karena dosa tentu harus dihukum. Ada banyak berita kriminal di dunia ini, tetapi berita yang paling membuat saya tidak habis pikir adalah ketika orangtua membunuh anaknya sendiri. Oleh karena kasih Allah kepada dunia ini, maka Dia rela membunuh Anak-Nya sendiri demi menyelamatkan umat manusia yang dikasihi-Nya (Yoh. 3:16) sekalipun Allah sangat menyayangi Anak-Nya. Penderitaan yang harus Yesus alami begitu berat, bahkan dokter Lukas mencatat keringat Yesus seperti darah karena Dia begitu takut.

    Apakah kamu pernah memainkan game Truth or Dare? Baik truth ataupun dare, keduanya sama-sama tidak enak dan biasanya memalukan kita. Namun, setidaknya kita bisa memilih yang menurut kita masih lebih ‘mending’ dibanding yang lain. Dalam doa-Nya, Yesus juga berharap Dia bisa mendapatkan pilihan yang lain selain dari cawan penderitaan yang harus Dia minum yaitu kematian-Nya. Cawan pada Perjanjian Lama seringkali dijadikan simbol penderitaan (Yes. 51:7, Yer 25:15-17, dll). Namun, tidak ada pilihan lain bagi Yesus. Tidak ada pilihan lain selain taat dan tidak taat. Dan, Yesus memilih taat melakukan kehendak Bapa-Nya, bukan kehendak diri-Nya sendiri.

    Saya pernah berkata kepada mama saya, “Kalau aku sudah punya anak nanti, mungkin aku tidak bisa seperti mama yang selalu mengalah untuk anak. Makanan enak dan yang paling mama suka saja, mama rela berikan semuanya untuk kami.” Saya selalu kagum dengan kasih yang diberikan mama kepada kami. Mama selalu mengutamakan anak-anaknya dibandingkan kehendaknya sendiri. Mama betul-betul mengasihi kami dan seperti itulah kasih Yesus kepada Bapa, Dia mengutamakan kehendak Bapa-Nya ketimbang kehendak-Nya sendiri. Kita bisa taat jikalau kita mengasihi Tuhan Allah kita, sekalipun mungkin itu di luar rasionalitas kita. Utamanya, kita adalah manusia yang memilih apa yang kita cintai. Pertanyaannya apakah kita mencintai Yesus sehingga kita mau mentaati kehendak-Nya dan kehendak Bapa?

    Murid-murid yang Tertidur

    Sekarang mari kita melihat para murid yang disuruh Yesus untuk berjaga-jaga dan berdoa seperti Yesus. Namun, dua kali Yesus menemukan mereka malah tertidur. Biasanya kalau kita sedang menghadapi suatu ujian atau sesuatu yang mungkin membuat kita gentar, kita akan berkata kepada orang lain, “Tolong doakan aku.”, kita sendiri pun juga pasti akan selalu mengingat masalah itu di dalam doa-doa kita. Sama seperti Yesus, para murid yang ikut ke taman Getsemani pada waktu itu (Petrus, Yohanes, Yakobus) pun butuh kekuatan doa. Yesus menyuruh mereka untuk berjaga-jaga dan berdoa karena mereka pun sebentar lagi akan menghadapi guncangan juga dengan ditangkapnya Yesus.

    Yesus tahu bahwa ada peperangan rohani yang sebentar lagi akan dialami oleh para murid. Tentu saja, bagaimana jika seorang yang kau pandang begitu hormat, seperti guru sendiri, bahkan juga deminya engkau rela meninggalkan semua hal agar bisa mengikutinya, namun ternyata Dia ditangkap dan diadili hukuman mati. Kenyataan ini sangat mengguncang iman para murid sehingga mereka lari dan menyangkal Yesus. Mereka kalah dalam peperangan ini karena mereka tidak mempersiapkan diri dengan baik, berjaga-jaga dan berdoa agar tidak jatuh dalam pencobaan karena roh memang penurut tetapi daging lemah (the spirit is willing, but the flesh is weak).

    Injil Lukas mencatat bahwa ada seorang malaikat yang datang dan memberikan penguatan ketika Yesus berdoa. Cawan pada akhirnya memang tidak terhindarkan, inilah jawaban Allah Bapa. Akan tetapi Dia memberikan kekuatan kepada Yesus untuk menjalani kehendak Bapa dengan taat walaupun sulit. Yesus pun pada akhirnya membangunkan murid-murid dan menyuruh mereka bersiap karena waktunya sudah tiba. Yesus memang masuk ke dalam taman Getsemani dengan ketakutan, tetapi Dia keluar dengan siap dan tegar. Sedangkan para murid justru baru akan merasakan ketakutan itu ketika Yesus ditangkap.

    Kita tidak akan bisa menjadi taat dengan kekuatan sendiri, kita memerlukan kekuatan dari Tuhan Allah. Kita perlu berjaga-jaga dan berdoa. Biarlah kiranya kita dapat taat dan setia ketika dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Dalam game, kita mungkin bisa memilih hal yang salah, tetapi kita patut bersyukur karena Yesus lah yang sesungguhnya mampu memegang kendali dalam hidup kita. Di saat kita merasa lemah dalam menghadapi pilihan dan cobaan, mari bersandar kepada Yesus yang sudah melalui semua itu dengan taat.