Tag: Christmas

  • Natal yang Mengubah Hidup

    Natal yang Mengubah Hidup

    Ketika saya masih kecil, saya senang sekali membaca kisah buku cerita atau komik dimana pemeran utama dari kisah tersebut adalah anak-anak muda yang tiba-tiba saja mendapat tanggung jawab besar untuk menyelamatkan dunia dan akhirnya pergi bertualang. Tentu saja, sebagai anak muda, menjalani hidup yang begitu-begitu saja bisa jadi terkesan begitu membosankan. Terkadang kita menginginkan sesuatu yang berbeda dalam keseharian yang kita jalani. Belajar di luar negeri, berpindah tempat kerja, menjalin relasi yang baru, mungkin semua itu adalah cara-cara yang pada akhirnya seringkali diambil untuk mengatasi kejenuhan tersebut.

    Berita Natal mungkin terdengar seperti kisah yang biasa, cerita tentang dua orang muda yang tiba-tiba saja mendapat tanggung jawab yang besar dan mengubah hidup mereka. Namun, apa yang mereka alami bukanlah sesuatu yang diidam-idamkan oleh orang-orang muda pada umumnya. Mereka mengalami pilihan-pilihan yang sulit dan membuat hidup mereka tidak akan lagi sama. Mari membaca kisah mereka dalam Matius 1:18-21 dan belajar memposisikan diri sebagai mereka.

    If I were Mary

    Jika aku adalah Maria, aku akan bertanya “Kenapa aku yang Engkau pilih, Tuhan? Mengapa tidak yang lain saja? Tubuhku terlalu berharga untuk dirusak dengan kehamilan yang tidak pernah kurencanakan sebelumnya. Aku mencintai tunanganku dan aku tidak ingin hubungan kami berakhir, apalagi jika dia salah paham karena mengira aku mengkhianatinya. Aku mencintai keluargaku dan aku tidak ingin mereka menanggung malu di antara tetangga karena putri mereka mengandung sebelum menikah. Dan, yang paling menakutkan adalah, apakah aku harus mempertaruhkan nyawaku juga karena mengandung di luar pernikahan yang artinya hukuman mati menanti?”

    If I were Joseph

    Jika aku adalah Yusuf, aku akan bertanya “Maria, kenapa Engkau mengkhianatiku? Aku sangat kecewa kepadamu, namun di saat yang sama aku juga sangat mencintaimu. Jikalau aku ingin, aku bisa saja melaporkan kepada orang banyak bahwa anak di dalam kandunganmu memang bukanlah anakku sehingga engkau dihukum mati atas ketidaksetiaanmu. Atau aku bisa menceraikanmu di depan para tua-tua dan mempermalukanmu di depan umum. Aku ingin kamu merasakan sakit seperti kekecewaan yang kualami saat ini. Namun, mengapa aku tidak sanggup melakukan semua itu? Apakah mengakhiri pertunangan secara sepihak dan diam-diam sehingga kamu tidak menanggung malu, tidak perlu dihukum mati, dan kamu dapat menikah dengan pria itu merupakan keputusan yang adil bagiku? Lagi pula jikalau aku memutuskan untuk melakukannya aku harus mengembalikan sejumlah uang pernikahan kepada keluargamu, di saat aku bisa tetap menyimpannya jikalau engkau dihukum mati atau aku menceraikan dan mempermalukanmu di depan umum. Apakah ini adil bagiku yang engkau khianati ini?”

    If I were Joseph (Part 2)

    Jika aku adalah Yusuf yang telah mendengar berita dari malaikat, aku akan bertanya “Tuhan, bagaimana mungkin Engkau menyuruhku untuk tetap menikahi Maria? Aku mencintainya dan aku lega bahwa ternyata dia tidak mengkhianatiku walaupun kedengarannya kehamilannya tidak masuk akal, tetapi aku tidak dapat membayangkan bagaimana kami menjalani hidup setelahnya. Cibiran, hinaan, kesalahpahaman harus kami tanggung selama sisa hidup kami. Lagi pula sebagai seorang laki-laki, tidak menyentuh isteriku sendiri sampai persalinannya pun kedengarannya cukup tidak masuk akal. Apa kami sanggup menjalani pernikahan yang demikian?”

    Di tengah semua itu, mereka tetap taat menjalaninya sekalipun mereka tahu bahwa ini adalah hal yang sulit. Namun, ada satu pribadi yang jauh lebih taat di dalam memilih pilihan yang lebih sulit daripada yang harus dipilih Maria dan Yusuf.

    If I could ask a question to Jesus…

    Dan kini aku sendiri sebagai manusia berdosa akan bertanya kepada bayi mungil Yesus yang lahir ribuan tahun yang lalu, “Tuhan, mengapa Engkau mau meninggalkan takhtamu yang mulia di Surga sana? Mengapa Engkau mau meninggalkan kemuliaan, kenyamanan, dan kekayaanmu, lahir sebagai manusia yang hina, miskin, dan mengenaskan di kandang domba? Bahkan begitu banyak manusia lainnya tidak bernasib serendah itu. Tetapi pertanyaan terbesarku adalah mengapa Engkau mau menjalani hidup yang demikian menderita dan berakhir dengan mengenaskan demi kami yang menolak Engkau dan bahkan tidak sadar bahwa diri kami sesungguhnya membutuhkan Engkau.”

    Ketaatan yang Sempurna

    Belajar menyelami perasaan ketiga tokoh di atas membuatku bertanya-tanya, apa artinya menjadi taat? Taat adalah suatu hal yang mudah diucapkan tetapi tidak mudah dipraktekkan. Menjadi seorang Maria atau Yusuf tentu bukan suatu hal yang mudah, mereka menghadapi pilihan yang sangat sulit. Mereka harus memutuskan sesuatu yang akan membuat hidup mereka tidak lagi sama. Tetapi tokoh utama dalam cerita ini bukanlah Maria dan Yusuf, mereka hanyalah dua orang manusia berdosa yang diberikan anugerah untuk melahirkan dan merawat bayi Yesus yang akan menebus dosa mereka.

    Tokoh utama dari kisah ini adalah Yesus. Filipi 2:1-8 menggambarkan Yesus yang adalah contoh dari ketaatan yang sempurna. Yesus, sang pencipta dunia ini, pemilik dunia ini, seorang Tuhan yang disembah, tetapi mau turun sebagai manusia. Jikalau manusia menjadi hina seperti binatang, Tuhan Yesus yang adalah Tuhan, mau menjadi hina seperti manusia. Bahkan bukannya menjadi manusia yang sukses, tetapi miskin, dari desa yang tidak dikenal, anak tukang kayu, ditindas, dicemooh, dikutuk, dibunuh dan dianggap sesat oleh manusia-manusia yang ingin Dia tolong.

    Padahal bisakah Tuhan Yesus menolak menjadi manusia? Bisa.

    Bisakah Tuhan Yesus memilih ingin lahir dimana dan di keluarga yang seperti apa? Bisa.

    Bisakah Yesus memilih kesuksesan selama hidupnya dan tidak mau mati disalib? Bisa.

    Namun, nyatanya Yesus tetap memilih pada akhirnya untuk taat kepada perintah Allah Bapa sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Yesus menunjukkan bahwa di dalam ketaatanNya, Dia tidak taat hanya seperempat, sepertiga, setengah dalam perjalanan hidupnya, namun Dia mengabdikan atau menyerahkan seluruh hidupnya.

    Jikalau Yesus hanya taat dalam setengah perjalanan hidupnya, hanya lahir menjadi manusia tetapi tidak mau hidup susah, atau hanya sebatas hidup susah tapi tidak mau mati disalib, bagaimana hidup kita saat ini? Kita tidak akan memiliki pengharapan lagi, karena semua manusia dosa kita tidak ditebus dan kita tahu bahwa ujung hidup kita adalah maut.

    Dalam momen Natal ini, kita kembali diingatkan akan ketaatan Maria, Yusuf, namun yang terutama adalah ketaatan Yesus sendiri. Dalam momen bulan Desember ini juga, kita akan menutup tahun ini dan menyambut tahun yang baru. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi dalam kehidupan kita di masa depan, mungkin kita secara tidak sadar sedang merasa jenuh di dalam comfort zone kita saat ini, mungkin kita was-was akan perubahan seperti apa yang akan kita alami nantinya. Namun Yesus memberikan kita teladan dan kasih yang tulus sehingga Dia mau taat dengan sempurna. Kiranya apapun yang kita hadapi di masa depan, kita juga menjadi taat dan setia menjalani panggilan kita sebagai muridnya.

  • Dreaming of Christmas

    Dreaming of Christmas

    Dulu, saya pernah pergi ke suatu café dan memesan segelas kopi. Sebenarnya saya memang tidak terlalu suka kopi, apalagi kopi pahit. Tapi ketika saya lihat daftar menunya dan namanya satu per satu, ada satu nama yang kelihatannya menarik dan saya pikir kopi ini tidak akan pahit dan akan terasa enak. Tapi ketika kopi itu sampai di meja saya dan saya seruput, ternyata ekspektasi saya salah. Kopi yang saya pesan itu ternyata kopi pahit dan rasanya tidak enak. Tapi karena saya sudah pesan, terpaksa saya harus habiskan. Pernahkah kamu mengalami realita yang tidak sesuai dengan ekspektasi?

    Baca Lukas 4:16-27

    Pada waktu itu, Yesus sedang membacakan gulungan kitab nabi Yesaya tentang nubuatan pembebasan bangsa Israel. Waktu itu, ayat ini seringkali ditafsirkan sebagai kedatangan Mesias yang akan membebaskan bangsa Israel dari penjajahan bangsa Romawi. Tapi ketika Yesus berkata genaplah semua perkataan ini, yang Yesus maksudkan sebenarnya adalah pembebasan umat manusia dari perbudakan dosa.

    Namun ada satu hal yang menarik disini. Ada sebuah nama muncul yang mungkin sering kita dengar kisahnya di sekolah minggu, yaitu Naaman. Naaman adalah seorang pahlawan perang di kerajaan Aram, dia dikagumi dan disenangi oleh raja dan rakyatnya. Sayangnya kehidupannya berubah drastis karena penyakit kusta yang tiba-tiba menyerangnya. Tentu saja dia sangat ingin sembuh dan pasti dia sudah mencoba berbagai cara dan mendatangi semua tabib di Aram. Tapi semuanya sia-sia, hingga akhirnya dia mendengar kabar tentang nabi Elisa yang dapat menyembuhkannya. Dengan harapan yang besar pun, dia pergi menempuh perjalanan yang jauh dari Aram ke Israel.

    Tapi masih ingat apa yang terjadi? Yang menyambutnya hanyalah utusan Elisa yang menyuruh dia mandi di sungai Israel yang kotor sebanyak tujuh kali. Marah, itulah perasaan Naaman yang mengharapkan Elisa keluar dan menunjukkan mujizatnya sehingga kusta Naaman langsung lenyap. Naaman mendengar jawaban yang tidak diharapkannya ketika tiba di rumah Elisa. Penduduk Nazaret juga tidak mengharapkan seorang Mesias yang seperti Yesus, seorang anak tukang kayu yang besar di kampung mereka.

    Dreaming of Christmas, Natal seperti apakah yang kita impikan? Mungkin Natal adalah hal yang biasa kita lewat setiap tahun sehingga kita merasa tidak ada yang spesial. Akhirnya kita lupa merenungkan pemeran utama Natal yaitu Yesus. Sampai sebatas manakah kita merenungkan arti kedatangan Kristus yang sebenarnya? Yaitu membebaskan manusia dari dosa. Apakah kita seperti orang Nazaret yang hanya ingin Mesias yang sesuai dengan ekspektasi mereka dan yang penting bisa memuaskan keinginan hati mereka?

    Ada yang jauh lebih penting daripada ekspektasi kita sendiri, yaitu kedatangan Kristus yang sudah menebus semua dosa dan espektasi atau harapan kita ke dalam kehendak-Nya.

    Mungkin kita merasa hidup di dalam Tuhan tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Sehingga kita kecewa dengan Tuhan atau kita malah menyangkali realita dan terus terjebak dalam ekspektasi yang salah. Misalnya, “Aku hidup berkenan di hadapan Tuhan kok walaupun gak sempet ke gereja atau pelayanan, yang penting aku jadi berkat di kantor karena kerjaanku selesai semua. Tuhan itu kan baik, Dia pasti mengerti kondisiku.”

    Saya juga mengalami betapa sulitnya mengerjakan kehendak Tuhan di tengah-tengah lingkungan yang memaksa saya untuk hidup sesuai dengan kehendak mereka yang jelas berlawanan dengan kehendak Bapa. Namun, mari kita belajar dari kisah Naaman yang akhirnya sembuh karena dia taat. Tuhan mungkin memang menyuruh kita melakukan sesuatu yang sangat sulit atau tidak suka kita lakukan, akan tetapi mari  kita taat, berani menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Tuhan. Pasti kita akan sembuh dari kekecewaan akibat ekspektasi-ekspektasi kita yang berpusat pada diri sendiri.