Kisah ini bercerita tentang Yesus yang makan bersama dengan pemungut cukai. Pada zaman itu, pemungut cukai umumnya sering memeras pajak rakyat dan dianggap pengkhianat karena mereka adalah orang-orang Yahudi yang memeras sesama orang Yahudi. Hal ini memancing komentar-komentar nyinyir dari para orang Farisi. Mereka heran mengapa Yesus mau makan bersama dengan orang berdosa.
Apa respon Yesus? Tidak terbayangkan bagaimana ekspresi wajah Yesus pada saat itu. Mungkin dengan santai dan tegas, mungkin rautnya sedih, mungkin dengan marah, Yesus berkata bahwa “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.”
Siapakah yang dimaksud orang sehat disini? Dan, siapa yg dimaksud orang sakit? Pastinya, yang dimaksud orang sakit disini adalah orang berdosa, yaitu pemungut cukai yang dipandang sebagai orang berdosa. Lalu siapa yang dimaksud Yesus sebagai orang yang sehat? Apakah orang Farisi tersebut bisa dibilang sehat? Ternyata tidak. Yesus tidak bermaksud mengatakan bahwa hanya pemungut cukai lah yang sakit dan butuh tabib, sedangkan orang Farisi sudah sehat dan tidak butuh penyembuhan sang tabib. Yesus sama sekali tidak bermaksud mengatakan hal itu.
Nyatanya tidak ada satu orang pun yang sehat, semuanya sakit.
Orang Farisi yang dikenal sebagai orang yang sangat taat hukum Allah, rutin dan sangat rajin melakukan semua hukum taurat sampai ke perintilannya, tidak bisa dibilang sehat. Mereka sakit, kita pun demikian. Sebagai seorang pelayan Tuhan, sebagai seorang pengkhotbah, majelis atau gembala para jemaat, kita pun butuh tabib karena kita juga adalah orang yang terluka.
Yesus bahkan berkata “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa”
Seringkali sebagai seorang pelayan Tuhan, kita merasa bahwa diri kita sudah cukup baik ketika melayani Tuhan. Kita sibuk melayani, mengurusi ini dan itu, membuat program, acara, dan sebagainya. Kita mudah terjebak dalam pemikiran ‘yang penting jemaat menikmati dan bertumbuh’, padahal kita juga perlu duduk di kaki Tuhan Yesus dan disembuhkan oleh-Nya.
Kita adalah wounded healer. Healer sebagai penyembuh para jemaat yang terluka, tapi kita sendiri juga wounded sama seperti mereka yang kita layani. Ini adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang mengangkat kita sebagai penyembuh walaupun kita sendiri juga terluka. Itulah sebabnya kita butuh terus melihat kepada sang Penyembuh, sang Tabib yang sejati, Yesus Kristus.
Ketika Yesus menyuruh orang Farisi untuk pergi dan mempelajari arti perkataannya ini, demikianlah juga Dia menyuruh kita untuk terus mengingat dan memahami bahwa kita adalah orang-orang yang membutuhkan penyembuhan sang tabib.
Kiranya kebenaran ini dapat membuat kita selalu haus dan rindu mencari Tuhan yang mampu terus menyembuhkan luka kita sampai kelak di surga nanti luka kita akan benar-benar sembuh dengan sempurna.
2 Korintus 4:7 “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.”
Bejana tanah liat adalah sebuah benda yang rapuh dan tidak elite. Ketika membaca ayat ini, kita seharusnya bertanya-tanya siapa yang mau menyimpan harta dalam sebuah tempat yang rapuh. Bukankah seseorang biasanya menyimpan harta di tempat yang aman dan berharga?
Sebuah bejana tanah liat seharusnya adalah benda yang dapat membantu kita untuk menyimpan sesuatu, tetapi jikalau dipakai untuk menyimpan harta, bisa saja bejana tanah liat bukanlah benda yang tepat untuk itu. Pernahkah kita memiliki niat baik untuk membantu orang lain, tapi yang ada justru kita malah merepotkan orang yang ingin kita bantu seperti bejana tanah liat itu?
Saya mengalami kejadian ini dengan keponakan saya yang masih berumur 3 tahun. Suatu hari ketika saya sedang menginap di rumah kakak, saya bertanya kepadanya apakah ada meja laptop yang bisa saya pakai. Sebelum kakak saya menjawab, keponakan saya yang bernama Jason ini rupanya mendengar pembicaraan kami dan langsung berinisiatif mengambil meja laptop yang sedang dipakai adik saya untuk memberikannya kepada saya. Lantas laptop adik saya hampir saja jatuh dari meja laptop yang digeser secara mendadak oleh Jason. Saya tahu Jason bermaksud baik kepada saya, hanya saja saya merasa akan sangat bersalah dan kerepotan apabila harus membelikan adik saya laptop baru.
Seringkali kisah ini kita alami juga dalam kehidupan sehari-hari, tatkala niat baik kita berubah menjadi beban bagi orang lain yang ingin kita tolong. Bahkan secara tidak sadar, kita juga sebenarnya melakukan hal itu kepada Tuhan di dalam pelayanan kita. Dengan rendah hati, kita harus belajar mengakui bahwa kualitas pelayanan yang kita berikan tidak akan pernah bisa mencapai standard Tuhan. Maka dari itulah, pelayanan sebenarnya adalah sebuah anugerah. Kita sangat sering mendengar kalimat itu sampai-sampai kita tidak sadar apa arti sesungguhnya anugerah pelayanan itu. Berefleksi dari kisah saya dan Jason, sesungguhnya kita tidak akan bisa membantu Tuhan melalui pelayanan kita.
Jikalau Tuhan yang maha kuasa itu mau bekerja sendiri, dia bisa saja dalam sekejap mengubah segala hal dalam pelayanan yang sedang kita kerjakan untuk langsung menggenapkan kehendak-Nya. Dia tidak perlu lagi merepotkan diri melihat dan mengurusi pelayan-pelayannya ini yang setiap kali bertengkar dalam pelayanan, merasa diri paling dibutuhkan dan tidak bergantung pada Tuhan dengan pikiran “jika tidak ada aku, pelayanan ini tidak akan berjalan”, atau malas-malasan dan melayani tergantung mood saja. Namun, mengapa Dia masih ingin mempercayakan sebuah harta, yaitu Injil Kerajaan Sorga untuk kita beritakan, walaupun kita penuh dengan keterbatasan dan kelemahan dalam mengerjakannya?
Ini adalah sebuah paradoks yang indah dalam kehidupan Kristen. Tuhan tidak membutuhkan tenaga, waktu, kemampuan, atau kepintaran kita. Akan tetapi, Dia melihat kepada sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi dalam diri setiap kita. Dia menginginkan hati kita dan apa yang lahir dari situ, yaitu niat dan kesungguhan kita menyerahkan segenap hidup kita kepada-Nya. Dia bagaikan seorang Ayah bagi kita yang sangat senang melihat anak-anak-Nya yang masih kecil dan lugu mau membantu Dia sekalipun mungkin yang kita kerjakan secara tidak disadari sedang merepotkan sang Ayah.
Ada sebuah lagu yang sangat indah mengajarkan kepada kita betapa dalamnya kerinduan hati Bapa melihat pelayanan kita yang bukan didasarkan pada kehebatan ataupun kemampuan kita tetapi kesungguhan hati kita.
Andaikan jagad milikku
dan kuserahkan padaNya,
tak cukup bagi Tuhanku
diriku yang dimintaNya.
(Memandang Salib Rajaku, KJ 169 bait 5)
Seperti Tuhan yang tidak menyerahkan diri-Nya setengah-setengah melainkan sepenuhnya. Bayangkan jika Yesus hanya mau sekedar lahir sebagai manusia tapi tidak mau hidup menderita dan mati di kayu Salib. Atau bayangkan jika Yesus hanya mau sekedar lahir sebagai manusia, memuridkan murid-murid-Nya tetapi Dia tidak mau mati di kayu Salib. Kiranya kita juga bisa belajar meneladani Yesus yang tidak setengah-setengah, melainkan dengan sepenuh hati melayani-Nya dan menyadari bahwa kekuatan untuk bisa merawat harta Injil Kerajaan Sorga itu adalah berasal dari sang pemilik harta itu sendiri, yaitu Allah.
“Pasangan yang berbeda iman? Kenapa tidak? Kita tetap akan saling menghargai satu sama lain, saling mencintai, dan bahagia.”
“Ini adalah suatu kesempatan yang baik untuk mengenalkan Kristus kepadanya.”
“Dia bahkan lebih baik daripada orang-orang Kristen di gereja. Lagipula kami cocok dan saya merasa mendapat pengaruh baik darinya.”
Saya mencoba mengumpulkan alasan-alasan yang paling sering diungkapkan oleh pemuda-pemudi Kristen dalam menyikapi masalah pacaran atau pernikahan tidak seiman. Mereka adalah teman-teman dan keluarga Kristen yang menjalin relasi dengan pasangan yang tidak percaya — pasangan yang tidak percaya bukan saja berbicara tentang mereka yang berbeda agama, tetapi juga orang-orang Kristen KTP (Kristen Tanpa Pertobatan).
Sebagai seorang penulis Kristen, saya ingin menyikapi kedua alasan tersebut menurut cara pandang Kristen. Berbicara mengenai cara pandang Kristen, maka mau tidak mau kita harus menetapkan suatu dasar dari segala pemikiran kita yaitu, Allah dan Alkitab yang kita percayai berotoritas. Kita percaya bahwa Allah berotoritas karena Dia adalah Sang Pencipta dan kita adalah ciptaan-Nya. Artinya segala sesuatu di dalam dunia ini berpusat kepada kehendak dan ketentuan Sang Pencipta. Begitu juga dengan Alkitab yang berisi kehendak dan ketentuan Allah yang berotoritas. Maka, saya harus berkata bahwa hubungan percintaan yang berbeda iman adalah suatu hal yang tidak saya setujui menurut cara pandang Kristen. Saya menyebut ketiga alasan di atas sebagai mitos yang seringkali dijadikan alasan dalam membenarkan relasi ini.
Jadi apa kata Alkitab mengenai ketiga mitos ini?
Mitos #1 – Saling Menghargai, Mencintai, dan Bahagia
Tentu ketika berbicara mengenai pluralisme dan universalisme, kita bisa saja menyikapinya dengan sangat humanis.”Mereka yang berbeda iman juga manusia yang sama seperti kita. Kita akan tetap saling menghargai, dan tidak melarang satu sama lain menjalankan ibadahnya.” Ini adalah perkataan yang begitu mudah diucapkan dalam relasi yang masih sebatas pertemanan, pendekatan, ataupun pacaran tetapi kenyataannya sulit diterima dalam relasi yang lebih dalam, yaitu pernikahan.
Mungkin kita sering mendengar cerita-cerita ‘kesuksesan’ pernikahan yang berbeda iman. Mereka bahagia dan setia sampai maut memisahkan. Wow… kedengarannya pasangan ini sangat #relationshipgoals dan sesuai dengan nilai Alkitab. Akan tetapi, kita perlu menggarisbawahi kata ‘kesuksesan’. Apakah ukuran kesuksesan (#relationshipgoals) menurut cara pandang Kristen?
2 Korintus 6:14 (TB) “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”
2 Corinthians 6:14 (NIV) “Do not be yoked together with unbelievers. For what do righteousness and wickedness have in common? Or what fellowship can light have with darkness?”
unsplash.com
Dalam terjemahan bahasa Inggris (NIV), Alkitab memakai gambaran kuk (yoke) dalam menjelaskan ketidakseimbangan antara pasangan yang percaya dan tidak percaya. Kita dapat membayangkan seandainya kita pergi ke sawah dan melihat seorang petani membajak sawah. Apa jadinya jika kuk atau bajak tersebut dipasangkan pada seekor kerbau dan seekor kambing yang jelas berbeda ukuran dan tenaganya? Pastilah binatang yang memiliki tenaga dominan akan menyeret dan melukai yang lemah.
Jika kamu adalah seorang Kristen yang sejati, maka kamu akan mengerti dan dapat membayangkan ayat ini begitu nyata di dalam pernikahan antara seorang Kristen dan pasangan yang tidak percaya. Seperti dua sisi koin yang terpisah, kamu tidak dapat menjalani panggilanmu sebagai seorang Kristen yang sejati sekaligus menjalani pernikahan dengan pasangan yang tidak percaya.
Sebagai seorang Kristen yang sejati, kita dituntut untuk menjalani panggilan Tuhan setiap hari. Tuhan memanggil kita untuk tidak menjadi serupa dengan dunia ini (Roma 12:2). Inilah ukuran kesuksesan menurut cara pandang Kristen. Kesuksesan tidak dinilai oleh manusia, tetapi bagaimana kita dapat taat akan panggilan Tuhan. Tuntutan ini bukanlah tuntutan yang mudah, diperlukan keberanian untuk menembus kebiasaan-kebiasaan, natur, dan cara pandang yang dianut dunia pada umumnya. Pasangan yang tidak percaya tidak akan mengerti akan hal ini. Jauh dari kata bahagia, malah kita akan menjalani jalan kesendirian yang sepi selama sisa hidup kita. Berdoa, membaca Alkitab, pergi beribadah, pelayanan, bergumul, semuanya yang tidak terelakkan itu mau tidak mau harus kita jalani sendirian.
Mitos #2 – Kesempatan untuk Penginjilan
Tuhan menguduskan relasi pernikahan. Pernikahan bahkan digambarkan seperti relasi Kristus dengan jemaat-Nya (Efesus 5:32). Relasi pernikahan bukanlah sesuatu yang main-main di mata Tuhan. Ia memiliki tujuan semula dalam menciptakan pernikahan. Sehingga bagaimana kita mempersiapkan pernikahan jugalah penting bagi-Nya.
Kejadian 1:31 (TB) “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.”
Tujuan semula Allah menciptakan pernikahan adalah untuk memuliakan Allah. Semua yang Ia ciptakan baik adanya. Namun, semua yang baik itu berubah dan mengakibatkan keterpisahan antara manusia dengan Sang Pencipta. Ketidakpercayaan manusia terhadap Allah adalah akibat dari kejatuhan manusia dalam dosa. Pernikahan yang semula diciptakan agar manusia beranak cucu dan memenuhi bumi untuk memuliakan Kerajaan Allah telah menjadi rusak. Sehingga tujuan mula-mula pernikahan bukanlah dimaksudkan untuk penginjilan.
“Tuhan, tolong ubah hati si X agar dia mau bertobat ketika kuinjili. Jamah hatinya, sehingga kami dapat menjadi pasangan yang sesuai dengan kehendak-Mu…”
Doa diatas mungkin sudah menjadi pokok doa harian dari seorang Kristen yang sangat ingin pasangannya bertobat. Padahal pencipta kita bukanlah pesuruh, kita hanyalah ciptaan di hadapan-Nya. Sungguh merupakan suatu ironi ketika seringkali ada manusia yang tidak melakukan kehendak Penciptanya tetapi malah menuntut Penciptanya untuk berkehendak sesuai dengan apa yang diinginkan manusia tersebut. Inilah yang seringkali dilakukan manusia bukan? Menciptakan penciptanya sendiri menurut gambar dan rupa mereka.
Mitos #3 – Dia Membawa Pengaruh Baik
Setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia cenderung dan akan terus berbuat dosa sepanjang hidupnya. Dosa telah menjadi sebuah natur dalam hidup manusia, bahkan tanpa diajari pun seorang anak kecil dapat berbuat dosa.
2 Timotius 2:10 (TB) “Karena itu aku sabar menanggung semuanya itu bagi orang-orang pilihan Allah, supaya mereka juga mendapat keselamatan dalam Kristus Yesus dengan kemuliaan yang kekal.”
Paulus tahu benar bahwa tidak ada hal yang lebih membahagiakan bagi seorang manusia selain mengetahui bahwa dirinya telah diselamatkan. Bahkan demi memberitakan hal ini, Paulus rela menderita dan dianiaya. Fakta bahwa kita telah diselamatkan jauh lebih berharga daripada prestasi-prestasi yang dapat kita peroleh dan kebaikan-kebaikan yang dapat kita terima atau lakukan. Jikalau kita sungguh-sungguh mengenal Allah, maka kita akan mengerti apa yang sesungguhnya Ia inginkan dari hidup kita. Persembahan-persembahan yang berkenan bagi hati-Nya bukanlah kemurahan hati kita dalam memberikan persembahan, prestasi-prestasi yang dapat kita peroleh dalam studi atau pekerjaan, seberapa banyak kita beramal dan membantu orang lain, dan lain sebagainya. Namun, yang Ia inginkan adalah hati yang hancur dan menyadari bahwa kita adalah manusia berdosa yang membutuhkan pengampunan-Nya.
Pasangan yang tidak percaya mungkin kadang memang memiliki sikap yang baik dan tidak jarang membawa pengaruh yang baik untuk pasangannya. Namun, itu tidak akan mengubah fakta bahwa kita semua adalah manusia yang berdosa, rusak total, dan membutuhkan anugerah-Nya. Ketika kita lebih tertarik kepada pasangan kita, sesungguhnya ini menandakan bahwa kita lebih tertarik dengan kebaikan pasangan kita ketimbang kebaikan dan anugerah Allah.
Kathy Keller, istri dari Timothy Keller, seorang penulis buku rohani, pernah menceritakan kisah anak mereka yang menjalin relasi dengan pasangan yang tidak percaya.
“Beberapa tahun yang lalu anak laki-laki kami mulai menghabiskan waktu bersama dengan seorang wanita Yahudi yang tidak percaya. Sudah bertahun-tahun dia mendengar kami berbicara mengenai penderitaan akibat ketidaktaatan seorang Kristen dengan menikahi seorang non-Kristen, sehingga dia mengerti bahwa itu bukanlah sebuah pilihan (sesuatu yang juga sering kami ingatkan). Namun, persahabatan mereka berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Kami bangga, ia berkata kepada wanita itu: “Aku tidak dapat menikahimu kecuali kamu adalah seorang Kristen, dan kamu tidak dapat menjadi seorang Kristen hanya untuk menikah denganku. Aku akan duduk di gereja bersamamu, tetapi jika kamu serius untuk mempelajari Kekristenan kamu harus melakukannya sendiri–carilah kelompok kecilmu sendiri, bacalah buku, berbicaralah kepada orang lain selain aku.” Bersyukurnya, wanita ini sangat berintegritas dan berani, dia mengarahkan dirinya untuk mencari kebenaran Alkitab. Selama dia bertumbuh semakin dekat dengan iman Kekristenan, kami terkejut karena anak kami pun mulai bertumbuh dalam iman untuk bisa menyeimbangkan diri dengan wanita itu. Wanita ini bahkan pernah bercanda kepadaku, “Seharusnya anakmu jangan pernah mendekatiku.” Dia sampai kepada imannya dan anak kami yang menemaninya ketika dia dibaptis. Seminggu setelahnya, anak kami melamarnya dan sekarang mereka sudah menikah selama 2,5 tahun, bersama bertumbuh, bersama bergumul, bersama bertobat. Kami mencintai mereka berdua dan sangat bersyukur karena wanita ini ada dalam keluarga kami dan juga bersama dalam tubuh Kristus.” (Don’t Take It From Me)
–
Seorang anak akan menuruti perkataan ayah dan ibunya ketika anak itu percaya kepada mereka dan anak itu mengasihi orang tuanya. Kita juga menunjukkan rasa cinta dan percaya kita pada Allah dengan melakukan kehendak-Nya. Namun, ketika kita memilih untuk tidak menuruti perkataan-Nya bukankah itu artinya ada hal yang lebih kita cintai daripada Allah atau mungkin sebenarnya kita tidak percaya pada Pencipta kita?
Rasanya juga tidak adil jika kita berdoa agar pasangan kita mau memberikan hatinya pada-Nya, disaat kita sendiri tidak benar-benar memberikan hati kita pada-Nya. Hal yang dapat kita lakukan pertama-tama adalah meminta Allah untuk mengubah hati kita terlebih dahulu sehingga kita mau menuruti kehendak-Nya.
“Bukan seorang yang bodoh, dia yang mau melepaskan apa yang dapat hilang daripadanya demi mendapatkan sesuatu yang tidak akan hilang darinya.” – Jim Elliot