2 Korintus 4:7 “Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, supaya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami.”
Bejana tanah liat adalah sebuah benda yang rapuh dan tidak elite. Ketika membaca ayat ini, kita seharusnya bertanya-tanya siapa yang mau menyimpan harta dalam sebuah tempat yang rapuh. Bukankah seseorang biasanya menyimpan harta di tempat yang aman dan berharga?
Sebuah bejana tanah liat seharusnya adalah benda yang dapat membantu kita untuk menyimpan sesuatu, tetapi jikalau dipakai untuk menyimpan harta, bisa saja bejana tanah liat bukanlah benda yang tepat untuk itu. Pernahkah kita memiliki niat baik untuk membantu orang lain, tapi yang ada justru kita malah merepotkan orang yang ingin kita bantu seperti bejana tanah liat itu?
Saya mengalami kejadian ini dengan keponakan saya yang masih berumur 3 tahun. Suatu hari ketika saya sedang menginap di rumah kakak, saya bertanya kepadanya apakah ada meja laptop yang bisa saya pakai. Sebelum kakak saya menjawab, keponakan saya yang bernama Jason ini rupanya mendengar pembicaraan kami dan langsung berinisiatif mengambil meja laptop yang sedang dipakai adik saya untuk memberikannya kepada saya. Lantas laptop adik saya hampir saja jatuh dari meja laptop yang digeser secara mendadak oleh Jason. Saya tahu Jason bermaksud baik kepada saya, hanya saja saya merasa akan sangat bersalah dan kerepotan apabila harus membelikan adik saya laptop baru.
Seringkali kisah ini kita alami juga dalam kehidupan sehari-hari, tatkala niat baik kita berubah menjadi beban bagi orang lain yang ingin kita tolong. Bahkan secara tidak sadar, kita juga sebenarnya melakukan hal itu kepada Tuhan di dalam pelayanan kita. Dengan rendah hati, kita harus belajar mengakui bahwa kualitas pelayanan yang kita berikan tidak akan pernah bisa mencapai standard Tuhan. Maka dari itulah, pelayanan sebenarnya adalah sebuah anugerah. Kita sangat sering mendengar kalimat itu sampai-sampai kita tidak sadar apa arti sesungguhnya anugerah pelayanan itu. Berefleksi dari kisah saya dan Jason, sesungguhnya kita tidak akan bisa membantu Tuhan melalui pelayanan kita.
Jikalau Tuhan yang maha kuasa itu mau bekerja sendiri, dia bisa saja dalam sekejap mengubah segala hal dalam pelayanan yang sedang kita kerjakan untuk langsung menggenapkan kehendak-Nya. Dia tidak perlu lagi merepotkan diri melihat dan mengurusi pelayan-pelayannya ini yang setiap kali bertengkar dalam pelayanan, merasa diri paling dibutuhkan dan tidak bergantung pada Tuhan dengan pikiran “jika tidak ada aku, pelayanan ini tidak akan berjalan”, atau malas-malasan dan melayani tergantung mood saja. Namun, mengapa Dia masih ingin mempercayakan sebuah harta, yaitu Injil Kerajaan Sorga untuk kita beritakan, walaupun kita penuh dengan keterbatasan dan kelemahan dalam mengerjakannya?
Ini adalah sebuah paradoks yang indah dalam kehidupan Kristen. Tuhan tidak membutuhkan tenaga, waktu, kemampuan, atau kepintaran kita. Akan tetapi, Dia melihat kepada sesuatu yang lebih dalam dan tersembunyi dalam diri setiap kita. Dia menginginkan hati kita dan apa yang lahir dari situ, yaitu niat dan kesungguhan kita menyerahkan segenap hidup kita kepada-Nya. Dia bagaikan seorang Ayah bagi kita yang sangat senang melihat anak-anak-Nya yang masih kecil dan lugu mau membantu Dia sekalipun mungkin yang kita kerjakan secara tidak disadari sedang merepotkan sang Ayah.
Ada sebuah lagu yang sangat indah mengajarkan kepada kita betapa dalamnya kerinduan hati Bapa melihat pelayanan kita yang bukan didasarkan pada kehebatan ataupun kemampuan kita tetapi kesungguhan hati kita.
Andaikan jagad milikku
dan kuserahkan padaNya,
tak cukup bagi Tuhanku
diriku yang dimintaNya.(Memandang Salib Rajaku, KJ 169 bait 5)
Seperti Tuhan yang tidak menyerahkan diri-Nya setengah-setengah melainkan sepenuhnya. Bayangkan jika Yesus hanya mau sekedar lahir sebagai manusia tapi tidak mau hidup menderita dan mati di kayu Salib. Atau bayangkan jika Yesus hanya mau sekedar lahir sebagai manusia, memuridkan murid-murid-Nya tetapi Dia tidak mau mati di kayu Salib. Kiranya kita juga bisa belajar meneladani Yesus yang tidak setengah-setengah, melainkan dengan sepenuh hati melayani-Nya dan menyadari bahwa kekuatan untuk bisa merawat harta Injil Kerajaan Sorga itu adalah berasal dari sang pemilik harta itu sendiri, yaitu Allah.
Leave a Reply