Pada tahun 2014, Indonesia digegerkan dengan kasus pembunuhan Ade Sara. Siapakah dia? Ade Sara adalah anak perempuan semata wayang yang dibunuh dengan keji setelah sebelumnya disiksa oleh mantan pacar dan pacar baru mantannya. Motifnya dilakukan karena sakit hati dan cemburu. Bahkan pelaku pembunuhan Ade Sara waktu itu seperti tidak menunjukkan perasaan bersalah. Di foto yang beredar dalam berita, pelaku masih bisa tersenyum seolah bangga dengan perbuatannya. Namun, hal apa yang membuat kasus ini berkesan dan berbeda dari kasus-kasus pembunuhan lainnya?
Orangtua Ade Sara ternyata memutuskan untuk mengampuni pelaku pembunuhan anak semata wayang mereka. Bahkan disebutkan dalam berita bahwa mereka sering menjenguk pelaku dalam penjara dan menjalin silahturami dengan keluarga pelaku. Tentunya ini bukanlah suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Rasanya pasti sangat sulit untuk mengampuni orang yang sudah merebut nyawa orang yang kita kasihi, apalagi anak semata wayang kita sendiri. Namun apa yang mendorong orangtua Ade Sara mau mengampuni dan memaafkan pelaku pembunuhan anak semata wayangnya?
Sebelumnya, mari kita membaca Matius 18:21-35.
Perikop ini dibuka dengan pertanyaan Petrus kepada Tuhan Yesus tentang seberapa kali seseorang harus mengampuni orang yang berbuat dosa kepadanya. Kita tidak tahu apa motif Petrus menanyakan hal ini, mungkin dia sedang bergumul mengasihi temannya, sesama murid Tuhan Yesus mengingat sebelumnya terjadi perdebatan mengenai siapakah yang terbesar di antara mereka. Atau bisa jadi Petrus ingin menunjukkan dirinya yang mampu mengampuni lebih banyak (7 kali) daripada yang diajarkan rabbi-rabbi pada zaman itu yaitu hanya 3 kali pengampunan saja (Ayub 33:29). Tetapi menarik jawaban Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa kita harus mengampuni bukan hanya 7 kali saja, tetapi 70 x 7 kali. Apa maksudnya 70 x 7 kali? 490 kali kah batas kesabaran kita untuk mengampuni orang lain? Tidak, Yesus rupanya sedang menggambarkan bahasa hiperbola yang merujuk kepada Kejadian 4:23-24 mengenai dendam dalam generasi Kain dan Lamekh. Jika Lamekh pada saat itu berbangga dengan perbuatannya yang membalaskan dendam sampai 70 kali lipat kepada orang yang memukulnya, maka Yesus berkata disini bahwa 7 x 70 kali lipat adalah sesuatu yang terlampau banyak untuk dilakukan sehingga tidak akan seseorang mampu menghitungnya dalam memberi pengampunan kepada orang yang mengulang-ngulang kesalahan yang sama sekali pun kepadanya. Selain itu angka 7 merupakan angka yang melambangkan kesempurnaan bagi budaya orang Yahudi. Bagi Yesus tidak ada batas kesabaran dalam mengampuni orang lain. Pengampunan bukanlah suatu hal yang kuantitatif bagi Yesus tetapi sesuatu yang seharusnya bersifat kualitatif, artinya Yesus mengajarkan bahwa pengampunan bukan sesuatu yang seharusnya diperhitungkan.
Yesus menjelaskan lebih lanjut dengan perumpamaan seorang Raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-hamba yang berhutang kepada Raja tersebut. Ada seorang hamba yang berhutang 10 ribu talenta. Tentunya pendengar perumpamaan Yesus pada zaman itu akan terkejut mendengar angka yang begitu fantastis. Sepuluh ribu talenta pada zaman itu setara dengan 50-100 juta hari upah seorang pekerja harian atau setara dengan 12 juta dollar dalam kurs kita saat ini. Bahkan pemasukkan tahunan Raja Herodes pada saat itu hanya 900 talenta dan jumlah pajak di Galilea dan Berea saat itu jika digabungkan hanyalah 200 talenta. Namun, orang ini digambarkan berhutang 10 ribu talenta. Jumlah yang sangat banyak sehingga orang ini seharusnya tidak dapat melunasi hutangnya bahkan sekalipun dia bekerja seumur hidupnya.
Oleh karena itulah sang Raja memerintahkan agar ia beserta anak dan isterinya dijual sebagai budak. Pada zaman itu, wajar saja jika seseorang dimasukkan ke penjara atau keluarganya dijual sebagai budak untuk melunasi hutang karena dengan demikian akan ada relatif atau saudara yang mau membantu melunasi hutang agar keluarganya tidak menjadi budak. Namun, mari kita kembali mengingat jumlah hutang hamba ini yang begitu besar, seorang budak yang termahal pun dijual hanya di kisaran 1 talenta pada zaman itu. Sehingga menjual anggota-anggota keluarga hamba tersebut sebagai budak pun tidak akan bisa melunasi hutang 10 ribu talenta tersebut.
Ajaran Yahudi tidak membenarkan perdagangan budak, tetapi mungkin Tuhan Yesus menggambarkan seorang Raja non Yahudi dalam perumpamaan ini untuk mengejutkan murid-murid yang mendengarnya. Kelanjutan cerita perumpamaan ini pun begitu mengejutkan karena Raja tersebut digambarkan tergerak oleh belas kasihan terhadap hambanya ini yang bersujud dan memohon keringanan waktu untuk melunasi hutang-hutangnya yang kita tahu adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat dia lunasi. Sang Raja bahkan tergerak untuk menghapus hutang hamba ini yang begitu banyak. Dengan demikian sepuluh ribu talenta dihapuskan begitu saja dari pembukuan sang Raja.
Namun sayangnya, hamba ini ketika sudah mendapatkan belas kasihan dari Sang Raja justru malah menangkap dan mencekik kawannya, sesama hamba yang berhutang kepadanya hanya 100 dinar. Jumlah yang hanya 1 per 1 juta dari hutang hamba pertama. Jumlah yang jika dikonversi ke kurs saat ini mungkin hanya 20 dollar, perbandingannya adalah 1: 600,000 dengan hutang hamba pertama. Sekarang kita tahu bahwa hamba yang dihapuskan hutangnya merupakan orang yang sangat culas dan jahat. Bahkan ketika kawannya bersujud dan menggunakan kata-kata yang sama seperti yang digunakan oleh si hamba pertama, dia tidak memberikan respon yang sama seperti respon Sang Raja. Justru hamba ini memasukkan kawannya ke dalam penjara, sehingga kawannya ini tidak dapat lagi membayar hutangnya karena dia tidak dapat mencari uang di dalam penjara. Secara tidak langsung, perbuatannya ini juga merugikan Sang Raja. Mengapa? Karena ada kemungkinan kawannya yang dimasukkan ke penjara ini juga memiliki hutang terhadap Sang Raja. Oleh karena itu, dia tidak dapat bekerja lagi untuk melunasi hutangnya kepada Sang Raja juga. Sehingga si hamba yang dihapuskan hutangnya telah gagal meneruskan kasih yang diberikan oleh Sang Raja kepadanya dan juga malah merugikan Sang Raja.
Wajar saja jika kawan-kawan dari kedua hamba ini merasa begitu sedih melihat ketidakadilan yang terjadi dan melaporkan perbuatan si hamba ini kepada Raja. Ketika mendengar hal ini, Sang Raja pun marah dan menyampaikan kekecewaannya kepada si hamba yang dalam ekspektasi Sang Raja seharusnya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Sang Raja kepadanya. Sehingga seperti si hamba memperlakukan kawannya dengan tidak ada pengampunan, Sang Raja pun memperhitungkan kembali hutangnya dan memasukkan hamba ini ke dalam penjara. Artinya, si hamba yang jahat ini pun tidak akan dapat melunasi hutangnya seumur hidupnya.
Hal apa yang ingin disampaikan Yesus melalui perumpamaannya ini? Yesus ingin menyampaikan bahwa kita pun adalah hamba yang hutangnya sangat banyak sehingga tidak mungkin dapat kita lunasi seumur hidup kita. Hutang apa yang kita miliki? Hutang dosa. Keberdosaan kita sebagai manusia tidak akan bisa diampuni oleh Allah yang maha kudus. Upah dosa adalah maut (Roma 6:23), itulah yang seharusnya menanti kita yang tidak dapat membayar hutang dosa kita. Namun, Allah telah mengutus Anak semata wayang-Nya untuk melunasi hutang yang tidak akan sanggup kita bayarkan.
Sehingga seharusnya kita pun mengampuni seperti Tuhan mengampuni kita. Dosa orang lain kepada kita tidak sebesar dosa kita kepada Allah. Yesus menutup perumpamaan ini dengan satu kesimpulan bahwa Bapa di Sorga akan seperti Sang Raja terhadap mereka yang tidak mengampuni orang lain. Hal ini bukan berarti ajaran Yesus merupakan ajaran yang legalistik karena keselamatan kita tidak ditentukan oleh perbuatan kita melainkan hanya karena anugerah pengorbanan Yesus di kayu salib yang sudah menghapuskan hutang dosa kita. Namun, perkataan Yesus disini menyatakan sebuah ekspektasi dan tanggungjawab orang percaya yang sudah menerima pengampunan dari Tuhan. Kebahagiaan kita yang sudah dihapuskan hutangnya seharusnya tidak kita simpan untuk diri kita sendiri. Pengampunan bukanlah sesuatu yang seharusnya kita tahan.
Tentu ini bukan hal yang mudah. Saya sendiri masih banyak bergumul dalam mengampuni orang yang bersalah kepada saya. Saya pun tidak dapat membayangkan jika saya berada dalam posisi orangtua Ade Sara, rasanya saya mungkin akan membenci si pelaku yang sudah membunuh anak semata wayang yang sudah dirawat sejak kandungan sampai dia kuliah. Di dalam terang Injil, Yesus memberikan contoh apa artinya mengampuni 7 x 70 kali. Dalam perjalanan-Nya menuju salib bahkan kebangkitan dan setelah kenaikan-Nya, kita sebagai manusia masih terus dan akan terus mengecewakan-Nya, tetapi juga pengampunan-Nya masih akan terus ada.
Orangtua Ade Sara adalah orang percaya, pengikut Kristus yang sudah memberkati banyak orang melalui kesaksian mereka di gereja. Mereka adalah orang-orang yang merasakan pengampunan Kristus atas dosa mereka dan meneruskannya kepada orang-orang yang telah mengambil nyawa anak semata wayangnya. Baca wawancara dengan orangtua Ade Sara disini.
Kiranya hati kita juga bisa meluap dengan sukacita mengetahui bahwa hutang kita yang tidak akan terlunasi telah dihapuskan secara cuma-cuma dan mari meneruskan pengampunan yang telah Tuhan berikan ini kepada orang lain yang menyakiti kita.
Leave a Reply