Tulisan ini disadur dari buku The Meaning of Marriage – Chapter 3: The Essence of Marriage by Timothy and Kathy Keller.
Ada banyak pasangan kekasih yang tidak ingin melanjutkan hubungan mereka ke dalam pernikahan dan memutuskan untuk menjaga status quo hubungan mereka. “Mengapa kita membutuhkan selembar kertas (sertifikat pernikahan) untuk mencintai 1 sama lain? Aku tidak butuh selembar kertas untuk mencintaimu. Ini hanya akan mempersulit kita.”, kata seseorang yang menolak lamaran pernikahan pasangannya.
Pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang merepotkan dan menyulitkan. Memang tidak bisa dipungkiri, ada banyak konsekuensi yang harus dihadapi ketika melegalkan suatu hubungan. Tanggung jawab yang ditanggung bukan hanya kepada pasangan saja, tetapi juga kepada hukum negara dan Tuhan.
Menurut Tim Keller, seseorang yang seharusnya sudah siap tetapi menolak untuk melegalkan hubungan dengan kekasihnya mendefinisikan “cinta” sebagai sebuah perasaan saja. Cinta diukur dari gairah atau passion yang dirasakan. Lalu apa masalahnya? Jika gairah atau passion itu hilang, mungkin karena pasangannya tidak lagi bisa memberi makan passion tersebut, tentu cinta itu juga akan hilang.
Definisi cinta seperti ini berbeda dengan apa yang diajarkan dalam Alkitab. Menurut pandangan Alkitab, “cinta” artinya bukan seberapa banyak yang bisa kita terima tetapi soal seberapa banyak kita bisa memberikan diri kita kepada orang lain. Ini lah esensi dari cinta. Sehingga ketika seseorang berkata bahwa “Aku mencintaimu, jadi ayo kita tidak menghancurkan hubungan cinta kita dengan menikah.” Artinya “Aku sebenarnya tidak cukup mencintaimu sampai aku harus memberikan diriku untuk terikat padamu. Cintaku padamu belum sampai ke level pernikahan.”
Alkitab memang tidak melihat cinta dalam artian emosi atau gairah yang mendalam sebagai esensi dari pernikahan, namun bukan berarti ini bertentangan dengan esensi yang sesungguhnya yaitu komitmen untuk berkorban. Lalu bagaimana hubungan cinta yang romantis dan cinta yang melayani dengan berkomitmen?
Orang-orang masa kini beranggapan jika dalam mencintai diperlukan suatu pengorbanan atau tanggung jawab untuk dilakukan, maka itu bukanlah cinta yang sehat alias toxic. Bagi mereka cinta itu utamanya adalah untuk kepentingan pribadi.
Transaksi atau Perjanjian?
Bagi Alkitab, pernikahan bukanlah transaksi (consumer relation) tapi perjanjian (covenant). Bedanya adalah jika pernikahan merupakan transaksi maka pernikahan hanya bisa terjadi selama ada 1 pihak yang bisa memenuhi kebutuhan kita dengan harga yang sesuai dengan yang mau kita bayar. Jika ada pihak lain yang lebih menguntungkan kita, maka masuk akal bagi kita untuk memilih pihak lain tersebut.
Sedangkan jika pernikahan adalah sebuah perjanjian, maka relasi itu sendiri melebihi kepentingan pribadi. Contohnya hubungan orangtua dan bayi, walaupun mengurus bayi itu melelahkan tetapi tidak mungkin orangtua membuang bayinya. Publik akan mengecam orangtua yang berbuat demikian karena bagi masyarakat, hubungan orangtua dan anak adalah sebuah perjanjian (covenant). Sayangnya konsep publik mengenai perjanjian tidak terlalu dipandang dalam relasi pernikahan. Padahal inilah esensi pernikahan, yaitu sebuah perjanjian.
Di dalam Alkitab ada perjanjian horizontal (antar manusia) dan vertikal (antar manusia dan Allah). Perjanjian dalam pernikahan itu unik karena merupakan perjanjian yang paling dalam bagi manusia, ada aspek horizontal dan vertikal di dalamnya (Mal.2:14 ; Ams.2:17). Perjanjian pernikahan dibuat antar manusia di hadapan Allah, sehingga melanggar janji pernikahan kepada pasangan berarti juga melanggar janji kepada Allah.
Janji pernikahan yang dijawab dengan “Ya, saya bersedia.” sebenarnya tidak diucapkan kepada satu sama lain saja antara suami dan istri. Suami dan istri bersumpah kepada Tuhan terlebih dahulu sebelum mengatakan “bersedia” kepada 1 sama lain. Perjanjian dengan dan di hadapan Allah memperkuat pasangan untuk berjanji 1 sama lain seperti gambaran sebuah bangunan dengan struktur berbentuk A, kedua sisi (suami-istri) menyatu di puncaknya, tetapi ada fondasi (Allah) yang menopang kedua sisi ini.
Perjanjian pernikahan adalah campuran hukum dan cinta. Ada legalitas di dalamnya yang justru membuat pernikahan menjadi lebih intim. Mengapa demikian? Karena kemauan seseorang untuk masuk ke dalam perjanjian pernikahan yang mengikat adalah sebuah tindakan radikal yang bisa dilakukan seseorang dalam memberikan diri sepenuhnya kepada pasangannya. Inilah cinta yang sejati seperti yang digambarkan dalam Kidung Agung 8:6-7 yang adalah cinta yang berkomitmen.
Ketika 2 orang mencintai dengan tulus, tidak memanfaatkan 1 sama lain untuk sex, aktualisasi diri, atau status, mereka akan mengharapkan jaminan bahwa komitmen cinta mereka akan terus berlangsung selamanya dan tidak hanya sementara.
Apa yang membuat pernikahan bisa tetap bertahan di tengah kesulitan? Jawabannya adalah janji.
Ketika orang Farisi bertanya pada Yesus “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Mat.19). Yesus memulai jawabannya dengan mengutip Kejadian 2:24 yang adalah sebuah janji pernikahan. Artinya Yesus mengkonfirmasi bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian, sehingga perceraian dengan alasan apapun adalah pelanggaran janji pernikahan. Inilah rancangan awal Allah mengenai pernikahan. Namun, Yesus tidak menyangkal bahwa perceraian dapat terjadi karena kebebalan hati (dosa) manusia yang tidak mau bertobat.
Ini bisa menimbulkan perdebatan, tetapi Yesus memakai kata “kecuali” dalam hal zinah. Perzinahan adalah pelanggaran perjanjian yang sudah dibuat kepada Allah dan pasangan. Di dalam 1 Korintus 7:15, Paulus juga berbicara mengenai perceraian yaitu ketika seorang yang tidak percaya meninggalkan pasangannya dengan sengaja (willful desertion). Perceraian memang seharusnya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Bahkan tidak boleh menjadi pilihan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Namun, Tuhan mengerti kedalaman dosa manusia dan tetap memberikan harapan untuk mereka yang ternyata menikahi orang yang bebal hatinya dan melanggar janji pernikahannya. Walaupun perceraian adalah sesuatu yang sulit, namun pihak yang dirugikan tidak seharusnya hidup dalam kepahitan. Uniknya, Allah sendiri mengerti pahitnya bercerai ketika dalam Yeremia 3, umat-Nya berzinah dengan allah lain hingga akhirnya Allah seumpama memberikan surat perceraian pada umat-Nya.
Meski begitu, saya rasa ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan mengenai perceraian. Ada suami/istri yang berzinah atau pergi dari rumah karena kesalahan pasangannya sendiri juga. Walaupun perbuatan zinah yang dilakukan oleh suami/istri tersebut tidak bisa dibenarkan, namun pasangan yang melakukan kesalahan juga perlu mengintrospeksi dirinya. Namun, ada juga orang yang benar-benar adalah korban dari pasangan yang ternyata menutupi karakter aslinya ketika dalam proses berpacaran atau berubah 180 derajat setelah menikah. Ada orang-orang yang tidak mengetahui bahwa setelah tinggal serumah (menikah) ternyata pasangannya adalah orang yang ringan tangan (suka melakukan KDRT). Pertimbangan-pertimbangan ini harus dipikirkan matang-matang dalam memutuskan untuk bercerai. Tim Keller sendiri juga menulis dalam catatan kaki mengenai topik ini di bukunya, bahwa seorang Kristen sebaiknya tidak mengambil keputusan untuk bercerai tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan konselor pernikahan atau pendeta di gereja.
Perceraian adalah pengalaman yang sangat tidak mudah, bahkan untuk orang yang tidak percaya. Oleh sebab itulah janji antara 2 orang percaya memperkuat komitmen kita dari mengambil keputusan untuk bercerai dengan mudahnya.
Filosofi Kebebasan dari Berjanji
Orang-orang pada umumnya akan berpikir bahwa membuat sebuah janji pernikahan yang berlaku untuk selama-lamanya akan menghilangkan kebebasan dan membunuh keinginan (desires) kita.
Namun, seorang ahli etika Kristen bernama Lewis Smedes justru berpendapat bahwa berjanji adalah cara menjadi bebas karena kita membatasi pilihan kita untuk mendapat pilihan yang lebih baik di masa depan untuk berada dengan orang yang mempercayai kita dan kita percayai, sekalipun keadaan di masa depan tidak menentu.
Masa depan memang tidak menentu, seseorang bisa saja tidak punya gairah yang sama seperti ketika jatuh cinta dengan pasangannya puluhan tahun yang lalu. Ketika selama bertahun-tahun pasangan kita sudah melihat keburukan kita, mengetahui kelebihan dan kekurangan kita, namun tetap berkomitmen pada kita, ini adalah pernikahan yang ideal.
Dicintai tapi tidak dikenal memang menyenangkan tetapi dangkal.
Dikenal tapi tidak dicintai adalah ketakutan terbesar kita.
Dikenal dan dicintai rasanya seperti dicintai oleh Tuhan, ini lah yang kita harapkan. Kita juga menjadi rendah hati dari keinginan membela diri sendiri karena kita tahu kalau kita juga punya masa-masa terburuk dan kelemahan yang diketahui oleh pasangan kita.
Gairah mendorong kita untuk menikah, tetapi janji pernikahan lah yang menyempurnakan gairah itu sehingga semakin kaya dan dalam.
Jadi apa hubungan antara cinta yang romantis dan pernikahan yang membutuhkan komitmen?
Seorang filsuf Kristen terkenal Soren Kierkegaard menjelaskan bahwa hanya dengan berkomitmen pada diri kita sendiri untuk mencintai dalam tindakan, setiap hari bahkan ketika perasaan dan keadaan tidak mendukung, kita bisa benar-benar menjadi seorang yang bebas dan bukan sebuah pion yang dipaksa. Itu juga berarti kita bisa dibilang benar-benar mencintai seseorang dengan tulus.
Bagaimana menerapkan hal ini dalam kehidupan pernikahan kita?
Alkitab memerintahkan kita untuk mengasihi sesama kita manusia. Ini adalah sebuah perintah, tetapi emosi tidak dapat diperintah. Artinya, ada tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk mentaati perintah tersebut.
Tindakan kita juga tidak seharusnya dipengaruhi oleh seberapa kuat perasaan kita. Jika tidak, maka kita akan mencintai dengan tidak bijak. Misalnya orangtua yang terlalu “mencintai” anaknya malah justru memanjakannya, pasangan suami-istri yang terlalu “mencintai” malah terjebak dalam hubungan yang posesif dan toxic.
Sehingga ketika kita mengutamakan perasaan cinta dari tindakan, kita malah menghalangi kapabilitas kita untuk menjaga dan menumbuhkan hubungan cinta kita. Sebaliknya, jika kita mengutamakan tindakan dari perasaan cinta, maka kita bisa meningkatkan dan menumbuhkan hubungan cinta.
Tindakan Mencintai Dapat Memimpin Kita Pada Perasaan Cinta
C.S. Lewis dalam sebuah siaran radio pada saat perang dunia ke-2 pernah berbicara tentang bagaimana orang-orang di negaranya melihat doktrin Kristen mengenai pengampunan dan mengasihi sesama manusia itu bukan saja tidak mungkin dilakukan, tetapi juga tidak dapat diterima. Lalu bagaimana respon Lewis?
Lewis berkata bahwa memang perasaan suka atau tidak sebaiknya berjalan secara natural. Namun ada sebuah aturan sederhana, yaitu kita tidak perlu membuang waktu untuk berpikir apakah kita bisa mengasihi sesama kita atau tidak, melainkan lakukan saja seolah kita memang mengasihi mereka. Disitulah rahasianya, ketika kita bersikap seolah kita mengasihi mereka, lama kelamaan kita akan benar-benar mengasihi mereka. Jika kita menyakiti orang yang tidak kita kasihi, lama kelamaan kita akan bertambah tidak menyukainya. Kita bisa belajar untuk mengasihi sedikit demi sedikit atau setidaknya lebih mengurangi ketidaksukaan kita ketika mengharapkan kebahagiaan bagi orang lain. Lewis memberi contoh Jerman yang melakukan genosida terhadap orang Yahudi pada saat perang itu, semakin kejam kita, semakin kita membenci, begitu pula sebaliknya.
Merujuk ke pembahasan bagaimana hubungan antara emosi dan tindakan dalam pernikahan, cinta antara 2 orang tidak seharusnya didasarkan pada perasaan saja atau tindakan saja. Pernikahan adalah gabungan keduanya. Namun, antara emosi dan tindakan, lebih memungkinkan bagi kita untuk mengendalikan tindakan kita.
Jika tindakan lebih penting daripada emosi, kalau begitu bagaimana dengan Paulus yang menasihati para suami untuk mencintai istrinya (Ef.5:28)? Karena emosi tidak dapat dikontrol, kata “mencintai” disini merujuk pada tindakan. Paulus memerintahkan para suami untuk mencintai istrinya melalui tindakan.
Bukan berarti emosi tidak penting sehingga kita tidak perlu merasakan cinta terhadap seseorang untuk menikahinya. Namun, perasaan itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Ketika hal itu terjadi, kita harus ingat bahwa esensi pernikahan adalah sebuah perjanjian, komitmen, dan janji cinta di masa depan. Jadi tetaplah lakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan cinta.
Kita perlu mematikan cinta lama kita yang tidak dewasa untuk membangkitkannya kembali dan membuatnya lebih hidup. Sayangnya, cinta romantis menurut pandangan dunia menganggap bahwa jika perasaan itu hilang, maka kita sudah memilih orang yang salah dan itulah saatnya untuk berpisah. Dampaknya, terjadi perselingkuhan ketika menemukan orang lain yang bisa menghidupkan cinta romantis atau gairah itu kembali.
Sangat lah berbahaya jika kita memutuskan untuk menikahi seseorang hanya karena kita rasa dia bisa membawa keuntungan untuk diri kita sendiri. Karena, ketika kita melihat keburukan dari pasangan kita, maka kita juga akan mengurangi usaha kita menjadi pasangan yang baik untuknya. Berbeda dengan hubungan kita dengan anak yang mau tidak mau kita dipaksa untuk menerapkan konsep cinta dalam Alkitab pada mereka. Kita akan mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada anak walaupun mereka tidak memberikan apapun kepada kita, bahkan ada masa-masa dimana mereka akan memberontak.
Sehingga tidak heran ketika anak sudah mandiri, ada banyak perceraian terjadi. Demi anak, pernikahan akan membawa manfaat untuk pertumbuhan anak itu sendiri. Setelah anak mandiri, pernikahan dianggap tidak lagi bermanfaat.
Cinta Kristus Kepada Gereja-Nya
Memang sulit mengasihi ketika kita tidak lagi merasakan cinta. Ketika Paulus berkata, “Hai suami, kasihilah istrimu sama seperti Kristus mengasihi gereja dan memberikan hidup-Nya baginya.”(Ef.5:25), Paulus tidak bermaksud agar kita bertindak secara buta tanpa berpikir terlebih dahulu.
Mari bayangkan Yesus ketika disalib, Dia tidak berpikir bahwa Dia mengurbankan diri-Nya karena kita layak dicintai. Dia merasakan rasa sakit saat melihat kita menolak, mengabaikan dan mengkhianati-Nya. Tindakan cinta terbesar dalam sejarah adalah ketika Dia memilih untuk tetap melanjutkan karya penyelamatan-Nya bagi kita. Bahkan Yesus berdoa meminta pengampunan bagi kita yang tidak mengerti apa yang sudah kita perbuat kepada-Nya.
Dia mencintai kita bukan karena kita layak dicintai, melainkan karena Dia ingin membuat kita layak dicintai.
Mencintai pasangan seperti Kristus mencintai gereja-Nya dan mengurbankan diri-Nya berarti menunjukkan cinta kepada pasangan kita seberapapun buruknya.
Leave a Reply