Category: Artikel

  • Esensi Pernikahan

    Esensi Pernikahan

    Tulisan ini disadur dari buku The Meaning of Marriage – Chapter 3: The Essence of Marriage by Timothy and Kathy Keller.


    Ada banyak pasangan kekasih yang tidak ingin melanjutkan hubungan mereka ke dalam pernikahan dan memutuskan untuk menjaga status quo hubungan mereka. “Mengapa kita membutuhkan selembar kertas (sertifikat pernikahan) untuk mencintai 1 sama lain? Aku tidak butuh selembar kertas untuk mencintaimu. Ini hanya akan mempersulit kita.”, kata seseorang yang menolak lamaran pernikahan pasangannya.

    Pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang merepotkan dan menyulitkan. Memang tidak bisa dipungkiri, ada banyak konsekuensi yang harus dihadapi ketika melegalkan suatu hubungan. Tanggung jawab yang ditanggung bukan hanya kepada pasangan saja, tetapi juga kepada hukum negara dan Tuhan.

    Menurut Tim Keller, seseorang yang seharusnya sudah siap tetapi menolak untuk melegalkan hubungan dengan kekasihnya mendefinisikan “cinta” sebagai sebuah perasaan saja. Cinta diukur dari gairah atau passion yang dirasakan. Lalu apa masalahnya? Jika gairah atau passion itu hilang, mungkin karena pasangannya tidak lagi bisa memberi makan passion tersebut, tentu cinta itu juga akan hilang.

    Definisi cinta seperti ini berbeda dengan apa yang diajarkan dalam Alkitab. Menurut pandangan Alkitab, “cinta” artinya bukan seberapa banyak yang bisa kita terima tetapi soal seberapa banyak kita bisa memberikan diri kita kepada orang lain. Ini lah esensi dari cinta. Sehingga ketika seseorang berkata bahwa “Aku mencintaimu, jadi ayo kita tidak menghancurkan hubungan cinta kita dengan menikah.” Artinya “Aku sebenarnya tidak cukup mencintaimu sampai aku harus memberikan diriku untuk terikat padamu. Cintaku padamu belum sampai ke level pernikahan.”

    Alkitab memang tidak melihat cinta dalam artian emosi atau gairah yang mendalam sebagai esensi dari pernikahan, namun bukan berarti ini bertentangan dengan esensi yang sesungguhnya yaitu komitmen untuk berkorban. Lalu bagaimana hubungan cinta yang romantis dan cinta yang melayani dengan berkomitmen?

    Orang-orang masa kini beranggapan jika dalam mencintai diperlukan suatu pengorbanan atau tanggung jawab untuk dilakukan, maka itu bukanlah cinta yang sehat alias toxic. Bagi mereka cinta itu utamanya adalah untuk kepentingan pribadi.

    Transaksi atau Perjanjian?

    Bagi Alkitab, pernikahan bukanlah transaksi (consumer relation) tapi perjanjian (covenant). Bedanya adalah jika pernikahan merupakan transaksi maka pernikahan hanya bisa terjadi selama ada 1 pihak yang bisa memenuhi kebutuhan kita dengan harga yang sesuai dengan yang mau kita bayar. Jika ada pihak lain yang lebih menguntungkan kita, maka masuk akal bagi kita untuk memilih pihak lain tersebut.

    Sedangkan jika pernikahan adalah sebuah perjanjian, maka relasi itu sendiri melebihi kepentingan pribadi. Contohnya hubungan orangtua dan bayi, walaupun mengurus bayi itu melelahkan tetapi tidak mungkin orangtua membuang bayinya. Publik akan mengecam orangtua yang berbuat demikian karena bagi masyarakat, hubungan orangtua dan anak adalah sebuah perjanjian (covenant). Sayangnya konsep publik mengenai perjanjian tidak terlalu dipandang dalam relasi pernikahan. Padahal inilah esensi pernikahan, yaitu sebuah perjanjian.

    Di dalam Alkitab ada perjanjian horizontal (antar manusia) dan vertikal (antar manusia dan Allah). Perjanjian dalam pernikahan itu unik karena merupakan perjanjian yang paling dalam bagi manusia, ada aspek horizontal dan vertikal di dalamnya (Mal.2:14 ; Ams.2:17). Perjanjian pernikahan dibuat antar manusia di hadapan Allah, sehingga melanggar janji pernikahan kepada pasangan berarti juga melanggar janji kepada Allah.

    Janji pernikahan yang dijawab dengan “Ya, saya bersedia.” sebenarnya tidak diucapkan kepada satu sama lain saja antara suami dan istri. Suami dan istri bersumpah kepada Tuhan terlebih dahulu sebelum mengatakan “bersedia” kepada 1 sama lain. Perjanjian dengan dan di hadapan Allah memperkuat pasangan untuk berjanji 1 sama lain seperti gambaran sebuah bangunan dengan struktur berbentuk A, kedua sisi (suami-istri) menyatu di puncaknya, tetapi ada fondasi (Allah) yang menopang kedua sisi ini.

    Perjanjian pernikahan adalah campuran hukum dan cinta. Ada legalitas di dalamnya yang justru membuat pernikahan menjadi lebih intim. Mengapa demikian? Karena kemauan seseorang untuk masuk ke dalam perjanjian pernikahan yang mengikat adalah sebuah tindakan radikal yang bisa dilakukan seseorang dalam memberikan diri sepenuhnya kepada pasangannya. Inilah cinta yang sejati seperti yang digambarkan dalam Kidung Agung 8:6-7 yang adalah cinta yang berkomitmen.

    Ketika 2 orang mencintai dengan tulus, tidak memanfaatkan 1 sama lain untuk sex, aktualisasi diri, atau status, mereka akan mengharapkan jaminan bahwa komitmen cinta mereka akan terus berlangsung selamanya dan tidak hanya sementara.

    Apa yang membuat pernikahan bisa tetap bertahan di tengah kesulitan? Jawabannya adalah janji.

    Ketika orang Farisi bertanya pada Yesus “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (Mat.19). Yesus memulai jawabannya dengan mengutip Kejadian 2:24 yang adalah sebuah janji pernikahan. Artinya Yesus mengkonfirmasi bahwa pernikahan adalah sebuah perjanjian, sehingga perceraian dengan alasan apapun adalah pelanggaran janji pernikahan. Inilah rancangan awal Allah mengenai pernikahan. Namun, Yesus tidak menyangkal bahwa perceraian dapat terjadi karena kebebalan hati (dosa) manusia yang tidak mau bertobat.

    Ini bisa menimbulkan perdebatan, tetapi Yesus memakai kata “kecuali” dalam hal zinah. Perzinahan adalah pelanggaran perjanjian yang sudah dibuat kepada Allah dan pasangan. Di dalam 1 Korintus 7:15, Paulus juga berbicara mengenai perceraian yaitu ketika seorang yang tidak percaya meninggalkan pasangannya dengan sengaja (willful desertion). Perceraian memang seharusnya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Bahkan tidak boleh menjadi pilihan pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Namun, Tuhan mengerti kedalaman dosa manusia dan tetap memberikan harapan untuk mereka yang ternyata menikahi orang yang bebal hatinya dan melanggar janji pernikahannya. Walaupun perceraian adalah sesuatu yang sulit, namun pihak yang dirugikan tidak seharusnya hidup dalam kepahitan. Uniknya, Allah sendiri mengerti pahitnya bercerai ketika dalam Yeremia 3, umat-Nya berzinah dengan allah lain hingga akhirnya Allah seumpama memberikan surat perceraian pada umat-Nya.

    Meski begitu, saya rasa ada banyak pertimbangan yang harus dipikirkan mengenai perceraian. Ada suami/istri yang berzinah atau pergi dari rumah karena kesalahan pasangannya sendiri juga. Walaupun perbuatan zinah yang dilakukan oleh suami/istri tersebut tidak bisa dibenarkan, namun pasangan yang melakukan kesalahan juga perlu mengintrospeksi dirinya. Namun, ada juga orang yang benar-benar adalah korban dari pasangan yang ternyata menutupi karakter aslinya ketika dalam proses berpacaran atau berubah 180 derajat setelah menikah. Ada orang-orang yang tidak mengetahui bahwa setelah tinggal serumah (menikah) ternyata pasangannya adalah orang yang ringan tangan (suka melakukan KDRT). Pertimbangan-pertimbangan ini harus dipikirkan matang-matang dalam memutuskan untuk bercerai. Tim Keller sendiri juga menulis dalam catatan kaki mengenai topik ini di bukunya, bahwa seorang Kristen sebaiknya tidak mengambil keputusan untuk bercerai tanpa membicarakannya terlebih dahulu dengan konselor pernikahan atau pendeta di gereja.

    Perceraian adalah pengalaman yang sangat tidak mudah, bahkan untuk orang yang tidak percaya. Oleh sebab itulah janji antara 2 orang percaya memperkuat komitmen kita dari mengambil keputusan untuk bercerai dengan mudahnya.

    Filosofi Kebebasan dari Berjanji

    Orang-orang pada umumnya akan berpikir bahwa membuat sebuah janji pernikahan yang berlaku untuk selama-lamanya akan menghilangkan kebebasan dan membunuh keinginan (desires) kita.

    Namun, seorang ahli etika Kristen bernama Lewis Smedes justru berpendapat bahwa berjanji adalah cara menjadi bebas karena kita membatasi pilihan kita untuk mendapat pilihan yang lebih baik di masa depan untuk berada dengan orang yang mempercayai kita dan kita percayai, sekalipun keadaan di masa depan tidak menentu.

    Masa depan memang tidak menentu, seseorang bisa saja tidak punya gairah yang sama seperti ketika jatuh cinta dengan pasangannya puluhan tahun yang lalu. Ketika selama bertahun-tahun pasangan kita sudah melihat keburukan kita, mengetahui kelebihan dan kekurangan kita, namun tetap berkomitmen pada kita, ini adalah pernikahan yang ideal.

    Dicintai tapi tidak dikenal memang menyenangkan tetapi dangkal.

    Dikenal tapi tidak dicintai adalah ketakutan terbesar kita.

    Dikenal dan dicintai rasanya seperti dicintai oleh Tuhan, ini lah yang kita harapkan. Kita juga menjadi rendah hati dari keinginan membela diri sendiri karena kita tahu kalau kita juga punya masa-masa terburuk dan kelemahan yang diketahui oleh pasangan kita.

    Gairah mendorong kita untuk menikah, tetapi janji pernikahan lah yang menyempurnakan gairah itu sehingga semakin kaya dan dalam.

    Jadi apa hubungan antara cinta yang romantis dan pernikahan yang membutuhkan komitmen?

    Seorang filsuf Kristen terkenal Soren Kierkegaard menjelaskan bahwa hanya dengan berkomitmen pada diri kita sendiri untuk mencintai dalam tindakan, setiap hari bahkan ketika perasaan dan keadaan tidak mendukung, kita bisa benar-benar menjadi seorang yang bebas dan bukan sebuah pion yang dipaksa. Itu juga berarti kita bisa dibilang benar-benar mencintai seseorang dengan tulus.

    Bagaimana menerapkan hal ini dalam kehidupan pernikahan kita?

    Alkitab memerintahkan kita untuk mengasihi sesama kita manusia. Ini adalah sebuah perintah, tetapi emosi tidak dapat diperintah. Artinya, ada tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk mentaati perintah tersebut.

    Tindakan kita juga tidak seharusnya dipengaruhi oleh seberapa kuat perasaan kita. Jika tidak, maka kita akan mencintai dengan tidak bijak. Misalnya orangtua yang terlalu “mencintai” anaknya malah justru memanjakannya, pasangan suami-istri yang terlalu “mencintai” malah terjebak dalam hubungan yang posesif dan toxic.

    Sehingga ketika kita mengutamakan perasaan cinta dari tindakan, kita malah menghalangi kapabilitas kita untuk menjaga dan menumbuhkan hubungan cinta kita. Sebaliknya, jika kita mengutamakan tindakan dari perasaan cinta, maka kita bisa meningkatkan dan menumbuhkan hubungan cinta.

    Tindakan Mencintai Dapat Memimpin Kita Pada Perasaan Cinta

    C.S. Lewis dalam sebuah siaran radio pada saat perang dunia ke-2 pernah berbicara tentang bagaimana orang-orang di negaranya melihat doktrin Kristen mengenai pengampunan dan mengasihi sesama manusia itu bukan saja tidak mungkin dilakukan, tetapi juga tidak dapat diterima. Lalu bagaimana respon Lewis?

    Lewis berkata bahwa memang perasaan suka atau tidak sebaiknya berjalan secara natural. Namun ada sebuah aturan sederhana, yaitu kita tidak perlu membuang waktu untuk berpikir apakah kita bisa mengasihi sesama kita atau tidak, melainkan lakukan saja seolah kita memang mengasihi mereka. Disitulah rahasianya, ketika kita bersikap seolah kita mengasihi mereka, lama kelamaan kita akan benar-benar mengasihi mereka. Jika kita menyakiti orang yang tidak kita kasihi, lama kelamaan kita akan bertambah tidak menyukainya. Kita bisa belajar untuk mengasihi sedikit demi sedikit atau setidaknya lebih mengurangi ketidaksukaan kita ketika mengharapkan kebahagiaan bagi orang lain. Lewis memberi contoh Jerman yang melakukan genosida terhadap orang Yahudi pada saat perang itu, semakin kejam kita, semakin kita membenci, begitu pula sebaliknya.

    Merujuk ke pembahasan bagaimana hubungan antara emosi dan tindakan dalam pernikahan, cinta antara 2 orang tidak seharusnya didasarkan pada perasaan saja atau tindakan saja. Pernikahan adalah gabungan keduanya. Namun, antara emosi dan tindakan, lebih memungkinkan bagi kita untuk mengendalikan tindakan kita.

    Jika tindakan lebih penting daripada emosi, kalau begitu bagaimana dengan Paulus yang menasihati para suami untuk mencintai istrinya (Ef.5:28)? Karena emosi tidak dapat dikontrol, kata “mencintai” disini merujuk pada tindakan. Paulus memerintahkan para suami untuk mencintai istrinya melalui tindakan.

    Bukan berarti emosi tidak penting sehingga kita tidak perlu merasakan cinta terhadap seseorang untuk menikahinya. Namun, perasaan itu akan hilang seiring berjalannya waktu. Ketika hal itu terjadi, kita harus ingat bahwa esensi pernikahan adalah sebuah perjanjian, komitmen, dan janji cinta di masa depan. Jadi tetaplah lakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan cinta.

    Kita perlu mematikan cinta lama kita yang tidak dewasa untuk membangkitkannya kembali dan membuatnya lebih hidup. Sayangnya, cinta romantis menurut pandangan dunia menganggap bahwa jika perasaan itu hilang, maka kita sudah memilih orang yang salah dan itulah saatnya untuk berpisah. Dampaknya, terjadi perselingkuhan ketika menemukan orang lain yang bisa menghidupkan cinta romantis atau gairah itu kembali.

    Sangat lah berbahaya jika kita memutuskan untuk menikahi seseorang hanya karena kita rasa dia bisa membawa keuntungan untuk diri kita sendiri. Karena, ketika kita melihat keburukan dari pasangan kita, maka kita juga akan mengurangi usaha kita menjadi pasangan yang baik untuknya. Berbeda dengan hubungan kita dengan anak yang mau tidak mau kita dipaksa untuk menerapkan konsep cinta dalam Alkitab pada mereka. Kita akan mencurahkan perhatian dan kasih sayang pada anak walaupun mereka tidak memberikan apapun kepada kita, bahkan ada masa-masa dimana mereka akan memberontak.

    Sehingga tidak heran ketika anak sudah mandiri, ada banyak perceraian terjadi. Demi anak, pernikahan akan membawa manfaat untuk pertumbuhan anak itu sendiri. Setelah anak mandiri, pernikahan dianggap tidak lagi bermanfaat.

    Cinta Kristus Kepada Gereja-Nya

    Memang sulit mengasihi ketika kita tidak lagi merasakan cinta. Ketika Paulus berkata, “Hai suami, kasihilah istrimu sama seperti Kristus mengasihi gereja dan memberikan hidup-Nya baginya.”(Ef.5:25), Paulus tidak bermaksud agar kita bertindak secara buta tanpa berpikir terlebih dahulu.

    Mari bayangkan Yesus ketika disalib, Dia tidak berpikir bahwa Dia mengurbankan diri-Nya karena kita layak dicintai. Dia merasakan rasa sakit saat melihat kita menolak, mengabaikan dan mengkhianati-Nya. Tindakan cinta terbesar dalam sejarah adalah ketika Dia memilih untuk tetap melanjutkan karya penyelamatan-Nya bagi kita. Bahkan Yesus berdoa meminta pengampunan bagi kita yang tidak mengerti apa yang sudah kita perbuat kepada-Nya.

    Dia mencintai kita bukan karena kita layak dicintai, melainkan karena Dia ingin membuat kita layak dicintai.

    Mencintai pasangan seperti Kristus mencintai gereja-Nya dan mengurbankan diri-Nya berarti menunjukkan cinta kepada pasangan kita seberapapun buruknya.

  • Something to Die for

    Something to Die for

    Orang-orang sering bilang, masa-masa youth adalah masa-masa yang paling indah dan ngangenin. Secara, youth itu adalah masa dimana anak-anak muda mulai mencari jati diri, punya passion yang menggebu-gebu, pengen coba hal-hal baru, punya energi yang sangat besar untuk melakukan sesuatu, kreatifitas yang sedang memuncak, dan sangat idealis (menjadi agen perubahan). Ternyata youth itu bukan cuma mereka yang punya badan kuat, kulit kencang, dan rambut tanpa uban. Jadi apa itu youth? Apa sih yang Alkitab katakan tentang youth? Yuk, kita melihat dua orang youth yang diceritakan dalam Alkitab.

    Salomo

    Salomo adalah seorang youth yang sangat idealis (terbukti ketika dia meminta hikmat kepada Allah di 1 Raja-raja 6). Alkitab juga mencatat bahwa dia membangun bait Allah yang sangat luar biasa megahnya. Jikalau bukan karena jiwa muda yang menggebu-gebu untuk membuat suatu terobosan, pasti dia tidak akan repot-repot untuk berkomitmen mengambil bagian dalam project yang super megah ini.

    Paulus

    Paulus tentu saja adalah seorang muda yang sangat idealis dalam menganiaya orang-orang Kristen, sangat pandai dalam menekuni hukum taurat, dan begitu vokal dalam menyuarakan pendapatnya. Syukurlah dia mengalami pertobatan, sehingga idealismenya kini adalah untuk memberitakan Injil tak peduli penderitaan dan penganiayaan yang dia alami.

    Dua-duanya

    Wow… dua orang ini keren banget pastinya. Akan tetapi ada yang berbeda di akhir hidup mereka. Salomo, mengawali hidupnya dengan jiwa muda yang begitu terarah, tetapi di akhir hidupnya dia menyatakan dalam kitab Pengkhotbah bahwa dirinya kini sudah tua dan hidupnya sia-sia saja semuanya (Pengkhotbah 12:8). Sedangkan Paulus, mengawali hidupnya dengan kesia-siaan mengejar ambisi semata tanpa tujuan yang kekal, tetapi di akhir hdupnya menunjukkan bahwa hidupnya tidak sia-sia karena dia telah mengakhirinya dengan baik dalam Kristus. Lebih lanjut lagi, dia yakin betul bahwa ada mahkota kebenaran yang menanti dalam kehidupan yang kekal (2 Timotius 4:7-8)

    Sebenarnya apa yang membedakan dua tokoh ini? Tujuan hidup! Salomo membiarkan hidupnya yang baik mengalir begitu saja demi kesenangan pribadi yang hanya sesaat yaitu wanita (1 Raja-raja 11:1-13). Sedangkan Paulus tahu benar bahwa tujuan hidupnya bukanlah dirinya lagi. Dia sudah selesai dengan dirinya! Tetapi Kristus yang kini hidup di dalam dirinya (Galatia 2:20). Paulus jelas arah hidupnya dan memaksimalkan waktu hidupnya untuk melakukan panggilan Allah.

    Youth, bukankah hidup ini begitu singkat? Kemudaan kita hanya sebentar saja. Ia berlomba dengan waktu. Namun, jiwa muda tidak akan lekang oleh waktu. Selama kamu tahu bahwa hidup ini memiliki sebuah tujuan yang akhirnya tidak akan sia-sia dan layak diperjuangkan, kamu sesungguhnya adalah seorang youth!

    Youthful life means living for something worth to die for!

    (Ditulis untuk Zine Youth GKI Jatinegara)

  • Perkataan Baik untuk Hati yang Bungkuk

    Perkataan Baik untuk Hati yang Bungkuk

    Amsal 12:25 (TB) “Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia.”

    Pernah mendengar istilah psikosomatis? Psikosomatis adalah penyakit atau keluhan fisik yang timbul karena masalah psikologis, misalnya takut, cemas, kuatir, dan stress. Mungkin beberapa di antara kita ada yang sering mengalaminya. Misalkan, sesaat sebelum presentasi, kita tiba-tiba sakit perut, keringat dingin, atau mual-mual. Bisa jadi itu adalah gejala psikosomatis. Psikosomatis yang pasti bukan suatu hal yang menyenangkan, malah membuat kita rugi.

    Kita seringkali dikejutkan dengan berita-berita bahwa ada banyak sekali orang-orang yang mengakhiri hidupnya sendiri. Mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya lantaran merasa tidak sanggup menghadapi hari-hari depan yang sudah bisa dipastikan akan penuh dengan masalah. Kalau satu masalah saja sudah cukup membuat kita tidak nyaman, apalagi sambil memikirkan apa yang akan harus kita hadapi selanjutnya. Tak heran Yesus berkata di Matius 6:27, “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”

    Sesungguhnya jika kita memikirkan masalah-masalah di depan, yang ada justru kita akan merasa semakin tertekan ketika kita merasa kuatir, takut, dan cemas. Yesus berkata bahwa kekuatiran itu tidak akan menambah umurmu, sehasta saja pun tidak.

    Masalahnya, penderitaan dan masalah tidak akan pernah habis dalam hidup kita. Bagaimana tugas nanti? Bagaimana ujian nanti? Bagaimana ujian masuk PTN nanti? Bagaimana kuliah nanti? Bagaimana skripsi nanti? Bagaimana pacar? Kerja? Menikah? Anak? Pensiun? Dan seterusnya.

    Kekuatiran itu memang benar-benar dapat membungkukkan orang seperti yang dikatakan pengamsal. Membuat hidup yang sudah susah jadi tambah susah. Siapa di dunia ini yang tidak pernah punya masalah? Kenyataannya di sepanjang hidup kita, kita akan terus menemui yang namanya masalah. Entah itu bagi si miskin, si kaya, si kuper, si supel, dan sebagainya.

    Tentu wajar, jika kita sebagai manusia yang normal dapat merasakan kekuatiran. Namun, hal itu tidak ada gunanya bagi kita walaupun kita tidak dapat menghilangkan rasa kekuatiran. Lalu apa yang harus kita perbuat? Sebuah buku berjudul Tinggal Dalam Hadirat-Mu yang ditulis oleh Pdt. Yohan Candawasa berkata seperti ini,

    “Ketika badai persoalan menghantam hidup kita, sangatlah alamiah jika kita menginginkan hal itu cepat berlalu. Kita beranggapan bahwa dengan berlalunya badai, maka ketakutan dan kekuatiran kita juga akan berlalu. Tetapi realitanya tidaklah demikian. Setelah badai itu pergi, ternyata akan datang persoalan lainnya. Oleh sebab itu hal yang paling utama yang kita butuhkan untuk kedamaian hidup kita bukanlah tiadanya badai (jelas tidak masuk akal, tanda orang hidup adalah masalah) melainkan Yesus Kristus sendiri. Ia lah damai sejahtera kita. Janjinya kepada kita bukanlah hidup tanpa badai tetapi kehadiran-Nya bersama kita di dalam badai. Damai yang sejati tidak kita temukan dalam situasi dan kondisi melainkan dalam satu pribadi yaitu Yesus Kristus. Semakin kita dapat menyerahkan apa yang mengganggu kita kepadanya, semakin kita akan mengalami damai-Nya.”

    Lagi-lagi pengamsal dengan tepat melanjutkan pemikirannya yang sangat masuk akal itu, “perkataan yang baik menggembirakan orang”. Perkataan baik itu disampaikan melalui Yesus kepada kita yang seringkali merasa “bungkuk”.

    Salah satu perkataan baik dari Yesus adalah di Matius 6:25-34. Percayakah kamu bahwa kehadiran Tuhan saja cukup bagi kita? Seorang ibu pernah bercerita tentang anaknya. Dia bercerita bahwa anaknya yang masih SD pernah merasa sangat kuatir dalam hidupnya. Anaknya sampai-sampai pernah bertanya pada ibunya, “Ma, apakah besok adek bisa makan? Ma, apakah besok ada baju yang adek bisa pakai?”

    Kedengarannya konyol, tentu saja ibunya pasti sudah menyiapkan kebutuhan sehari-hari anaknya. Namun, ini adalah gambaran diri kita yang sesungguhnya di hadapan Allah. Kita kuatir dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dikuatirkan. Kita bahkan mencurahkan rasa kekuatiran kita kepada Sang Penyedia segala kebutuhan kita.

    Ketika kita merasa kuatir, bukankah Tuhan tahu apa yang kita kuatirkan? Tuhan kita maha tahu, Dia bagaikan orangtua yang sudah mengetahui kebutuhan anak-anakNya dan sudah menyiapkan segalanya. Walaupun terkadang kita sendiri bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya kita butuhkan. Kita merasa bahwa kita membutuhkan ini, tapi Tuhan menjawab tidak. Kita merasa bahwa kita membutuhkan itu, tapi Tuhan menjawab belum. Semua itu Dia lakukan karena Dia tahu apa kebutuhan kita yang sesungguhnya.

    Jikalau ada seseorang yang berkata kepada kita bahwa presiden akan datang ke rumah kita untuk memberi hadiah, kita pasti tidak akan percaya. Namun, Yesus berkata sendiri bahwa dia yang akan membawa hadiah itu bagi kita.

    Matius 6:32b (TB) “Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.”

    Tuhan sendiri yang akan menyediakan segala yang kita butuhkan. Kalau bunga yang tidak berusaha apa-apa, burung yang hidupnya bebas tanpa aturan, rumput di padang yang tidak berarti dan diinjak-injak orang saja Tuhan pelihara, bukankah seharusnya terlebih lagi kita? Kita adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia.

    Hidup ini memang selalu penuh dengan masalah. Matius 6:34 “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” Sehingga, percuma saja jika kita merasa kuatir akan hari esok yang memang sudah pasti akan ada masalah baru yang kita hadapi.

    Kehadiran Yesus menjadi yang terpenting di dalam hidup ini. Matius 6:33 “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Sehingga seharusnya kehendak-Nya menjadi yang utama dalam hidup kita.

    Kekuatiran itu “membungkukkan” kita. Namun, ada satu perkataan terbaik yang menggembirakan, yaitu Yesus telah datang ke dunia ini untuk membawa kedamaian bagi hati kita yang tidak bisa beristirahat karena kekuatiran. Jikalau saat ini engkau sedang merasa kuatir akan masa depanmu, ingatlah bahwa Yesus memberikan jaminan bahwa apa yang terpenting bagi kita, yaitu kehadiran-Nya, akan selalu bersama kita sepanjang hidup ini.

    Worry: Glancing at God while gazing at circumstances
    Trust: Glancing at circumstances while gazing at God.

    – Matt Smethurst