Lukisan di atas dilukis oleh Pieter Bruegel, seniman dari Belanda pada tahun 1568. Hidupnya masih seangkatan dengan Martin Luther, bapak reformasi Kristen. Judul dari lukisan ini adalah ‘THE BLIND LEADING THE BLIND’ (Si Buta yang Memimpin Si Buta).
Saya teringat akan lukisan ini ketika membaca Matius 23:13-39. Ini adalah kisah mengenai kecaman Yesus secara langsung kepada orang-orang Farisi dan ahli taurat alias para pemimpin bait suci, orang-orang yang seharusnya mengajari dan membimbing umat. Berkali-kali Yesus menyebut mereka buta. Mengapa bisa demikian? Setidaknya ada 8 perkataan ‘celakalah kamu…’ (hanya 7 dalam Alkitab internasional) yang dicatat di perikop ini mengenai kelakuan orang Farisi dan ahli taurat yang dikecam Yesus:
- Ayat 13. Mereka tidak melakukan kehendak Tuhan dan tidak membimbing umat untuk melakukan kehendak Tuhan juga.
- Ayat 14. Ini tidak dimasukkan dalam Alkitab internasional, mereka menipu para janda dengan mengambil rumah mereka. Kemudian mereka juga menipu publik dengan berpura-pura suci melalui doa yang panjang-panjang.
- Ayat 15. Mereka menobatkan orang hanya untuk menjadi pengikut mereka (biasanya orang non-Yahudi yang menunjukan ketertarikan kepada agama), bahkan setelah bertobat pun mereka tidak membimbing umat untuk berjalan di jalan yang benar, malah orang itu menjadi semakin jahat ketimbang sebelum bertobat. Dalam konteks non-Yahudi yang bertobat, mereka tidak diajari bahwa keselamatan adalah milik seluruh bangsa bukan hanya milik orang Yahudi saja.
- Ayat 16-22. Mereka menyesatkan umat dengan mengajari bahwa emas di bait suci lebih penting daripada bait suci itu sendiri. Ini tentu mirip dengan teologi kemakmuran. Sementara Yesus menekankan bahwa jauh lebih penting Allah yang berdiam di bait suci tersebut.
- Ayat 23-24. Mereka rajin melakukan ritual keagamaan seperti persepuluhan, tetapi mereka tidak mempedulikan keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Padahal itu adalah inti dari hukum taurat. Sebagai pemimpin agama, mereka gagal melihat yang terpenting yang Allah mau ajarkan melalui kitab suci (hukum taurat pada zaman itu), mereka hanya melihat dari permukaan. Ini adalah kesalahan fatal dari pemimpin umat. Bahkan Yesus menyindir mereka seperti orang-orang yang menyingkirkan nyamuk (qalmā) yang begitu kecil dari minuman mereka, tetapi unta (gamlāʾ) yang besar yang ada di dalam minuman mereka justru malah mereka minum. Nyamuk dan unta adalah binatang-binatang yang haram dikonsumsi. Artinya adalah mereka hanya berusaha untuk taat dalam hal-hal yang lahiriah dan hanya di permukaan (misalnya persepuluhan, doa, dan lain-lain), namun yang lebih dalam dan lebih penting dari itu mereka abaikan.
- Ayat 25-26. Orang Farisi dan ahli Taurat digambarkan sebagai orang-orang yang membersihkan bagian luar peralatan bait suci namun yang di dalamnya malah tidak dibersihkan. Yesus mengecam mereka sebagai orang yang melayani di bait suci namun hati mereka sebenarnya penuh dengan kebusukan. Mereka hanya kelihatan bersih dari luarnya saja seperti peralatan bait suci itu. Setiap pelayanan mereka menjadi tidak berarti bagi Allah.
- Ayat 27-28. Sekali lagi Yesus mengecam mereka dengan perumpamaan lain. Seperti kuburan yang terawat, dihiasi, dan dibersihkan namun di dalamnya dipenuhi tulang beluang dan kotoran. Pada waktu itu seseorang bisa menjadi najis jika bayangannya saja terkena mayat/kuburan, sehingga kuburan pada waktu itu dilabur putih untuk menutupi ‘kenajisan’. Artinya mereka hanya terlihat baik dari luar namun sebenarnya mereka adalah orang-orang munafik karena di dalam hati mereka ada banyak kejahatan. Mereka kelihatan suci dari luar, tetapi di dalamnya najis.
- Ayat 29-32. Mereka membuat makam-makam nabi menjadi indah dan bahkan berkata dengan percaya diri bahwa jikalau mereka ada di zaman nabi-nabi tersebut, mereka tidak akan ikut membunuh para nabi itu. Yesus mengecam mereka karena Yesus mengetahui isi hati mereka. Yesus mengatakan bahwa mereka adalah keturunan para pembunuh nabi-nabi tersebut, bisa hal ini bisa diartikan secara harafiah namun bisa juga karena mereka akan melakukan hal yang sama dengan nenek moyang mereka. Yesus tahu bahwa mereka pun akan membunuh Yesus setelah ini. Bahkan dengan sarkas Yesus menyuruh mereka menyelesaikan apa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka di ayat 32 untuk membunuh Yesus.
Yesus melanjutkan kecaman ini dengan menubuatkan apa yang akan dialami oleh pengikut-pengikut Yesus. Para nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat yang diutus Yesus akan dibunuh, disalibkan dan dianiaya oleh mereka. Tentunya ini adalah tentang para rasul dan orang-orang Kristen mula-mula. Yesus begitu menekankan bahwa angkatan ini akan menanggung penumpahan darah martir antara Habel (martir pertama yang dicatat dalam Alkitab) hingga Zakaria (martir terakhir dalam Perjanjian Lama). Mengapa? Karena angkatan ini akan melakukan pembunuhan yang terbesar sepanjang sejarah, yaitu membunuh Anak Allah itu sendiri.
Gambaran di atas mengenai orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat benar-benar menggambarkan apa yang dilukis oleh seniman Pieter Bruegel.
Mereka adalah sekumpulan orang buta yang berjalan menjauhi gereja di latar lukisan ini. Lukisan ini sebenarnya adalah sebuah sindiran bagi mereka yang buta secara rohani. Lihatlah perubahan ekspresi antara orang-orang buta ini. Orang buta yang terjatuh baru menyadari dan mungkin juga menyesali bahwa dia ada di jalur yang salah, bukan tempat yang aman yang mereka tuju. Ekspresi orang buta di tengah seakan mulai merasakan ada yang aneh, sedangkan orang buta di belakang yang sedang tersenyum menyangka bahwa ia ada di jalan yang benar. Namun, yang paling menarik adalah kita bisa melihat orang buta kedua dari sebelah kiri yang memakai jubah dan kalung salib, ternyata dia adalah gambaran seorang pemimpin gereja pada zaman itu. Ini adalah sarkasme Pieter Bruegel bahwa pemimpin gereja pun bisa jadi adalah orang yang buta rohani dan memimpin umat yang juga buta. Seperti para orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang dikecam Yesus bahwa mereka buta secara rohani dan menyesatkan umat yang mereka pimpin.
Walaupun Yesus seakan marah melalui kecaman-kecaman ini, Yesus menutup pasal ini dengan sebuah ratapan yang lebih mengekspresikan sebuah kesedihan daripada kemarahan. Di ayat 37—39, Yesus berkata bahwa berkali-kali Ia rindu mengumpulkan anak-anak Yerusalem seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya tetapi mereka tidak mau. Ini menunjukkan bahwa Yesus begitu rindu menolong orang-orang di Yerusalem, membimbing, dan mengajari mereka spiritualitas yang benar agar mereka tidak lagi buta rohani, namun mereka menolak Yesus. Yesus juga menubuatkan bahwa bait Allah akan dihancurkan (yang benar-benar terjadi di tahun 70) dan manusia tidak akan melihat Yesus lagi (secara fisik) sampai kedatangan Yesus yang kedua kalinya.
Apa yang bisa kita pelajari dari renungan ini?
Pertama, sebagai seorang pemimpin rohani, pemimpin kelompok kecil/KTB, pelayan, majelis di gereja atau persekutuan, apakah motivasi kita dalam melayani? Kita bisa jadi seperti orang Farisi dan ahli Taurat, rajin melakukan pelayanan, memberikan persepuluhan, dan sebagainya. Namun, apakah motivasi kita murni? Ataukah kita berharap orang lain memperhatikan dan memuji kita? Kesombongan rohani rentan dialami oleh para pelayan Kristus dan jangan-jangan kita malah mengabaikan kasih terhadap sesama karena terlalu focus pada pelayanan. Belakangan ini, saya sering membaca tentang istilah small-town syndrome, ini adalah kondisi psikologis orang yang terperangkap di dalam komunitas yang mereka ikuti sehingga mereka sulit beradaptasi di luar komunitas mereka. Faktanya ini rentan terjadi bagi para aktivis gereja. Banyak orang Kristen yang hidupnya hanya di seputar gereja. Hampir setiap hari ada di gereja dengan segala kegiatan, dari doa pagi hingga malam, dari Senin hingga Minggu, dari belajar hingga mengajar, dari berteman hingga bermusuhan. Mereka bisa sebut dan saling mengingatkan prinsip menolong orang-orang, tapi mereka terperangkap di dunia gereja dan tidak pernah berada di tengah orang-orang luar untuk melakukan apa yang mereka pelajari di dalam gereja seperti menolong orang yang susah, menunjukkan Kristus dalam pekerjaan mereka, dan lain-lain. Saya melihat orang-orang Farisi dan ahli Taurat pun adalah orang-orang yang mengalami small-town syndrome, mereka hanya sibuk di dalam dan melupakan yang di luar. Kiranya kita sebagai orang-orang yang juga aktivis gereja/parachurch, tidak terjebak dalam small-town syndrome. Masih banyak orang-orang di luar komunitas kita yang perlu untuk dikasihi dan ditolong.
Kedua, apakah rasa aman kita diletakkan kepada uang dan bukan kepada Kristus sebagai yang utama? Orang Farisi dan ahli Taurat mengajarkan bahwa bersumpah demi emas bait suci lebih penting daripada bait suci itu sendiri. Apakah bagi kita uang lebih penting daripada rumah Tuhan? Uang lebih penting kah daripada pengabdian kita di kepada Tuhan? Mungkin tidak hanya pada uang, kita meletakkan rasa aman kita juga pada pasangan hidup, suami/istri/anak/orangtua, tempat tinggal, dan sebagainya. Injil berkata bahwa Kristus lah rasa aman kita yang sejati. Bukannya uang, pasangan hidup, keluarga, tempat tinggal, dan sebagainya itu tidak penting, kita juga tetap membutuhkannya selama masih hidup di dunia ini, namun hidup kita di dunia ini hanya bersifat sementara. Mari berfokus bukan kepada apa yang ada di dunia ini yang akan hilang, tetapi mari berfokus kepada kekekalan. Jikalau memang Tuhan percayakan uang, keluarga, dan sebagainya mari mengerjakannya dengan sebaik mungkin dengan menetapkan rasa aman kita tetap kepada Kristus dan kekekalan yang dijanjikan kepada kita.
Ketiga, apakah kita buta secara rohani dan memimpin orang lain ke arah yang salah karena kemunafikan kita? Bisa jadi kita menjadi batu sandungan ketika anak-anak rohani kita melihat kehidupan kita. Memang tidak ada manusia yang sempurna, setiap kita mengalami jatuh bangun rohani. Namun, maukah kita dengan rendah hati jujur dan mengakui setiap dosa kita di hadapan Allah dan terbuka menceritakannya juga kepada anak-anak rohani atau jemaat yang kita layani? Yesus rindu mengumpulkan kita seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya untuk membimbing dan menuntun kita. Pertanyaannya apakah kita mau, atau kita menolak seperti orang-orang Yahudi yang menolak Yesus? Melalui Injil, dosa kita telah ditebus. Mari sekarang kita meresponi Injil dengan menyerahkan hidup kita dibimbing dan dituntun oleh Tuhan Yesus.
Leave a Reply