Category: Opini

Straight thoughts blurted out from my bittersweet experience or viral things around me. Some of the topics are sensitive or controversial. You don’t have to agree with my opinion since every each of us have our own stand point in viewing something. You can contact me to give me your thoughts or feedback. And we can still respect each other’s thoughts without trying to influence one another or force each other to change our stand point.

  • Angkat Gadgetmu dan Lawan Terorisme!

    Angkat Gadgetmu dan Lawan Terorisme!

    Hari itu adalah hari dimana seharusnya saya merasa sangat bersukacita, tepat 25 tahun yang lalu saya diijinkan untuk melihat dunia ini. Namun, hari itu terasa berbeda. Sama seperti apa yang terjadi 20 tahun yang lalu ketika saya harus melihat keluarga saya sedang ketakutan bersembunyi di dalam rumah. Nalarku yang saat itu baru berusia 5 tahun bertanya-tanya dengan polosnya. “Hey, ini kan hari ulang tahunku, kenapa muka papa dan mama terlihat sangat pucat? Dimana kue ulang tahunku? Apa kita tidak merayakannya hari ini?” Itulah yang seingat saya, saya pikirkan tepat 20 tahun yang lalu, 13 Mei 1998.

    Hari itu, 13 Mei 2018, nalar saya yang baru saja berusia 25 tahun kembali bertanya-tanya,”Kenapa?” sambil berusaha memproses berita rentetan bom yang meledakkan tiga gereja di Surabaya. Nyawa 13 orang tidak bersalah dan keberadaannya tidak merugikan siapapun, mereka yang masih ingin hidup dan memiliki cita-cita jika sudah besar nanti, direnggut paksa. Selama ini saya berpikir bahwa terorisme itu hanya dilakukan oleh orang-orang tidak berpendidikan dan tidak ‘berada’. Mereka yang sudah merasa tidak punya harapan lagi akan kehidupan di dunia ini yang begitu keras. Hal ini begitu sulit dinalar dalam pikiran saya karena nyatanya pelaku peledak bom di tiga gereja ini justru mereka yang berpendidikan dan cukup berada. Setidaknya mereka pasti lebih berpendidikan dibanding ayah saya yang hanya tamatan SMK dan ibu saya yang tamat SD saja tidak. Rumah mereka –seperti yang diperlihatkan di berita-berita– juga pasti lebih luas dibandingkan rumah saya di Jatinegara, sebuah daerah di Jakarta Timur, lingkungan pasar yang tingkat kriminalitasnya tergolong tinggi. Dengan dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan yang begitu didambakan oleh mereka yang tidak dapat memiliki anak, bukankah keluarga ini sebenarnya sangat memiliki pengharapan akan masa depan yang didambakan banyak orang? Ada begitu banyak keluarga yang tidak seberuntung mereka, bukan?

    Namun, hal yang lebih mengusik nalar dan nurani saya adalah kenyataan bahwa anak-anak juga terlibat dalam peristiwa ini. Apa yang diajarkan kepada anak-anak itu sehingga mereka tidak takut? Apa sebenarnya mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada tubuh mereka jika bom itu meledak? Bagaimana dengan anak tertua keluarga itu yang berumur 18 tahun? Sudah selesai mengikuti UN, bukankah seharusnya ada begitu banyak impian untuk mengenyam ilmu lebih banyak di perguruan tinggi dan mengejar cita-cita? Sayangnya, semua itu tidak cukup bagi mereka! Utopia yang dijanjikan jika mereka membunuh diri mereka atas nama agama itulah yang mereka inginkan. Hidup mereka di dunia ini masih belum cukup sekalipun mereka berpendidikan dan berada.

    Tulisan yang pernah saya tulis sebelumnya ternyata tidak menjawab fakta bahwa utopia yang dijanjikan itu tidak hanya menggiurkan bagi kaum papa dan kaum goblok, tetapi juga bagi kaum borju dan kaum cendekia. Ini bukan soal penderitaan di dunia atau permainan politis semata, mereka yang terlibat di dalamnya tak peduli kaya atau miskin benar-benar memegang keyakinan utopis ini dengan kuat. Bagaimana pun seseorang yang berani mengakhiri nyawanya sendiri, keluarganya, dan orang-orang yang mereka anggap musuh demi mendapatkan keinginan diri mereka sendiri sebenarnya adalah orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Demi mendapatkan utopia itu bagi diri mereka sendiri, mereka tak segan membunuh orang-orang yang berbeda ideologi dengan mereka, bahkan juga sesama muslim yang berusaha menghalangi perbuatan mereka. Intinya, diri mereka aman di akhirat (?) dan masa bodoh dengan orang-orang di dunia ini yang masih mau hidup.

    Ironi, namun saya melihat apa yang disebut dengan ke-masa-bodoh-an ini juga berlaku di antara teman-teman saya sendiri. Saya heran dengan mereka yang muncul di media sosial seolah hidup di dunia yang berbeda dengan saya. Sepertinya dunia mereka aman, tenteram dan tidak terjadi apa-apa. Saya tahu, mereka pasti akan menimpali saya, “yang penting doa saya dan dunia tidak perlu tahu bahwa saya berdoa untuk mereka melalui media sosial.” Ya, saya tahu bahwa hal itu ada benarnya. Namun, tidakkah mereka tahu bahwa media sosial adalah medan perang terbesar bagi para ekstremis radikal tersebut?

    Bayangkan jika setiap orang sibuk dengan foto selfie dirinya masing-masing, foto jalan-jalan atau kesenangan pribadi lainnya dan tidak sama sekali menggubris kenyataan darurat yang ada di depan mata ini. Siapa yang akan berbicara untuk menunjukkan perlawanan kita terhadap mereka? Siapa yang akan menyangka bahwa kita dan banyak orang yang terkesan aman itu sebenarnya tidak menyetujui perbuatan mereka dan sangat terpukul melihat tragedi-tragedi ini? Siapa yang akan memberikan tafsiran-tafsiran ayat yang tepat agar mereka tidak terus-terusan tersesat dan mencoreng nama baik agama ini?

    Mereka yang menganggap utopia itu adalah suatu hal yang layak diperjuangkan dengan cara apapun termasuk membunuh, bisa jadi adalah salah satu teman jejaring media sosial kita. Orang-orang ini ada begitu banyak. Mereka yang menganggap darah orang kafir itu halal, yang menyebutkan bahwa tragedi ini hanya pengalihan isu, dan lain-lain. Mereka benar-benar nyata, masif, dan berada di sekeliling kita. Ayo angkat gadgetmu dan bicara! Ah, sayangnya suara kecil saya mungkin tidak akan terlalu terdengar ketimbang saudara-saudariku yang dapat bersuara dengan lantang untuk membela nama baik agama kalian yang tercoreng.

    “Focus on how to be social, not on how to do social.” – Jay Baer

  • Si Papa, Si Goblok, dan Si Pongah

    Si Papa, Si Goblok, dan Si Pongah

    (Tulisan reflektif ini ditulis berdasarkan pengalaman saya mengikuti National Interfaith Youth Camp 2018 dan akan dibukukan dalam buku kumpulan refleksi peserta)

    Saya teringat cerita dari salah seorang sahabat saya, seorang nona (panggilan untuk perempuan Ambon) Ambon manise, yang menceritakan bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya dengan melihat pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Bahkan, ia akhirnya harus pindah ke kota Jakarta dan terpisah dari orangtuanya. Kisah-kisah memilukan dan traumatis itulah yang pada umumnya dialami oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Ambon manise. Sejarah kelam pernah menyelimuti pulau ini pada tahun 1999 sampai 2005.

    Menapak tilas kisah-kisah pahit ini di tanah para raja, Ambon, Maluku, menjadi pengalaman yang semakin membuka hati dan pikiran saya. Saya mendengar kisah-kisah mereka yang pernah menelan semua pil pahit itu. Saya berdiri di atas puing-puing bangunan mereka yang sudah rata dengan tanah. Saya bertemu dengan orang-orang tua yang memilih untuk melupakan semua tragedi itu karena terlalu memilukan untuk diingat. Namun, di balik semua itu ternyata mereka belum selesai dengan masa lalu mereka dengan berusaha melupakan.

    “Muak.” Mungkin itulah satu kata yang menggambarkan perasaan saya setiap kali membayangkan sejarah memilukan dan menyeramkan itu. Tidak hanya di Ambon, tetapi juga di setiap wilayah di Indonesia dimana pembantaian terjadi atas nama agama. Suatu hal yang seharusnya membawa kedamaian dan menuntun orang-orang untuk tidak menyakiti satu sama lain, malah menjadi sebuah ironi.

    Negeri ini sudah memiliki cukup banyak sejarah kelam dalam hal intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Perdamaian menjadi cita-cita yang seakan mustahil. Masalah-masalah dan solusi-solusi ketika membahas isu-isu mengenai intoleransi, radikalisme, dan terorisme bukanlah suatu hal yang baru untuk dipelajari. Semua itu sudah cukup sering kita temukan dari surat kabar, televisi, maupun berita-berita digital. Namun, kesempatan untuk mendengarkan semuanya itu dari orang-orang yang mengalaminya langsung dan bagaimana mereka belajar mengampuni dan pulih dari luka-luka masa lalu adalah suatu pengalaman yang berharga. Pasalnya, setiap orang memiliki pengalaman dan ceritanya masing-masing.

    Begitu juga halnya dengan solusi-solusi untuk menjaga perdamaian. Kita sering membaca atau mendengar kisah orang-orang yang mengusahakan perdamaian dalam berbagai bidang, misalnya seni, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Namun, hal yang lebih menarik adalah ketika belajar bahwa berdamai itu bukan saja suatu tindakan, program, ataupun perencanaan besar yang butuh waktu lama mempersiapkannya. Melainkan bagaimana melalui hal sesederhana mengenal lebih dalam dapat perlahan memangkas stereotype yang bersembunyi di balik hati setiap orang. Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar murni dapat bersikap netral, tanpa stereotype, sekalipun mengerti betapa berbahayanya stereotype yang buta.

    Setelah beberapa kali mengalami diskriminasi oleh orang-orang Muslim karena saya adalah seorang Tionghoa dan Kristen, serta melihat fakta bahwa kebanyakan ormas radikal dan teroris seringkali mengakui identitasnya sebagai Islam. Dengan jujur saya harus mengakui bahwa saya punya stereotype tertentu terhadap orang Muslim. Saya memang tidak membenci mereka dan terus mengusahakan perdamaian, bahkan senang mengikuti acara lintas iman. Namun, selama saya belum mengerti apa yang sebenarnya dipelajari dan dipikirkan oleh teman-teman Muslim yang sejati, maka stereotype itu rasanya sulit untuk dikendalikan. Bagi saya, merupakan sebuah pengalaman berharga ketika bisa berdiskusi dan bertanya jawab dengan saudara-saudari Muslim.

    Saya semakin menyadari kemanusiaan kita. Kita sama-sama benci akan perang, kita sama-sama benci merasakan kehilangan, kita sama-sama benci ditolak, dan kita sama-sama rindu akan perdamaian. Engkau dan aku sama-sama manusia yang memiliki hati nurani yang sama dari Sang Pencipta. Hati nurani untuk hidup dalam kedamaian tanpa pertikaian yang menyebabkan keprihatinan. Kita tidak beda.

    Namun, seberapa banyak orang yang mengerti dan merasakan hal ini? Nyatanya, saudara dan saudari kita cenderung tertutup dan nyaman di dalam lingkungan yang seragam dengan mereka. Siapa musuh kita yang menyebabkan hal ini terjadi? Siapa yang bisa disalahkan ketika kita semua begitu mudah untuk disetir dan diadu oleh oknum-oknum yang mengetahui kelemahan kita demi memuaskan hasrat belaka?

    Terkadang hidup di dalam dunia yang tidak mudah ini membuat banyak orang yang kehilangan akal sehatnya demi memperjuangkan hidup. Tak peduli akan apapun, asal hidup hari ini bisa terlewat dengan selamat. Bahkan tak jarang ‘memakan’ saudara sendiri. Bagi mereka yang hidup cukup dan di atas cukup, ini adalah suatu potret yang mengerikan tetapi ini nyata dan biasa bagi si papa. Kepapaan ini adalah salah satu lingkaran setan yang kemudian melahirkan si goblok. Si papa yang rela disetir melakukan apapun demi bertahan hidup. Si goblok yang tidak memiliki akses pendidikan, tidak mengerti apa-apa, dan mudah diadu. Kemudian keduanya memicu si pongah yang merasa hidupnya aman dan baik-baik saja. Dia malah menganggap si papa dan si goblok adalah pengganggu kenyamanan hidup yang harus disingkirkan. Namun, jika bukan mereka yang harus disingkirkan, lalu sebenarnya ini salah siapa? Pertanyaan ini pun muncul kembali.

    Mungkin oknum-oknum si tukang setir dan tukang adu itu, tetapi mungkin juga si pongah yang sebenarnya merindukan perdamaian itu tanpa mau membayar sebuah harga untuk sebuah perubahan. Si tukang setir dan si tukang adu domba yang menjalankan politik identitas sebagai senjatanya untuk mengeruk keuntungan bagi diri mereka sendiri, tanpa peduli nasib si papa, si goblok, dan si pongah. Akan tetapi, ada juga si pongah yang diharapkan paling dapat merubah keadaan dengan sumber daya yang mereka miliki, tetapi terlalu malas dan kikir untuk membayar harga demi sebuah perubahan.

    Bangunlah, si pongah! Kamu seharusnya bukan si pongah, kamu adalah senjata bagi si papa dan si goblok yang disetir untuk memakan saudaranya sendiri oleh isu agama! Berperanglah lewat pekerjaanmu, kemampuanmu, kecerdasanmu, dan keberanianmu untuk menegakan keadilan dan menyatakan yang salah di tengah begitu banyak yang berpura-pura benar ini.

    Niscaya, si papa, si goblok, dan si pongah akan bersama-sama menyadari kemanusiaannya. Akhirnya perdamaian bukan lagi hal yang mustahil untuk dicapai.

  • Orang yang Hobi Ngomong “Kamu Pasti Bisa!”, Enaknya Diapain Yah?

    Orang yang Hobi Ngomong “Kamu Pasti Bisa!”, Enaknya Diapain Yah?

    Disclaimer: This is an opinion. You don’t have to agree with my opinion since every each of us have our own stand point in viewing something. You can contact me to give your thoughts or feedback. And we can still respect each other’s thoughts without trying to influence one another or force each other to change our stand point.


    “Tenang aja, kamu pasti bisa!”

    Perkataan-perkataan semacam ini seringkali keluar dari mulut orang-orang di sekitar saya. Bak Mama Laurent yang konon katanya bisa membaca masa depan, orang-orang tersebut sangat yakin dengan perkataannya seolah mereka sendiri sudah mengetahui apa yang akan terjadi. Padahal jangan-jangan mereka sendiri tidak terlalu dekat dengan si lawan bicara dan tidak mendalami masalah apa yang sebenarnya lawan bicaranya alami.

    Tentu saja, kadang mereka cuma asal bicara. Alasannya entah itu terlalu sayang (?) dengan lawan bicaranya sampai-sampai walaupun sesungguhnya mereka tidak yakin tapi yang penting pendengarnya happy mendengar perkataan mereka. Entah itu cuma basa-basi karena tidak enak jika berkata terlalu jujur dan dikira terlalu pesimistis. Entah karena ingin terlihat sebagai seorang motivator unggul yang di mana pun keberadaannya selalu bisa mengangkat suasana. Yang pasti orang-orang seperti ini adalah target utama buat di sleding kalau ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

    Oleh karena itu, setelah dipikirkan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, saya menghimbau setiap orang untuk menghentikan kebiasaan buruknya dalam asal berbicara bak motivator. Mengapa?

    Anda bukan Tuhan yang bisa menjamin semuanya bisa berjalan sesuai rencanamu

    Segala sesuatu dapat saja terjadi. Sepintar-pintarnya tupai meloncat, pasti akan jatuh juga. Setuju saudara-saudara? Coba bayangkan skenario dimana si Ucok yang terkenal sebagai juara kelas akan menghadapi ujian masuk universitas negeri favorit yang hanya dimasuki orang-orang ber-IQ 150 ke atas. Kemudian teman-temannya dengan yakin berkata kepada Ucok, “Tenang aja bro, lu pasti bisa! Lu kan pinter bro!” Di hari pelaksanaan ujian, ibu Ucok ternyata pingsan secara tiba-tiba dan Ucok harus mengantar ibunya ke rumah sakit. Akhirnya dia tidak bisa mengikuti ujian dan gagal masuk universitas. Betapa hancurnya hati Ucok. Siapa yang bisa disalahkan? Ibunya Ucok? Atau Tuhan yang membiarkan hal itu terjadi?

    Sebagai seorang yang beriman, maka saya akan berkata semua hal yang terjadi dan di luar kuasa kita tentunya berasal dari kuasa yang di atas. Maaf saja, bagi teman-teman Ucok yang begitu percaya diri seolah mereka mengerti pikiran dan rencana Tuhan dalam hidup Ucok. Beranikah mereka menyalahkan Tuhan yang tidak sejalan dengan perkataan mereka? Seolah mereka lah yang paling tahu apa yang terbaik untuk diri Ucok. Padahal mereka tidak tahu bagaimana masa depan Ucok. Mungkin universitas yang dipilih Ucok bukanlah universitas yang terbaik untuk dia masuki. Mungkin setelah gagal memasuki universitas tersebut, Ucok memasuki universitas lain dan menemukan jodohnya disana. Who knows?

    Anda harus bertanggungjawab atas perkataan Anda yang ternyata memberi harapan palsu, jika kenyataannya tidak seperti yang Anda katakan

    “Impianku terbangkanlah tinggi, tapi s’lalu pijakkan kaki di bumi.” Sepenggal lirik lagu Adera yang asal dicomot dan selalu saya jadikan lelucon ketika harapan saya tidak sesuai kenyataan. Bayangkan bagaimana perasaan Ucok yang gagal namun harapannya sudah terlanjur terbang tinggi karena teman-temannya meyakinkan Ucok seolah tidak ada pilihan lain selain lulus? Seperti dihempaskan ke bumi yang keras, men!

    Cerita pun berlanjut, Ucok yang galau dan kecewa berat kembali bertemu dengan teman-temannya. Hanya ada satu kata yang bisa didengar Ucok pada saat itu, “Sabar.” Apakah itu bisa mengobati sakit hati Ucok yang harapannya dihempaskan dari langit tinggi ke bumi yang keras? Tentu saja tidak! Lantas bagaimana teman-temannya bisa bertanggung jawab karena sudah menerbangkan harapan Ucok begitu tinggi? Hmm…

    Anda akan dikenal sebagai motivator gadungan, penipu ulung, dan PHP (Pemberi Harapan Palsu) sejati

    Oleh karena Anda memiliki hobi berbicara seperti motivator padahal Anda sebenarnya hanya asal bicara, bayangkan ada berapa Ucok di dalam hidup Anda yang kecewa karena perkataan Anda yang sebenarnya indah sesaat.

    “Teman palsu menusuk dirimu di belakang, teman sejati menusuk dirimu di depan.” – Anonim

    Pada akhirnya, Ucok akan mengerti bahwa sahabat sejatinya adalah mereka yang jujur sejak awal bahwa mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan Ucok. Namun, mereka dapat menjamin bahwa mereka tetap akan setia mendukung Ucok akan apapun yang ingin dia lakukan dan yang akan terjadi dalam hidupnya.


    Semoga kita semua tidak berakhir menjadi target sleding para Ucok yang kecewa dengan kita. Amin!

    Sumber gambar: Anime “Sakamoto desu ga?”