Category: Opini

Straight thoughts blurted out from my bittersweet experience or viral things around me. Some of the topics are sensitive or controversial. You don’t have to agree with my opinion since every each of us have our own stand point in viewing something. You can contact me to give me your thoughts or feedback. And we can still respect each other’s thoughts without trying to influence one another or force each other to change our stand point.

  • Kita Indonesia, Karena…

    Kita Indonesia, Karena…

    Terlahir dalam keluarga Tionghoa bukanlah sesuatu yang bisa saya pilih secara pribadi. Diwajibkan untuk pergi ke gereja sejak kecil oleh orangtua membuat saya pada akhirnya memilih untuk memeluk agama Kristen. Kedua identitas ini lah yang menjadikan saya sebagai kaum minoritas di bumi Indonesia. Demikianlah kata papa saya, “Kita ini orang minoritas, jangan banyak macam-macam kalau mau hidup aman disini. Ingat itu, Ting.” Perkataan ini mungkin sering kita dengar di keluarga atau lingkungan kita yang menyandang sebutan “minoritas”. Perkataan yang tentu membuat kita merasakan insekuritas.

    Masalah mengenai minoritas-mayoritas, pluralisme, kebhinekaan, tentunya bukanlah isu-isu yang baru muncul karena kasus penodaan agama oleh Ahok tahun 2016 yang lalu apalagi diikuti oleh gerakan-gerakan radikalisme yang semakin gencar. Indonesia tidak akan pernah lupa tragedi Mei 1998, tragedi Situbondo 1996, dan tragedi-tragedi lainnya yang menimpa kaum minoritas. Mungkin semua tragedi itu juga yang meninggalkan luka-luka tak kasat mata bagi papa yang pernah hidup di zaman itu dan merasakan langsung semua tragedi itu.

    Berbicara mengenai minoritas, tentu berbicara mengenai angka, jumlah, dan statistik. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, maka seharusnya istilah minoritas dan mayoritas tidak ada dalam kamus dunia ini. Pasalnya, jika kita melihat dari ruang lingkup yang lebih besar maka seorang mayoritas di Indonesia belum tentu adalah seorang mayoritas di sebuah negeri di Eropa sana, di Asia Timur sana, atapun di belahan bumi Afrika sana. Hal yang sama berlaku bagi seorang mayoritas Eropa, ia belum tentu adalah mayoritas di Asia, Afrika, dan bahkan di bumi pertiwi ini.

    Di Indonesia sendiri, orang Australomelanesia yang sekarang ada di Papua dan beberapa bagian di Indonesia wilayah Timur, merupakan pendatang pertama di tanah Indonesia. Kemudian disusul dengan kedatangan orang Melayu yang sering kita temukan hampir di seluruh bangsa kita. Di negara-negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina sendiri dapat kita temukan orang-orang yang berwajah mirip dengan orang Indonesia. Fisiknya terlihat sama seperti orang Indonesia, hal ini dikarenakan mereka berasal dari ras yang sama yang dahulu datang ke negeri Indonesia. Jikalau ingin memakai istilah “pribumi” yang saat ini sedang “populer”, maka mereka lah yang mungkin paling tepat disebut “pribumi”. Namun, apakah seorang warga negara dari negara-negara yang didiami suku Melayu dapat kita katakan “pribumi” apabila mereka datang ke Indonesia hanya karena ras yang sama dengan mayoritas kita?

    Tentu saja tidak. Jikalau bukan mayoritas yang membentuk identitas sebuah bangsa, lantas apakah identitas bangsa Indonesia? Identitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang; jati diri. Ciri-ciri dan jati diri sebuah bangsa tentu berasal dari fakta yang ada.

    Ada sebuah pertanyaan yang dapat diajukan apabila kita ingin semakin menyelami identitas dan jati diri kita sebagai suatu bangsa. Apakah yang sebenarnya menjadikan diri kita sebuah bangsa yang bernama Indonesia? Mari memikirkan sejenak, apa yang sebenarnya menjadikan bangsa Indonesia unik dan berbeda dari negara-negara lainnya? Saya pikir ideologi bangsa kita, Pancasila lah jawabannya. Namun Pancasila tidak akan lahir apabila tidak ada keragaman. Butir pertama dan ketiga dari Pancasila tidak akan ada jika Indonesia memiliki identitas tunggal yang menjunjung tinggi primordialisme.

    Inilah yang menjadikan Indonesia adalah negara yang unik. Dari segala macam etnis, bisa kita temukan di Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan yang terpisahkan oleh laut yang begitu luas. Akan tetapi, dari berbagai suku, bahasa, agama, kita menyebut diri sebagai Indonesia. Tidak peduli, etnis Batak, Jawa, Madura, Dayak, Bugis, Manado, Toraja, Ambon, Kupang, Papua, peranakan Tionghoa, Eropa, dan lain sebagainya. Tidak peduli warna kulit putih, kuning, sawo, coklat, hitam. Kita Indonesia.

    Keragaman memang adalah fakta hidup yang dapat kita lihat dan harus kita terima. Pasalnya, tidak ada yang seragam di dunia ini. Keragaman ini adalah sebuah kekayaan yang harus dilindungi dari politik identitas tunggal. Betapa berbahayanya politik identitas tunggal yang meninggikan primordialisme. Apapun yang berniat menggantikan hukum dan ideologi negara berarti merusak identitas negara kita. Dan, tentunya hal ini sangat berpotensi menghancurkan negara kita yang pada mulanya memang dipenuhi dengan keragaman.

    Oleh sebab itu, hanya karena perbedaan etnis dan agama, kita tidak dapat menyebut bahwa kita berdiri berseberangan. Identitas kita sebagai Indonesia, tidak didasarkan oleh perbedaan. Malah, perbedaan itulah yang menjadi ciri khas bangsa ini. Permasalahan mengenai minoritas-mayoritas hanya akan membuat Indonesia terpecah belah dan upaya membangun tanah air ini menjadi terhalang. Gerakan-gerakan yang ingin menggantikan identitas negara kita dapat kita artikan sebagai usaha-usaha untuk menjajah bangsa.

    “Engkau dan aku memang berbeda, aku tidak dapat engkau paksa untuk menerima apa yang engkau anggap benar, karena aku memiliki kebenaranku sendiri. Akan tetapi, engkau dan aku tidak sepatutnya melukai satu sama lain dan memaksakan kebenaran kita masing-masing.”

    Alangkah indahnya, apabila kalimat di atas dapat menjadi prinsip hidup kita bersama di tengah keragaman Indonesia. Itulah cara hidup di negeri ini.

    “Pancasila itu jiwa dan raga kita, ada di aliran darah dan detak jantung kita. Perekat keutuhan bangsa dan negara,” kata Bapak Presiden kita, Joko Widodo. Mari merenungkan kalimat ini kata per kata dengan penghayatan bahwa inilah saya, Indonesia.

    #sayaIndonesia #sayapancasila #kalaukamu?

  • Kreativitas Tanpa Batas di Dalam Keterbatasan

    Kreativitas Tanpa Batas di Dalam Keterbatasan

    Judul tulisan ini terkesan seperti sebuah paradoks. Bagaimana mungkin kreativitas yang tidak terbatas dapat ditemukan dalam keterbatasan? Keterbatasan dan kreativitas, kedua istilah yang seolah bertentangan. Keterbatasan itu tidak enak, negatif, menyulitkan dan menjadi hambatan.

    Sejatinya, setiap orang menginginkan kebebasan dan bukan keterbatasan. Siapapun ingin bebas dalam menggunakan uangnya, bebas pergi ke mana pun ia suka, bebas dalam melakukan segala sesuatu yang diinginkannya, termasuk dalam berkreativitas. Pekerja seni dalam bentuk apapun, entah itu seni tari, seni rupa, seni kuliner, seni literatur dan lain sebagainya pasti ingin dapat berkreasi tanpa batasan. Namun, apakah keterbatasan selalu merupakan sebuah hambatan dan mematahkan kreativitas?

    Sebagai seorang desainer grafis, saya memiliki tugas untuk menyusun dan mengatur suatu komposisi antara gambar, tipografi, warna, titik, garis, dan ruang. Desain adalah suatu hobi dengan memainkan kreativitas yang tiada batas untuk membuat suatu komposisi karya yang indah. Namun, seringkali desainer grafis mempunyai masalah dalam berhubungan dengan klien. Misalnya, bagaimana memenuhi permintaan klien yang membatasi kreativitas para desainer?

    Desain berkaitan erat dengan cita rasa. Setiap orang memiliki cita rasa yang berbeda-beda. Ada orang yang menyukai warna gelap, ada orang yang menyukai warna cerah dan colorful. Begitu pula ada orang yang tidak menyukai kesederhanaan tata ruang, ada orang yang menyukai tata ruang yang minimalis, dan lain sebagainya. Bahkan, masing-masing desainer pun mempunyai gayanya sendiri. Ada desainer yang terbiasa dengan flat design, ada yang terbiasa dengan permainan fotografi dan tipografi, ada yang terbiasa dengan gaya surrealism, ada yang terbiasa dengan gaya retro.

    Seringkali yang menjadi masalah adalah ketika klien menginginkan unsur-unsur dalam desain yang tidak sesuai dengan idealisme desainer. Misalnya, dalam desain sebuah pamflet ibadah rutin di gereja, diharuskan memakai simbol salib dan Yesus. Padahal desainer berpikir akan lebih baik apabila memakai objek lain untuk menekankan sub tema dari acara tersebut.

    Ini menjadi sebuah dilema yang acap kali terjadi dalam industri kreatif. Setiap desainer tentunya ingin berkreasi dengan bebas demi mencapai sebuah karya seni yang sempurna sesuai dengan keinginan desainer. Pun ketika diberikan sebuah tugas, seorang desainer pada umumnya sudah memiliki gambaran akan membuatnya seperti apa. Namun, ketika kreativitas itu dibatasi, mungkinkah karya seni yang baik dapat dihasilkan?

    Kita dapat belajar dari Dr. Seuss, seorang penulis buku cerita anak-anak yang terkenal. Bermula dari tantangan dari seorang temannya yang akan bertaruh $50 bahwa Dr. Seuss tidak dapat menulis sebuah buku dengan hanya memakai 50 kata. Menariknya, Dr. Seuss menerima tantangan itu dan dia benar-benar menulis buku cerita yang hanya memakai 50 kata. Kata yang sedikit dan terus diulang terkesan membuat buku tersebut begitu terbatas, monoton, dan membosankan. Apalagi buku yang ditulis adalah sebuah buku cerita. Namun, keunikannya justru membuat buku cerita tersebut menjadi kreatif dan menarik.

    Pelajaran yang sama dapat kita temukan dari Phil Hansen. Dia adalah seorang seniman dari Amerika yang dikenal karena keunikan karya seninya. Pada awalnya, dia adalah seorang seniman yang ahli dalam membuat seni pointillism (teknik seni rupa yang membentuk objek dengan menggabungkan banyak titik). Namun, suatu hari dia mengalami cedera pada saraf tangannya. Hal ini mengakibatkan tangannya terus bergetar secara permanen dan membuatnya tidak bisa lagi membuat titik dan garis lurus. Bagaimana mungkin Hansen dapat melanjutkan pekerjaannya sebagai seniman pointillism? Untungnya Hansen tidak menyerah, dia merangkul keterbatasan yang terjadi dalam hidupnya. Saat ini dia justru menjadi seniman yang tidak terbatas kreativitasnya. Segala macam media dapat dimanfaatkan Hansen untuk membuat karya seni. Gambar di atas merupakan salah satu karya Phil Hansen dengan menggunakan gelas-gelas Starbucks sebagai medianya.

    “Creativity by thinking inside the box,” kata Hansen ketika menjadi pembicara dalam TED Talks (Embrace The Shake, 2013). Kalimat ini menarik, karena pada umumnya orang akan berkata bahwa menjadi kreatif berarti berpikir di luar kotak. Namun, bagi Hansen, apa yang lebih mudah kita lakukan sebenarnya berasal dari apa yang kita miliki saat ini, di dalam sebuah kotak, dengan sumber daya yang terbatas. Belajar menjadi kreatif dengan mengakui keterbatasan kita adalah suatu awal untuk mengubah diri kita bahkan dunia.

    Itulah kekuatan dari sebuah keterbatasan. Dr. Seuss dan Phil Hansen seharusnya menjadi inspirasi bagi para seniman dalam berkreativitas di tengah keterbatasan. Seringkali pandangan umum menganggap keterbatasan adalah suatu hal yang merugikan. Mengapa? Karena kebebasan membuat segala hal menjadi lebih mudah. Setiap orang menyukai kebebasan.

    Bagaimana jika seorang seniman dalam bidang seni rupa berkreasi membuat grafis dengan hanya memakai 1 gradasi warna? Bagaimana jika seorang seniman dalam bidang kuliner berkreasi membuat sebuah inovasi resep baru yang hanya terdiri dari 3 macam bahan?

    Mari belajar melihat keterbatasan bukan sebagai hambatan, tetapi tantangan untuk memacu diri kita semakin kreatif. Dan, kita pun bisa menantang diri kita sendiri dengan sengaja memberikan batasan. Dengan demikian kita dapat berpikir lebih kreatif.

  • Bercanda

    Bercanda

    Setiap orang biasanya memiliki gaya bercanda sendiri. Ada yang suka membayangkan sesuatu yang konyol dan kemudian menceritakannya sebagai bahan canda. Ada yang sering menjadikan kelemahan fisik atau karakter seseorang sebagai bahan canda. Ada yang sering mengisengi orang, misalnya, dengan memperdaya atau melalui sentuhan fisik, dan lain sebagainya.

    Apapun gaya bercandanya, kebanyakan orang senang dengan yang namanya bercanda. Mengapa? Karena bercanda adalah sesuatu yang menyenangkan, menimbulkan gelak tawa, dan suatu proses untuk semakin mendekatkan diri dengan orang lain. Namun bercanda juga bisa menjadi suatu hal yang tidak menyenangkan dan merusak relasi jika hal itu dianggap keterlaluan oleh kaum yang biasa disebut “sensitif”.

    Mengapa setiap orang bisa memberikan reaksi yang berbeda-beda walaupun canda yang diberikan sama? Berdasarkan pengamatan dan perenungan dari apa yang saya dan beberapa orang di sekitar saya alami belakangan ini, saya menemukan bahwa pengenalan diri seseorang adalah faktor penting untuk memulai canda. Hal ini menjadi penting karena kita tidak tahu seberapa besar tingkat sensitivitas orang lain terhadap objek bercanda kita. Lalu, apa yang mempengaruhi tingkat sensitivitas yang berbeda-beda ini? Jawabannya bermacam-macam, ada yang karena pengaruh didikan keluarga, PMS (khusus wanita), mood, dan pengalaman pahit di masa lalu.

    Saya senang bercanda dengan seorang teman melalui omongan sarkasme tentang kelemahan yang dia miliki. Namun tentu saja, saya tidak dapat menerapkan gaya bercanda seperti ini kepada semua teman saya. Dimulai dari pengamatan ketika dia bercanda dengan teman-teman lainnya, berlanjut ke pembicaraan yang dangkal hingga dalam tentang kehidupannya di masa lalu dan kini. Semua hal itu membuat saya mengenal dan mengerti apa yang dapat membuatnya tersinggung dan tidak. Akan tetapi, saya juga pernah gagal dalam mengamati dan mengenali teman yang satu lagi. Saya pikir omongan saya tidak akan membuatnya tersinggung, nyatanya dia tersinggung dan marah. Ternyata setelah mengevaluasi diri, saya memang tidak terlalu mengenalnya.

    Ketika kita bercanda, kita pasti akan melontarkan canda yang jikalau itu dilontarkan kepada diri sendiri maka kita tidak akan marah. Akan tetapi kita harus mengerti bahwa tidak semua orang memiliki perasaan dan pengalaman seperti kita. Mungkin tidak masalah bagi kita jika seseorang bercanda kepada kita dengan mengatakan, “Bego banget sih lu!”. Namun, bagi orang lain, bisa jadi itu adalah penghinaan ketika dia tumbuh besar di keluarga yang orang tuanya tidak pernah memuji dirinya. Bahkan, kata-kata tersebut yang sering keluar dari mulut mereka.

    Ketika kita bercanda, kita juga mungkin tidak peka dengan masalah, pergumulan, atau masa lalu yang pernah dialami oleh teman kita. Sehingga kita tidak belajar memposisikan diri di tempatnya. Padahal kita mungkin juga akan marah jikalau kita menjadi dia.

    Bercanda harus didasari dengan kasih. Bercanda bukan untuk menyenangkan diri kita sendiri padahal ternyata tidak bagi orang lain. Sekali lagi, kita harus peka dengan kondisi orang lain dan belajar memahami kerapuhan orang lain. Serta, kita harus berbelas kasih melihat seseorang yang sebenarnya menderita karena masalah atau masa lalunya itu.

    Di satu sisi sebagai pihak yang sensitif, kita juga perlu belajar untuk terbuka mengatakan alasan bahwa kita tidak senang dengan canda yang dilontarkan oleh teman kita. Pasalnya teman-teman kita juga bukanlah orang-orang sempurna yang dapat selalu peka dan mengerti kondisi kita. Namun, kita juga perlu belajar menerima teman kita apa adanya. Dan, bijaklah untuk tidak menempatkan ego kita di atas segalanya sehingga kita menjadi orang yang mudah marah dan memusuhi teman kita yang sensitif.

    Terakhir, perlu kerendahan hati bagi kita, si tukang bercanda, untuk menerima kenyataan bahwa lelucon kita bisa jadi memang menyakitkan. Kerendahan hati juga diperlukan bagi kaum sensitif, inilah titik kelemahan kita. Jangan merasa stres seolah-olah kita adalah orang yang tidak dapat diajak bercanda. Setiap orang memiliki pemicu dan tingkat sensitivitas yang berbeda-beda.

    Alangkah indahnya apabila semua dari kita dapat menjadi rendah hati, baik bagi tukang bercanda maupun kaum sensitif untuk tidak saling menghakimi dan belajar saling memahami.

    Ah, saya pun juga harus banyak belajar…