Kreativitas Tanpa Batas di Dalam Keterbatasan

by

in

Judul tulisan ini terkesan seperti sebuah paradoks. Bagaimana mungkin kreativitas yang tidak terbatas dapat ditemukan dalam keterbatasan? Keterbatasan dan kreativitas, kedua istilah yang seolah bertentangan. Keterbatasan itu tidak enak, negatif, menyulitkan dan menjadi hambatan.

Sejatinya, setiap orang menginginkan kebebasan dan bukan keterbatasan. Siapapun ingin bebas dalam menggunakan uangnya, bebas pergi ke mana pun ia suka, bebas dalam melakukan segala sesuatu yang diinginkannya, termasuk dalam berkreativitas. Pekerja seni dalam bentuk apapun, entah itu seni tari, seni rupa, seni kuliner, seni literatur dan lain sebagainya pasti ingin dapat berkreasi tanpa batasan. Namun, apakah keterbatasan selalu merupakan sebuah hambatan dan mematahkan kreativitas?

Sebagai seorang desainer grafis, saya memiliki tugas untuk menyusun dan mengatur suatu komposisi antara gambar, tipografi, warna, titik, garis, dan ruang. Desain adalah suatu hobi dengan memainkan kreativitas yang tiada batas untuk membuat suatu komposisi karya yang indah. Namun, seringkali desainer grafis mempunyai masalah dalam berhubungan dengan klien. Misalnya, bagaimana memenuhi permintaan klien yang membatasi kreativitas para desainer?

Desain berkaitan erat dengan cita rasa. Setiap orang memiliki cita rasa yang berbeda-beda. Ada orang yang menyukai warna gelap, ada orang yang menyukai warna cerah dan colorful. Begitu pula ada orang yang tidak menyukai kesederhanaan tata ruang, ada orang yang menyukai tata ruang yang minimalis, dan lain sebagainya. Bahkan, masing-masing desainer pun mempunyai gayanya sendiri. Ada desainer yang terbiasa dengan flat design, ada yang terbiasa dengan permainan fotografi dan tipografi, ada yang terbiasa dengan gaya surrealism, ada yang terbiasa dengan gaya retro.

Seringkali yang menjadi masalah adalah ketika klien menginginkan unsur-unsur dalam desain yang tidak sesuai dengan idealisme desainer. Misalnya, dalam desain sebuah pamflet ibadah rutin di gereja, diharuskan memakai simbol salib dan Yesus. Padahal desainer berpikir akan lebih baik apabila memakai objek lain untuk menekankan sub tema dari acara tersebut.

Ini menjadi sebuah dilema yang acap kali terjadi dalam industri kreatif. Setiap desainer tentunya ingin berkreasi dengan bebas demi mencapai sebuah karya seni yang sempurna sesuai dengan keinginan desainer. Pun ketika diberikan sebuah tugas, seorang desainer pada umumnya sudah memiliki gambaran akan membuatnya seperti apa. Namun, ketika kreativitas itu dibatasi, mungkinkah karya seni yang baik dapat dihasilkan?

Kita dapat belajar dari Dr. Seuss, seorang penulis buku cerita anak-anak yang terkenal. Bermula dari tantangan dari seorang temannya yang akan bertaruh $50 bahwa Dr. Seuss tidak dapat menulis sebuah buku dengan hanya memakai 50 kata. Menariknya, Dr. Seuss menerima tantangan itu dan dia benar-benar menulis buku cerita yang hanya memakai 50 kata. Kata yang sedikit dan terus diulang terkesan membuat buku tersebut begitu terbatas, monoton, dan membosankan. Apalagi buku yang ditulis adalah sebuah buku cerita. Namun, keunikannya justru membuat buku cerita tersebut menjadi kreatif dan menarik.

Pelajaran yang sama dapat kita temukan dari Phil Hansen. Dia adalah seorang seniman dari Amerika yang dikenal karena keunikan karya seninya. Pada awalnya, dia adalah seorang seniman yang ahli dalam membuat seni pointillism (teknik seni rupa yang membentuk objek dengan menggabungkan banyak titik). Namun, suatu hari dia mengalami cedera pada saraf tangannya. Hal ini mengakibatkan tangannya terus bergetar secara permanen dan membuatnya tidak bisa lagi membuat titik dan garis lurus. Bagaimana mungkin Hansen dapat melanjutkan pekerjaannya sebagai seniman pointillism? Untungnya Hansen tidak menyerah, dia merangkul keterbatasan yang terjadi dalam hidupnya. Saat ini dia justru menjadi seniman yang tidak terbatas kreativitasnya. Segala macam media dapat dimanfaatkan Hansen untuk membuat karya seni. Gambar di atas merupakan salah satu karya Phil Hansen dengan menggunakan gelas-gelas Starbucks sebagai medianya.

“Creativity by thinking inside the box,” kata Hansen ketika menjadi pembicara dalam TED Talks (Embrace The Shake, 2013). Kalimat ini menarik, karena pada umumnya orang akan berkata bahwa menjadi kreatif berarti berpikir di luar kotak. Namun, bagi Hansen, apa yang lebih mudah kita lakukan sebenarnya berasal dari apa yang kita miliki saat ini, di dalam sebuah kotak, dengan sumber daya yang terbatas. Belajar menjadi kreatif dengan mengakui keterbatasan kita adalah suatu awal untuk mengubah diri kita bahkan dunia.

Itulah kekuatan dari sebuah keterbatasan. Dr. Seuss dan Phil Hansen seharusnya menjadi inspirasi bagi para seniman dalam berkreativitas di tengah keterbatasan. Seringkali pandangan umum menganggap keterbatasan adalah suatu hal yang merugikan. Mengapa? Karena kebebasan membuat segala hal menjadi lebih mudah. Setiap orang menyukai kebebasan.

Bagaimana jika seorang seniman dalam bidang seni rupa berkreasi membuat grafis dengan hanya memakai 1 gradasi warna? Bagaimana jika seorang seniman dalam bidang kuliner berkreasi membuat sebuah inovasi resep baru yang hanya terdiri dari 3 macam bahan?

Mari belajar melihat keterbatasan bukan sebagai hambatan, tetapi tantangan untuk memacu diri kita semakin kreatif. Dan, kita pun bisa menantang diri kita sendiri dengan sengaja memberikan batasan. Dengan demikian kita dapat berpikir lebih kreatif.


Comments

One response to “Kreativitas Tanpa Batas di Dalam Keterbatasan”

  1. cakep :
    “Mari belajar melihat keterbatasan bukan sebagai hambatan, tetapi tantangan untuk memacu diri kita semakin kreatif. Dan, kita pun bisa menantang diri kita sendiri dengan sengaja memberikan batasan. Dengan demikian kita dapat berpikir lebih kreatif.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *