(Tulisan reflektif ini ditulis berdasarkan pengalaman saya mengikuti National Interfaith Youth Camp 2018 dan akan dibukukan dalam buku kumpulan refleksi peserta)
Saya teringat cerita dari salah seorang sahabat saya, seorang nona (panggilan untuk perempuan Ambon) Ambon manise, yang menceritakan bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya dengan melihat pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Bahkan, ia akhirnya harus pindah ke kota Jakarta dan terpisah dari orangtuanya. Kisah-kisah memilukan dan traumatis itulah yang pada umumnya dialami oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Ambon manise. Sejarah kelam pernah menyelimuti pulau ini pada tahun 1999 sampai 2005.
Menapak tilas kisah-kisah pahit ini di tanah para raja, Ambon, Maluku, menjadi pengalaman yang semakin membuka hati dan pikiran saya. Saya mendengar kisah-kisah mereka yang pernah menelan semua pil pahit itu. Saya berdiri di atas puing-puing bangunan mereka yang sudah rata dengan tanah. Saya bertemu dengan orang-orang tua yang memilih untuk melupakan semua tragedi itu karena terlalu memilukan untuk diingat. Namun, di balik semua itu ternyata mereka belum selesai dengan masa lalu mereka dengan berusaha melupakan.
“Muak.” Mungkin itulah satu kata yang menggambarkan perasaan saya setiap kali membayangkan sejarah memilukan dan menyeramkan itu. Tidak hanya di Ambon, tetapi juga di setiap wilayah di Indonesia dimana pembantaian terjadi atas nama agama. Suatu hal yang seharusnya membawa kedamaian dan menuntun orang-orang untuk tidak menyakiti satu sama lain, malah menjadi sebuah ironi.
Negeri ini sudah memiliki cukup banyak sejarah kelam dalam hal intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Perdamaian menjadi cita-cita yang seakan mustahil. Masalah-masalah dan solusi-solusi ketika membahas isu-isu mengenai intoleransi, radikalisme, dan terorisme bukanlah suatu hal yang baru untuk dipelajari. Semua itu sudah cukup sering kita temukan dari surat kabar, televisi, maupun berita-berita digital. Namun, kesempatan untuk mendengarkan semuanya itu dari orang-orang yang mengalaminya langsung dan bagaimana mereka belajar mengampuni dan pulih dari luka-luka masa lalu adalah suatu pengalaman yang berharga. Pasalnya, setiap orang memiliki pengalaman dan ceritanya masing-masing.
Begitu juga halnya dengan solusi-solusi untuk menjaga perdamaian. Kita sering membaca atau mendengar kisah orang-orang yang mengusahakan perdamaian dalam berbagai bidang, misalnya seni, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Namun, hal yang lebih menarik adalah ketika belajar bahwa berdamai itu bukan saja suatu tindakan, program, ataupun perencanaan besar yang butuh waktu lama mempersiapkannya. Melainkan bagaimana melalui hal sesederhana mengenal lebih dalam dapat perlahan memangkas stereotype yang bersembunyi di balik hati setiap orang. Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar murni dapat bersikap netral, tanpa stereotype, sekalipun mengerti betapa berbahayanya stereotype yang buta.
Setelah beberapa kali mengalami diskriminasi oleh orang-orang Muslim karena saya adalah seorang Tionghoa dan Kristen, serta melihat fakta bahwa kebanyakan ormas radikal dan teroris seringkali mengakui identitasnya sebagai Islam. Dengan jujur saya harus mengakui bahwa saya punya stereotype tertentu terhadap orang Muslim. Saya memang tidak membenci mereka dan terus mengusahakan perdamaian, bahkan senang mengikuti acara lintas iman. Namun, selama saya belum mengerti apa yang sebenarnya dipelajari dan dipikirkan oleh teman-teman Muslim yang sejati, maka stereotype itu rasanya sulit untuk dikendalikan. Bagi saya, merupakan sebuah pengalaman berharga ketika bisa berdiskusi dan bertanya jawab dengan saudara-saudari Muslim.
Saya semakin menyadari kemanusiaan kita. Kita sama-sama benci akan perang, kita sama-sama benci merasakan kehilangan, kita sama-sama benci ditolak, dan kita sama-sama rindu akan perdamaian. Engkau dan aku sama-sama manusia yang memiliki hati nurani yang sama dari Sang Pencipta. Hati nurani untuk hidup dalam kedamaian tanpa pertikaian yang menyebabkan keprihatinan. Kita tidak beda.
Namun, seberapa banyak orang yang mengerti dan merasakan hal ini? Nyatanya, saudara dan saudari kita cenderung tertutup dan nyaman di dalam lingkungan yang seragam dengan mereka. Siapa musuh kita yang menyebabkan hal ini terjadi? Siapa yang bisa disalahkan ketika kita semua begitu mudah untuk disetir dan diadu oleh oknum-oknum yang mengetahui kelemahan kita demi memuaskan hasrat belaka?
Terkadang hidup di dalam dunia yang tidak mudah ini membuat banyak orang yang kehilangan akal sehatnya demi memperjuangkan hidup. Tak peduli akan apapun, asal hidup hari ini bisa terlewat dengan selamat. Bahkan tak jarang ‘memakan’ saudara sendiri. Bagi mereka yang hidup cukup dan di atas cukup, ini adalah suatu potret yang mengerikan tetapi ini nyata dan biasa bagi si papa. Kepapaan ini adalah salah satu lingkaran setan yang kemudian melahirkan si goblok. Si papa yang rela disetir melakukan apapun demi bertahan hidup. Si goblok yang tidak memiliki akses pendidikan, tidak mengerti apa-apa, dan mudah diadu. Kemudian keduanya memicu si pongah yang merasa hidupnya aman dan baik-baik saja. Dia malah menganggap si papa dan si goblok adalah pengganggu kenyamanan hidup yang harus disingkirkan. Namun, jika bukan mereka yang harus disingkirkan, lalu sebenarnya ini salah siapa? Pertanyaan ini pun muncul kembali.
Mungkin oknum-oknum si tukang setir dan tukang adu itu, tetapi mungkin juga si pongah yang sebenarnya merindukan perdamaian itu tanpa mau membayar sebuah harga untuk sebuah perubahan. Si tukang setir dan si tukang adu domba yang menjalankan politik identitas sebagai senjatanya untuk mengeruk keuntungan bagi diri mereka sendiri, tanpa peduli nasib si papa, si goblok, dan si pongah. Akan tetapi, ada juga si pongah yang diharapkan paling dapat merubah keadaan dengan sumber daya yang mereka miliki, tetapi terlalu malas dan kikir untuk membayar harga demi sebuah perubahan.
Bangunlah, si pongah! Kamu seharusnya bukan si pongah, kamu adalah senjata bagi si papa dan si goblok yang disetir untuk memakan saudaranya sendiri oleh isu agama! Berperanglah lewat pekerjaanmu, kemampuanmu, kecerdasanmu, dan keberanianmu untuk menegakan keadilan dan menyatakan yang salah di tengah begitu banyak yang berpura-pura benar ini.
Niscaya, si papa, si goblok, dan si pongah akan bersama-sama menyadari kemanusiaannya. Akhirnya perdamaian bukan lagi hal yang mustahil untuk dicapai.
Leave a Reply