Tag: Indonesia

  • Angkat Gadgetmu dan Lawan Terorisme!

    Angkat Gadgetmu dan Lawan Terorisme!

    Hari itu adalah hari dimana seharusnya saya merasa sangat bersukacita, tepat 25 tahun yang lalu saya diijinkan untuk melihat dunia ini. Namun, hari itu terasa berbeda. Sama seperti apa yang terjadi 20 tahun yang lalu ketika saya harus melihat keluarga saya sedang ketakutan bersembunyi di dalam rumah. Nalarku yang saat itu baru berusia 5 tahun bertanya-tanya dengan polosnya. “Hey, ini kan hari ulang tahunku, kenapa muka papa dan mama terlihat sangat pucat? Dimana kue ulang tahunku? Apa kita tidak merayakannya hari ini?” Itulah yang seingat saya, saya pikirkan tepat 20 tahun yang lalu, 13 Mei 1998.

    Hari itu, 13 Mei 2018, nalar saya yang baru saja berusia 25 tahun kembali bertanya-tanya,”Kenapa?” sambil berusaha memproses berita rentetan bom yang meledakkan tiga gereja di Surabaya. Nyawa 13 orang tidak bersalah dan keberadaannya tidak merugikan siapapun, mereka yang masih ingin hidup dan memiliki cita-cita jika sudah besar nanti, direnggut paksa. Selama ini saya berpikir bahwa terorisme itu hanya dilakukan oleh orang-orang tidak berpendidikan dan tidak ‘berada’. Mereka yang sudah merasa tidak punya harapan lagi akan kehidupan di dunia ini yang begitu keras. Hal ini begitu sulit dinalar dalam pikiran saya karena nyatanya pelaku peledak bom di tiga gereja ini justru mereka yang berpendidikan dan cukup berada. Setidaknya mereka pasti lebih berpendidikan dibanding ayah saya yang hanya tamatan SMK dan ibu saya yang tamat SD saja tidak. Rumah mereka –seperti yang diperlihatkan di berita-berita– juga pasti lebih luas dibandingkan rumah saya di Jatinegara, sebuah daerah di Jakarta Timur, lingkungan pasar yang tingkat kriminalitasnya tergolong tinggi. Dengan dua orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan yang begitu didambakan oleh mereka yang tidak dapat memiliki anak, bukankah keluarga ini sebenarnya sangat memiliki pengharapan akan masa depan yang didambakan banyak orang? Ada begitu banyak keluarga yang tidak seberuntung mereka, bukan?

    Namun, hal yang lebih mengusik nalar dan nurani saya adalah kenyataan bahwa anak-anak juga terlibat dalam peristiwa ini. Apa yang diajarkan kepada anak-anak itu sehingga mereka tidak takut? Apa sebenarnya mereka tidak tahu apa yang akan terjadi pada tubuh mereka jika bom itu meledak? Bagaimana dengan anak tertua keluarga itu yang berumur 18 tahun? Sudah selesai mengikuti UN, bukankah seharusnya ada begitu banyak impian untuk mengenyam ilmu lebih banyak di perguruan tinggi dan mengejar cita-cita? Sayangnya, semua itu tidak cukup bagi mereka! Utopia yang dijanjikan jika mereka membunuh diri mereka atas nama agama itulah yang mereka inginkan. Hidup mereka di dunia ini masih belum cukup sekalipun mereka berpendidikan dan berada.

    Tulisan yang pernah saya tulis sebelumnya ternyata tidak menjawab fakta bahwa utopia yang dijanjikan itu tidak hanya menggiurkan bagi kaum papa dan kaum goblok, tetapi juga bagi kaum borju dan kaum cendekia. Ini bukan soal penderitaan di dunia atau permainan politis semata, mereka yang terlibat di dalamnya tak peduli kaya atau miskin benar-benar memegang keyakinan utopis ini dengan kuat. Bagaimana pun seseorang yang berani mengakhiri nyawanya sendiri, keluarganya, dan orang-orang yang mereka anggap musuh demi mendapatkan keinginan diri mereka sendiri sebenarnya adalah orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Demi mendapatkan utopia itu bagi diri mereka sendiri, mereka tak segan membunuh orang-orang yang berbeda ideologi dengan mereka, bahkan juga sesama muslim yang berusaha menghalangi perbuatan mereka. Intinya, diri mereka aman di akhirat (?) dan masa bodoh dengan orang-orang di dunia ini yang masih mau hidup.

    Ironi, namun saya melihat apa yang disebut dengan ke-masa-bodoh-an ini juga berlaku di antara teman-teman saya sendiri. Saya heran dengan mereka yang muncul di media sosial seolah hidup di dunia yang berbeda dengan saya. Sepertinya dunia mereka aman, tenteram dan tidak terjadi apa-apa. Saya tahu, mereka pasti akan menimpali saya, “yang penting doa saya dan dunia tidak perlu tahu bahwa saya berdoa untuk mereka melalui media sosial.” Ya, saya tahu bahwa hal itu ada benarnya. Namun, tidakkah mereka tahu bahwa media sosial adalah medan perang terbesar bagi para ekstremis radikal tersebut?

    Bayangkan jika setiap orang sibuk dengan foto selfie dirinya masing-masing, foto jalan-jalan atau kesenangan pribadi lainnya dan tidak sama sekali menggubris kenyataan darurat yang ada di depan mata ini. Siapa yang akan berbicara untuk menunjukkan perlawanan kita terhadap mereka? Siapa yang akan menyangka bahwa kita dan banyak orang yang terkesan aman itu sebenarnya tidak menyetujui perbuatan mereka dan sangat terpukul melihat tragedi-tragedi ini? Siapa yang akan memberikan tafsiran-tafsiran ayat yang tepat agar mereka tidak terus-terusan tersesat dan mencoreng nama baik agama ini?

    Mereka yang menganggap utopia itu adalah suatu hal yang layak diperjuangkan dengan cara apapun termasuk membunuh, bisa jadi adalah salah satu teman jejaring media sosial kita. Orang-orang ini ada begitu banyak. Mereka yang menganggap darah orang kafir itu halal, yang menyebutkan bahwa tragedi ini hanya pengalihan isu, dan lain-lain. Mereka benar-benar nyata, masif, dan berada di sekeliling kita. Ayo angkat gadgetmu dan bicara! Ah, sayangnya suara kecil saya mungkin tidak akan terlalu terdengar ketimbang saudara-saudariku yang dapat bersuara dengan lantang untuk membela nama baik agama kalian yang tercoreng.

    “Focus on how to be social, not on how to do social.” – Jay Baer

  • Si Papa, Si Goblok, dan Si Pongah

    Si Papa, Si Goblok, dan Si Pongah

    (Tulisan reflektif ini ditulis berdasarkan pengalaman saya mengikuti National Interfaith Youth Camp 2018 dan akan dibukukan dalam buku kumpulan refleksi peserta)

    Saya teringat cerita dari salah seorang sahabat saya, seorang nona (panggilan untuk perempuan Ambon) Ambon manise, yang menceritakan bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya dengan melihat pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Bahkan, ia akhirnya harus pindah ke kota Jakarta dan terpisah dari orangtuanya. Kisah-kisah memilukan dan traumatis itulah yang pada umumnya dialami oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Ambon manise. Sejarah kelam pernah menyelimuti pulau ini pada tahun 1999 sampai 2005.

    Menapak tilas kisah-kisah pahit ini di tanah para raja, Ambon, Maluku, menjadi pengalaman yang semakin membuka hati dan pikiran saya. Saya mendengar kisah-kisah mereka yang pernah menelan semua pil pahit itu. Saya berdiri di atas puing-puing bangunan mereka yang sudah rata dengan tanah. Saya bertemu dengan orang-orang tua yang memilih untuk melupakan semua tragedi itu karena terlalu memilukan untuk diingat. Namun, di balik semua itu ternyata mereka belum selesai dengan masa lalu mereka dengan berusaha melupakan.

    “Muak.” Mungkin itulah satu kata yang menggambarkan perasaan saya setiap kali membayangkan sejarah memilukan dan menyeramkan itu. Tidak hanya di Ambon, tetapi juga di setiap wilayah di Indonesia dimana pembantaian terjadi atas nama agama. Suatu hal yang seharusnya membawa kedamaian dan menuntun orang-orang untuk tidak menyakiti satu sama lain, malah menjadi sebuah ironi.

    Negeri ini sudah memiliki cukup banyak sejarah kelam dalam hal intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Perdamaian menjadi cita-cita yang seakan mustahil. Masalah-masalah dan solusi-solusi ketika membahas isu-isu mengenai intoleransi, radikalisme, dan terorisme bukanlah suatu hal yang baru untuk dipelajari. Semua itu sudah cukup sering kita temukan dari surat kabar, televisi, maupun berita-berita digital. Namun, kesempatan untuk mendengarkan semuanya itu dari orang-orang yang mengalaminya langsung dan bagaimana mereka belajar mengampuni dan pulih dari luka-luka masa lalu adalah suatu pengalaman yang berharga. Pasalnya, setiap orang memiliki pengalaman dan ceritanya masing-masing.

    Begitu juga halnya dengan solusi-solusi untuk menjaga perdamaian. Kita sering membaca atau mendengar kisah orang-orang yang mengusahakan perdamaian dalam berbagai bidang, misalnya seni, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Namun, hal yang lebih menarik adalah ketika belajar bahwa berdamai itu bukan saja suatu tindakan, program, ataupun perencanaan besar yang butuh waktu lama mempersiapkannya. Melainkan bagaimana melalui hal sesederhana mengenal lebih dalam dapat perlahan memangkas stereotype yang bersembunyi di balik hati setiap orang. Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar murni dapat bersikap netral, tanpa stereotype, sekalipun mengerti betapa berbahayanya stereotype yang buta.

    Setelah beberapa kali mengalami diskriminasi oleh orang-orang Muslim karena saya adalah seorang Tionghoa dan Kristen, serta melihat fakta bahwa kebanyakan ormas radikal dan teroris seringkali mengakui identitasnya sebagai Islam. Dengan jujur saya harus mengakui bahwa saya punya stereotype tertentu terhadap orang Muslim. Saya memang tidak membenci mereka dan terus mengusahakan perdamaian, bahkan senang mengikuti acara lintas iman. Namun, selama saya belum mengerti apa yang sebenarnya dipelajari dan dipikirkan oleh teman-teman Muslim yang sejati, maka stereotype itu rasanya sulit untuk dikendalikan. Bagi saya, merupakan sebuah pengalaman berharga ketika bisa berdiskusi dan bertanya jawab dengan saudara-saudari Muslim.

    Saya semakin menyadari kemanusiaan kita. Kita sama-sama benci akan perang, kita sama-sama benci merasakan kehilangan, kita sama-sama benci ditolak, dan kita sama-sama rindu akan perdamaian. Engkau dan aku sama-sama manusia yang memiliki hati nurani yang sama dari Sang Pencipta. Hati nurani untuk hidup dalam kedamaian tanpa pertikaian yang menyebabkan keprihatinan. Kita tidak beda.

    Namun, seberapa banyak orang yang mengerti dan merasakan hal ini? Nyatanya, saudara dan saudari kita cenderung tertutup dan nyaman di dalam lingkungan yang seragam dengan mereka. Siapa musuh kita yang menyebabkan hal ini terjadi? Siapa yang bisa disalahkan ketika kita semua begitu mudah untuk disetir dan diadu oleh oknum-oknum yang mengetahui kelemahan kita demi memuaskan hasrat belaka?

    Terkadang hidup di dalam dunia yang tidak mudah ini membuat banyak orang yang kehilangan akal sehatnya demi memperjuangkan hidup. Tak peduli akan apapun, asal hidup hari ini bisa terlewat dengan selamat. Bahkan tak jarang ‘memakan’ saudara sendiri. Bagi mereka yang hidup cukup dan di atas cukup, ini adalah suatu potret yang mengerikan tetapi ini nyata dan biasa bagi si papa. Kepapaan ini adalah salah satu lingkaran setan yang kemudian melahirkan si goblok. Si papa yang rela disetir melakukan apapun demi bertahan hidup. Si goblok yang tidak memiliki akses pendidikan, tidak mengerti apa-apa, dan mudah diadu. Kemudian keduanya memicu si pongah yang merasa hidupnya aman dan baik-baik saja. Dia malah menganggap si papa dan si goblok adalah pengganggu kenyamanan hidup yang harus disingkirkan. Namun, jika bukan mereka yang harus disingkirkan, lalu sebenarnya ini salah siapa? Pertanyaan ini pun muncul kembali.

    Mungkin oknum-oknum si tukang setir dan tukang adu itu, tetapi mungkin juga si pongah yang sebenarnya merindukan perdamaian itu tanpa mau membayar sebuah harga untuk sebuah perubahan. Si tukang setir dan si tukang adu domba yang menjalankan politik identitas sebagai senjatanya untuk mengeruk keuntungan bagi diri mereka sendiri, tanpa peduli nasib si papa, si goblok, dan si pongah. Akan tetapi, ada juga si pongah yang diharapkan paling dapat merubah keadaan dengan sumber daya yang mereka miliki, tetapi terlalu malas dan kikir untuk membayar harga demi sebuah perubahan.

    Bangunlah, si pongah! Kamu seharusnya bukan si pongah, kamu adalah senjata bagi si papa dan si goblok yang disetir untuk memakan saudaranya sendiri oleh isu agama! Berperanglah lewat pekerjaanmu, kemampuanmu, kecerdasanmu, dan keberanianmu untuk menegakan keadilan dan menyatakan yang salah di tengah begitu banyak yang berpura-pura benar ini.

    Niscaya, si papa, si goblok, dan si pongah akan bersama-sama menyadari kemanusiaannya. Akhirnya perdamaian bukan lagi hal yang mustahil untuk dicapai.

  • A Daily Journal of National Interfaith Youth Camp 2018

    A Daily Journal of National Interfaith Youth Camp 2018

    National Interfaith Youth Camp (IYC) 2018 adalah sebuah pertemuan lintas agama yang diadakan pada tanggal 25-30 Januari 2018 di Pantai Liang, Maluku. IYC 2018 ini bertemakan Counter Violent Extremism.

    Awalnya saya tidak memiliki ekspektasi untuk mengikuti acara ini. Saya hanya mengirim tulisan yang pernah saya tulis setahun yang lalu. Akan tetapi, ternyata saya terpilih sebagai salah satu dari 120 peserta yang diseleksi dari 3000 orang pendaftar dari seluruh provinsi di Indonesia.

    Kebimbangan pun mulai muncul. Dari izin cuti di tengah pekerjaan yang sedang hectic, hingga keraguan h-1 karena takut acaranya tidak seharga pengorbanan pekerjaan saya. Namun, saya bersyukur memutuskan untuk tetap pergi. Sebab di akhir tulisan ini saya akan berkata bahwa ini adalah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan dan sesali.

    Hari 1, 25 Januari 2018

    Saya teringat cerita dari salah seorang sahabat saya, seorang nona (panggilan untuk perempuan Ambon) Ambon manise, yang menceritakan bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya dengan melihat pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Bahkan, ia akhirnya harus pindah ke kota Jakarta dan terpisah dari orangtuanya. Kisah-kisah memilukan dan traumatis itulah yang pada umumnya dialami oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Ambon manise. Sejarah kelam pernah menyelimuti pulau ini pada tahun 1999 sampai 2005.

    Nia, Chad, Apjan, Kak Ati, dan Sammy (Kiri-Kanan)

    Inilah juga yang diceritakan oleh kedua nyong (panggilan untuk laki-laki Ambon) yang saya temui di hari pertama. Chad dan Sammy, mereka adalah pemuda Ambon yang pernah mengalami pahitnya perang dan konflik yang terjadi di tanah para raja ini. Persatuan dan kedamaian adalah cita-cita mereka, dan bahkan juga seluruh saudara di Ambon. Termasuk penyelenggara acara ini, yaitu lembaga Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) yang berada di bawah naungan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Ambon. Cita-cita akan perdamaian menjadi harapan yang tidak hanya diinginkan oleh masyarakat Ambon, tetapi seluruh Indonesia yang saat ini tengah menghadapi berbagai macam bentuk intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

    Acara ini dimulai dengan upacara peresmian yang dilakukan oleh wakil gubernur provinsi Maluku dan direktur PPIM UIN serta direktur ARMC IAIN Ambon. Mereka bersama menyuarakan harapan mereka agar youth camp ini menjadi momentum bangkitnya 120 anak-anak muda yang idealis dan berperan menjaga dan mengusahakan perdamaian bangsa.

    Hari 2, 26 Januari 2018

    Hari ini kami berdiskusi dalam kelompok kecil mengenai masa depan keberagaman di Indonesia serta dinamika gerakan intoleransi, radikalisme, terorisme, dan kekerasan ekstrimis di Indonesia.

    Kami berbagi cerita bagaimana masing-masing kami pernah mengalami diskriminasi. Ada seorang teman dari Ahmadiyah yang di diskriminasi karena perbedaan aliran, ada yang rumahnya pernah dibakar karena konflik agama, ada juga yang pada masa kanak-kanaknya disuruh berperang, dan lain sebagainya.

    Saya pikir masalah-masalah dan solusi-solusi ketika membahas isu-isu mengenai intoleransi, radikalisme, dan terorisme bukanlah suatu hal yang baru untuk dipelajari. Kita sudah terbiasa mendengar semua masalah itu dari surat kabar, televisi, maupun berita-berita digital. Namun, kesempatan untuk mendengarkan semuanya itu dari orang-orang yang mengalaminya langsung dan bagaimana mereka belajar mengampuni dan pulih dari luka-luka masa lalu itu adalah hal yang lebih menarik bagi saya secara pribadi.

    “… berdamai itu bukan suatu kewajiban atau keharusan semata karena ajaran agama dan norma…”

    Begitu juga halnya dengan solusi-solusi untuk menjaga perdamaian. Kita sering membaca atau mendengar kisah orang-orang yang mengusahakan perdamaian dalam berbagai bidang, misalnya seni, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Namun, bagi saya, hal yang lebih menarik adalah ketika belajar bahwa berdamai itu bukan suatu kewajiban atau keharusan semata karena ajaran agama dan norma, tetapi bagaimana perlahan memangkas stereotype yang bersembunyi di balik hati setiap orang. Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar murni dapat bersikap netral, tanpa stereotype, sekalipun mengerti betapa berbahayanya stereotype yang buta.

    Setelah beberapa kali mengalami diskriminasi oleh orang-orang Muslim karena saya seorang Tionghoa dan Kristen, serta melihat fakta bahwa kebanyakan ormas radikal dan teroris seringkali mengakui identitasnya sebagai Islam. Dengan jujur saya mengakui bahwa saya punya stereotype tertentu terhadap orang Muslim. Meskipun saya tidak membenci mereka dan terus mengusahakan perdamaian, bahkan senang mengikuti acara lintas iman. Namun, selama saya belum mengerti apa yang sebenarnya dipelajari oleh teman-teman Muslim, maka stereotype itu rasanya sulit untuk dikendalikan. Sehingga, bagi saya pengalaman berharga selama mengikuti IYC ini adalah ketika bisa berdiskusi dan bertanya jawab dengan saudara-saudari Muslim.

    Hari 3, 27 Januari 2018

    Hari ini kami belajar tentang peran media sosial dan kearifan budaya lokal dalam menangkis intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Hal yang berkesan untuk saya hari ini adalah ketika tidak sengaja saat makan malam bisa bertemu dengan teman-teman Kristen dan Katolik (Ervan dan Felis) dan kami sama-sama membahas gerakan-gerakan mahasiswa Kristen dan Katolik dalam menyikapi isu-isu kebangsaan.

    Hari 4, 28 Januari 2018

    Hari ini kami melakukan outbound dengan teman-teman di kelompok baru dan juga menanam pohon sebagai simbol perdamaian di tanah yang rencananya akan dibangun kampus IAIN yang baru. Semoga 20 tahun lagi, jika saya kembali ke tempat itu, saya dapat melihat pohon duren yang saya tanam dan menikmati buahnya 😀

    Hari 5, 29 Januari 2018

    Hari ini kami melihat prosesi panas pela pendidikan. Pela-gandong adalah kekayaan kebudayaan lokal di Ambon yang memperkuat persaudaraan antara desa dan bahkan agama. Panas pela pendidikan adalah prosesi untuk mengingatkan kembali akan tradisi pela kepada anak-anak muda. Dalam hal ini, kami menyaksikan panas pela pendidikan antara SMPN4 Ambon yang mayoritas siswanya beragama Kristen dan SMPN 9 Ambon yang mayoritas siswanya beragama Islam. Tradisi ini begitu indah dan mengharukan, setidaknya bagi saya yang hidup di ibukota dan jarang melihat umat antar beragama yang dapat hidup rukun. Setelah itu kami makan siang bersama dengan cara patita (makan patita sama seperti makan liwetan di pulau Jawa, berbagai macam makanan khas Ambon disusun memanjang).

    Kemudian kami melakukan kunjungan masyarakat. Kelompok kami mengunjungi kampus IAIN Ambon. Sebenarnya saya cukup kecewa ketika mengetahui akan mengunjungi institusi pendidikan. Jikalau boleh memilih, saya lebih senang mengunjungi tokoh masyarakat di desa-desa atau komunitas seni dan jurnalistik di Ambon. Akan tetapi, mungkin ini juga bagian dari pembelajaran saya selaku staf NGO yang berfokus pada leadership development khususnya pada mahasiswa Kristen di kampus-kampus.

    Dari kunjungan ini, saya semakin melihat secara nyata bahwa peran institusi pendidikan dalam menangkis nilai-nilai intoleransi, radikalisme, dan terorisme semakin penting. Namun, sedihnya banyak institusi pendidikan yang cuek dalam menangani ormas-ormas radikal di kampus. Bahkan institusi pendidikan banyak yang terlibat kepentingan politis. Saya teringat seorang teman di salah satu kampus yang diberi nilai tidak adil oleh dosennya karena masalah agama.

    “Apakah kita harus bersikap toleransi terhadap intoleransi?” Ini adalah pertanyaan yang saya ajukan dalam kelompok diskusi di hari kedua. Sampai kapan kita akan membiarkan toleransi mati perlahan-lahan karena terus mengalah kepada intoleransi? Saya merasa Indonesia begitu miris. Seringkali masyarakatnya yang mayoritas masih kurang berpendidikan dan tertekan karena sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, membuat Indonesia begitu mudah diadu domba demi kepentingan politis oknum-oknum tertentu. Konflik Ambon, tragedi 65, tragedi Mei 98, dan lain sebagainya adalah bukti nyata betapa mirisnya negara kita ini.

    Dalam perjalanan pulang, saya terus berpikir bagaimana caranya menolong orang-orang yang membutuhkan pendidikan, wawasan yang luas, dan kesejahteraan hidup yang ditingkatkan sehingga tidak mudah diadu domba. Saya berpikir, apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang menyadari hal ini, khusunya dalam profesinya masing-masing? Bagaimana seorang guru tidak hanya mengajari murid-muridnya dalam ilmu pengetahuan tetapi menanamkan juga nilai-nilai toleransi? Bagaimana seorang pengusaha turut menyebarkan nilai-nilai toleransi lewat bisnisnya? Bagaimana seorang dokter juga tidak hanya mengobati secara fisik tetapi juga secara mental? Bagaimana seorang mahasiswa/i dapat berani menyatakan nilai-nilai toleransi di kampusnya yang mungkin intoleran? Dan lain sebagainya. Kita butuh aksi yang aktif dan tidak pasif dalam menjaga perdamaian.

    Hari 6, 30 Januari 2018

    Akhirnya, kami tiba di penghujung acara dimana kami membacakan deklarasi perdamaian.

    Saya teringat ketika akan pergi ke bandara Soekarno-Hatta untuk terbang ke Ambon dan mengikuti acara ini, saya sangat takut acara ini tidak sesuai dengan harapan saya. Namun, seperti yang saya tuliskan di awal tulisan ini dan juga saya sampaikan dalam kesan pesan peserta di acara penutupan, saya tidak akan pernah menyesal menjadi bagian dari Interfaith Youth Camp ini.

    Jika saya dapat menyimpulkan pelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan selama IYC 2018, maka musuh sebenarnya yang harus kita perangi bukanlah sesama kita yang berbeda secara lahiriah. Musuh kita yang sebenarnya adalah karakter yang tidak berprikemanusian, pendidikan yang rendah, dan kemiskinan yang menekan bangsa ini. Kita membutuhkan orang-orang idealis yang mau bangkit demi memerangi masalah-masalah ini agar bangsa kita tidak mudah menjadi provokator dan diprovokasi untuk memecah persatuan.

    Terima kasih

    Kepada orang-orang yang juga berkesan bagi saya di bawah ini:

    IMG-20180201-WA0015
    Adik-adikku Nia dan Apjan serta Kakakku Ati. Semoga Nia dan Apjan sukses dalam perkuliahannya dan Kak Ati bisa menjadi vikaris GMIT yang menjadi berkat di Kupang.
    IMG_2277
    Kelompok 10 ‘Kau ini bagaimana?’ yang terkocak dan tersweet. Gak akan lupa sama artis-artis di dalamnya: Raisa, Kim Jong Un, AHY, Veronica Tan, Adipati Dolken, Aming, Host Katakan Putus. Serta becandaan-becandaan jayus kita dan mainan sambung kata di malam itu.
    fbt
    Peserta IYC pertama yang kutemui di bandara Soetta pas mau pergi, Ubay. Aku kagum banget sama kepintaranmu dan caramu menjelaskan semua pertanyaanku. Thanks berat uda jawab pertanyaan-pertanyaanku soal jihad, wahabi, dan penafsiran surat al-maidah yang jawabannya menurutku logis banget. Semoga cita-citamu tercapai yah bay :*
    sdr
    Kak Dini yang kebetulan semeja waktu ngemil di sore hari dan ngobrol non stop sampai tengah malam. Aku terkesan banget sama cerita persahabatanmu dengan orang-orang Kristen dan Tionghoa. Semoga cita-cita kakak untuk membangun kota Padang bisa tercapai yah kak :*
    fbt
    Mamake Iqra sekaligus Ibu Negara Kelompok 10, semoga kakak dan bang Hendrik bisa terus berkarya membangun Papua yah kak 🙂
    fbt
    Fany, adik setendaku yang imut. Thanks yah uda mau cerita sama aku tentang cita-citamu, semoga kamu benar-benar bisa membangun bangsa lewat karirmu nanti. See you on top!
    rptoz
    Sahid yang gaya ngomongnya selalu ngangenin dan selalu berusaha ngomong Mandarin sama aku. Terus semangat belajar bahasa yah broo!
    sdr
    OM Dean. Jujur, first impression ku liat kamu langsung keinget AHY. Hahaha… Seneng bisa ngobrol banyak sama kamu soal pelayanan. Terus semangat bertumbuh dalam Dia dan semangat melayani sebagai guru di Makassar ya OM!!
    IMG-20180128-WA0036
    Kak Tari, Ester yang ternyata anak PMK Jambi, dan Michelle yang banyak berbagi ilmu filsafat denganku. Bakal kangen berat deh waktu kita nyebur tanpa tahu bajunya masih mau dipake buat nanam pohon. Hahahaha…
    fbt
    Chad, seneng banget di hari pertama bisa ngobrol banyak sama kamu dan Sammy. Sukses kuliah musiknya, semoga kapan-kapan aku bisa denger musikmu 🙂
    sdr
    Kak Yulia yang ternyata anak PMK USU. Selalu terpesona sama kecantikan kakak yang satu ini, semoga hatop lulus S2-nya dan hatop mangoli yah kak :*
    rptoz
    Bang Mamad yang selalu kocak dan sesama penyuka lagu Indie. Widy yang jadi deket gara-gara duduk sebelahan di pesawat. Aku kagum sama besarnya bebanmu sebagai aktivis kemanusiaan, semoga kelak aku juga bisa berkunjung ke Kenya dan daerah-daerah di Afrika sana buat membantu 🙂
    ptroz
    Febhy yang ternyata sesama penyuka film dan lagu India. Setiap ngomong sama kamu ga pernah bosen deh soalnya ada aja yang kamu omongin, apalagi pembicaraan kita sebelum ambil foto ini. Doain yah supaya cepet nyusul kayak kamu. Hahahaha…
    IMG-20180131-WA0108
    Jo, my little brother yang selalu jagain jie-jie nya ini waktu snorkling. Semoga lulus sidangnya dan bisa lanjut S2 yaah adikkuuu :*

    Teman-teman terkasih yang gak ada foto bareng: Kak Abah (bapake para peserta), Caca Lynda, Bang Embong, dan semua peserta lainnya yang gak bisa disebutin satu-satu 😀

    “Potong di kuku, rasa di daging. Sagu salempeng dipata dua.” artinya di saat kamu merasa sakit, maka aku juga ikut merasakan sakit. Karena, kita adalah satu.

    All thanks and glory to Lord for this experience.

    Dengar juga testimoni teman-teman lainnya: