Tag: Community

  • Bercanda

    Bercanda

    Setiap orang biasanya memiliki gaya bercanda sendiri. Ada yang suka membayangkan sesuatu yang konyol dan kemudian menceritakannya sebagai bahan canda. Ada yang sering menjadikan kelemahan fisik atau karakter seseorang sebagai bahan canda. Ada yang sering mengisengi orang, misalnya, dengan memperdaya atau melalui sentuhan fisik, dan lain sebagainya.

    Apapun gaya bercandanya, kebanyakan orang senang dengan yang namanya bercanda. Mengapa? Karena bercanda adalah sesuatu yang menyenangkan, menimbulkan gelak tawa, dan suatu proses untuk semakin mendekatkan diri dengan orang lain. Namun bercanda juga bisa menjadi suatu hal yang tidak menyenangkan dan merusak relasi jika hal itu dianggap keterlaluan oleh kaum yang biasa disebut “sensitif”.

    Mengapa setiap orang bisa memberikan reaksi yang berbeda-beda walaupun canda yang diberikan sama? Berdasarkan pengamatan dan perenungan dari apa yang saya dan beberapa orang di sekitar saya alami belakangan ini, saya menemukan bahwa pengenalan diri seseorang adalah faktor penting untuk memulai canda. Hal ini menjadi penting karena kita tidak tahu seberapa besar tingkat sensitivitas orang lain terhadap objek bercanda kita. Lalu, apa yang mempengaruhi tingkat sensitivitas yang berbeda-beda ini? Jawabannya bermacam-macam, ada yang karena pengaruh didikan keluarga, PMS (khusus wanita), mood, dan pengalaman pahit di masa lalu.

    Saya senang bercanda dengan seorang teman melalui omongan sarkasme tentang kelemahan yang dia miliki. Namun tentu saja, saya tidak dapat menerapkan gaya bercanda seperti ini kepada semua teman saya. Dimulai dari pengamatan ketika dia bercanda dengan teman-teman lainnya, berlanjut ke pembicaraan yang dangkal hingga dalam tentang kehidupannya di masa lalu dan kini. Semua hal itu membuat saya mengenal dan mengerti apa yang dapat membuatnya tersinggung dan tidak. Akan tetapi, saya juga pernah gagal dalam mengamati dan mengenali teman yang satu lagi. Saya pikir omongan saya tidak akan membuatnya tersinggung, nyatanya dia tersinggung dan marah. Ternyata setelah mengevaluasi diri, saya memang tidak terlalu mengenalnya.

    Ketika kita bercanda, kita pasti akan melontarkan canda yang jikalau itu dilontarkan kepada diri sendiri maka kita tidak akan marah. Akan tetapi kita harus mengerti bahwa tidak semua orang memiliki perasaan dan pengalaman seperti kita. Mungkin tidak masalah bagi kita jika seseorang bercanda kepada kita dengan mengatakan, “Bego banget sih lu!”. Namun, bagi orang lain, bisa jadi itu adalah penghinaan ketika dia tumbuh besar di keluarga yang orang tuanya tidak pernah memuji dirinya. Bahkan, kata-kata tersebut yang sering keluar dari mulut mereka.

    Ketika kita bercanda, kita juga mungkin tidak peka dengan masalah, pergumulan, atau masa lalu yang pernah dialami oleh teman kita. Sehingga kita tidak belajar memposisikan diri di tempatnya. Padahal kita mungkin juga akan marah jikalau kita menjadi dia.

    Bercanda harus didasari dengan kasih. Bercanda bukan untuk menyenangkan diri kita sendiri padahal ternyata tidak bagi orang lain. Sekali lagi, kita harus peka dengan kondisi orang lain dan belajar memahami kerapuhan orang lain. Serta, kita harus berbelas kasih melihat seseorang yang sebenarnya menderita karena masalah atau masa lalunya itu.

    Di satu sisi sebagai pihak yang sensitif, kita juga perlu belajar untuk terbuka mengatakan alasan bahwa kita tidak senang dengan canda yang dilontarkan oleh teman kita. Pasalnya teman-teman kita juga bukanlah orang-orang sempurna yang dapat selalu peka dan mengerti kondisi kita. Namun, kita juga perlu belajar menerima teman kita apa adanya. Dan, bijaklah untuk tidak menempatkan ego kita di atas segalanya sehingga kita menjadi orang yang mudah marah dan memusuhi teman kita yang sensitif.

    Terakhir, perlu kerendahan hati bagi kita, si tukang bercanda, untuk menerima kenyataan bahwa lelucon kita bisa jadi memang menyakitkan. Kerendahan hati juga diperlukan bagi kaum sensitif, inilah titik kelemahan kita. Jangan merasa stres seolah-olah kita adalah orang yang tidak dapat diajak bercanda. Setiap orang memiliki pemicu dan tingkat sensitivitas yang berbeda-beda.

    Alangkah indahnya apabila semua dari kita dapat menjadi rendah hati, baik bagi tukang bercanda maupun kaum sensitif untuk tidak saling menghakimi dan belajar saling memahami.

    Ah, saya pun juga harus banyak belajar…

  • Dr. Frost

    Dr. Frost

    (Juga dimuat di Ignite GKI)

    Saya selalu merasa diri saya adalah seseorang yang tidak pernah berhasil dalam apapun yang saya kerjakan. Saya selalu dihantui dengan kata-kata ini, “Kamu tidak akan bisa. Lupakan saja dan berhenti mempermalukan dirimu sendiri.”, ketika saya tertantang untuk melakukan suatu tanggung jawab yang besar.

    Ada sesuatu yang salah dalam diri saya tanpa saya sadari. Hal itu berlangsung hingga saya menempuh dunia perkuliahan. Namun saya baru benar-benar mengerti ketika saya lulus bahwa ada hal-hal yang belum dibereskan di masa lalu saya. Saya yakin kebanyakan dari kita juga memiliki sesuatu yang salah dalam diri kita, baik secara disadari maupun tidak disadari. Setiap orang memilikinya dan bagaimana kita dapat menjelaskan hal ini?

    Pernah mendengar tentang Dr. Frost? Dr. Frost adalah sebuah Line Webtoon yang bertemakan psikologi. Suatu tema unik yang jarang ditemukan di dalam genre komik. Pembahasannya cukup dalam dan berat karena banyak memakai istilah psikologi. Ketika membaca chapter pertama dari webtoon ini, saya langsung jatuh cinta pada Dr. Frost. Bukan karena tokohnya yang ganteng, tetapi karena bagaimana Dr. Frost mampu membaca pikiran seseorang yang baru saja dia temui melalui kondisi psikologis orang tersebut.

    Dr. Frost kemudian diminta untuk menjadi seorang profesor departemen psikologi di sebuah universitas. Di tempat itulah, Dr. Frost mengkonseling berbagai macam kasus psikologis yang dihadapi orang-orang dari segala latar belakang dan usia.

    Saya sangat mengapresiasi creator dari webtoon ini Mr. Jongbeom Lee. Untuk membuat webtoon dengan cerita yang dalam dan rumit ini pastilah tidak mudah. Selain bersumber dari ilmu yang pernah dia pelajari semasa kuliahnya, yaitu jurusan psikologi, dia juga berkonsultasi dengan seorang PHD psikologi, kepala klinik konseling, dan kepala departemen psikologi di sebuah universitas di Korea.

    Terdapat berbagai kasus yang ditangani Dr. Frost seperti narcissistic disorientation (kecintaan kepada diri yang berlebihan), panic disorder (kecemasan yang luar biasa), social anxiety disorder (perasaan malu dan rendah diri yang tidak wajar), dll. Yang masuk akal adalah, semua disorientasi itu kebanyakan disebabkan oleh hal-hal yang terjadi di masa lalu. Hal-hal itu secara disadari atau tidak disadari telah membawa dampak dalam kondisi psikologis para penderitanya ketika dewasa.

    Salah satu contoh kasus yang diceritakan adalah tentang seorang pemuda yang sangat over confident, dia sangat bangga menceritakan apa yang dia miliki, achievement apa saja yang sudah dia peroleh, dsb. Namun dia tidak pernah berhasil dalam hal relationship, padahal sudah 17 kali dia menjalin hubungan dengan wanita. Entah dia yang merasa tidak cocok atau wanitanya yang merasa tidak cocok, alhasil hubungannya selalu berakhir gagal. Usut diusut, ternyata dia memiliki masa lalu yang tidak baik dengan ibunya yang kaku, selalu menuntut, lebih dominan dari ayahnya, dan tidak pernah bersimpati dengan anaknya sendiri (umumnya anak-anak dari keluarga Asia pernah merasakan hal ini). Lama kelamaan, pemuda ini tumbuh dewasa dengan mencari simpati dari orang lain, khususnya wanita karena dia tidak pernah merasakan hal tersebut dari wanita terdekatnya yaitu ibunya sendiri.

    45

    Membaca webtoon ini mengingatkanku akan suatu bagian dari Alkitab yang berbicara tentang asal usul manusia.

    Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita…” – Kejadian 1:26

    Ketika Allah menciptakan manusia, Dia menciptakan gambar diri-Nya sendiri pada diri manusia. Manusia adalah selem (ukiran), representasi Allah bagi seluruh ciptaan lainnya. Tetapi ketika manusia jatuh dalam dosa, maka gambar Allah dalam diri manusia rusak. Gambar diri yang rusak itu digantikan dengan hal-hal yang salah.

    Begitu banyak anak-anak muda tumbuh dengan mencari jati diri, identitas diri, eksistensi diri pada hal-hal duniawi. Misalnya idola, dongeng, komik, game, drama korea, dsb. Gambar diri yang salah juga membuat banyak orang, baik yang muda maupun dewasa merasa dirinya tidak berguna, rendah diri, atau bahkan sebaliknya.

    3

    Efesus 2:10 menyatakan bahwa kita ini adalah buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik yang sudah ditetapkan-Nya. Hanya di dalam karya penebusan Kristus lah, kita dapat menjadi diri kita yang seharusnya (sesuai dengan tujuan mengapa kita diciptakan). Gambar diri kita dipulihkan dari kerusakan. Sehingga kita dapat mengerjakan pekerjaan baik, kehendak Allah dalam hidup setiap kita.

    Saya bersyukur ada di tengah komunitas orang-orang percaya yang dapat menolong memulihkan gambar diri saya yang rusak. Hal-hal yang saya ceritakan di awal adalah pengaruh dari banyak hal yang terjadi dalam hidup saya sejak masa kecil. Semua itu mempengaruhi gambar diri dan kepribadian saya. Saya pernah merasa tidak dihargai oleh orangtua saya, saya melihat teladan relasi yang tidak baik dari orangtua saya, saya pernah dikhianati, dijauhi, dan di-bully oleh teman-teman terdekat saya ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Secara tidak saya sadari, semua kejadian itulah yang akhirnya membentuk diri saya menjadi seseorang yang pendiam, minder, tidak pernah merasa berhasil dalam pekerjaan apapun, cuek, malas bergaul, selalu bergantung kepada orang lain, dan menuntut kesempurnaan dalam suatu hubungan.

    Dalam komunitas, saya diajarkan untuk mengampuni mereka, orangtua dan yang bahkan sampai sekarang pun saya tidak ingat yaitu teman-teman SD yang sudah menjauhi saya. Hingga akhirnya perlahan demi perlahan, saya belajar melihat bagaimana Tuhan sebenarnya bekerja dalam hidup saya.

    Namun apakah itu artinya diri saya sudah pulih sempurna? Tentu saja belum sepenuhnya. Saya masih berjuang menghadapi apa yang masih saya rasakan dan hadapi sehari-hari, khususnya hal-hal yang dapat mengingatkan saya akan masa lalu. Tetapi saya menghadapinya dengan satu pikiran yang baru, yaitu Kristus sudah menebus semua masa lalu saya. Satu hal yang juga penting adalah keterbukaan. Tanpa keterbukaan untuk menceritakan semua masalah yang saya rasakan dan hadapi, maka sangat sulit untuk saya dapat menyadari hal-hal yang belum dibereskan dalam masa lalu saya. Keterbukaan adalah awal dari pemulihan.

    Dr. Frost mungkin bisa mengkonseling dan mengatasi masalah kepribadian seseorang. Tapi dia tidak akan mampu memberikan arti dan tujuan hidup manusia yang sebenarnya kepada orang yang datang konseling kepadanya. Hanya di dalam Kristus, satu-satunya pribadi yang mampu merestorasi gambar diri yang rusak dan memberikan kepada kita arti dan tujuan hidup yang sebenarnya.

    “People see the world through the eyes of their own beliefs. But if necessary, we must be able to correct those beliefs for other peoples.” – Dr. Frost (ep.28)

  • Sampah Daur Ulang

    Sampah Daur Ulang

    Kemarin saya menginap di kos seorang sahabat rohani saya, kami banyak bercerita khususnya tentang pengalaman pelayanan yang baru saja dia alami. Dia bercerita bahwa dia sempat mengalami hard feeling dengan rekan sepelayanannya yang membuat dia tidak lagi semangat melayani, apalagi begitu sibuk dan banyak tekanan atau harga yang harus dibayar di tengah mengerjakan pelayanan itu.

    Perjalanan pelayanan Paulus juga bukanlah perjalanan yang mudah, ada banyak tantangan dari luar seperti yang sudah banyak kita bahas di minggu-minggu sebelumnya. Tapi Paulus juga mendapat tantangan dari dalam komunitas yang dapat menurunkan semangatnya dalam mengerjakan pelayanan. Pada kali ini, kita akan mempelajari pengalaman hidup Paulus yang mengalami konflik dengan rekan sepelayanannya.

    Kisah Para Rasul 15:36-40

    Konflik Paulus disini disebabkan oleh perbedaan pendapat dengan Barnabas. Konflik ini jelas menambah beban pikiran dalam diri Paulus maupun Barnabas. Sudah mengalami penganiayaan, mengalami konflik pula dengan orang yang sudah dari awal bersama-sama sepenanggung dalam penderitaan mengerjakan pelayanan ini. Kata yang dipakai LAI untuk menggambarkan konflik ini adalah “perselisihan yang tajam” (paroxysm) suatu ungkapan amarah yang meledak, Apalagi konflik ini bukan konflik yang dimana salah satunya jelas salah, tapi keduanya sama-sama benar.

    Melihat dari kacamata Paulus:

    Markus pernah meninggalkan mereka di tengah pelayanan di pulau Siprus karena kemungkinan tidak tahan dengan penderitaan yang mereka harus tanggung. Hal ini jelas akan merepotkan perjalanan misi mereka yang akan melangkah ke tempat-tempat yang lebih jauh dan tidak tahu penderitaan macam apa yang akan terjadi pada mereka selama perjalanan.

    Melihat dari kacamata Barnabas:

    Barnabas memiliki relasi yang dekat dengan Markus (bahkan di Kolose 4:10 menyebutkan bahwa mereka adalah saudara sepupu), jelas Barnabas memiliki kepercayaan yang besar kepada Markus. Walau tidak diceritakan dalam Alkitab, mungkin Barnabas dan Markus punya waktu-waktu sharing pribadi selama ada kesempatan untuk bertemu atau berkirim surat. Barnabas yakin bahwa Markus sudah lebih matang dan bertumbuh imannya. Pikirnya mengapa kita tidak memberikannya kesempatan kedua?


    Bukanlah suatu konflik yang mudah diselesaikan ketika kedua belah pihak sama-sama benar. Walaupun “perselisihan yang tajam” itu terjadi juga dan mungkin ketika melihat ke belakang, Paulus dan Barnabas akan merasa malu bahwa hal itu pernah terjadi (mengingat di surat-surat Paulus beikutnya, dia banyak berbicara tentang kesatuan dan konflik). Akan tetapi Allah sanggup memakai kesalahan dan dosa manusia sebagai bagian untuk menggenapkan rencana-Nya.

    Markus di kemudian hari menjadi rekan sekerja Paulus, beberapa kali namanya disebutkan dalam surat-surat Paulus sampai di detik-detik akhir hidup Paulus (2 Tim. 4:11).

    Silas atau disebut juga Silwanus dalam surat kepada jemaat di Tesalonika juga adalah orang yang berperan penting dalam membantu pelayanan yang dikerjakan Paulus.

    Barnabas, namanya dipuji oleh Paulus dalam surat 1 Korintus 9:6 karena kerelaannya dalam membayar harga walaupun Barnabas pernah mengalami kejatuhan dalam surat Galatia 2.

    Seorang pengkhotbah pernah berkata, “Kita sebenarnya tidak akan pernah bisa menolong Tuhan lewat pelayanan kita. Yang ada kita justru membuat Tuhan semakin repot, karena pelayanan yang kita kerjakan tidak mungkin akan sesempurna apabila Dia yang mengerjakan.”

    Tapi seperti sampah yang didaur ulang hingga menjadi sesuatu yang indah, ternyata dibalik kelemahan dan kebodohan kita sebagai manusia berdosa, Tuhan sedang bekerja di balik layar untuk menolong kita dan juga membentuk kita melalui kesalahan, penyesalan, tangisan pertobatan, sehingga semua menjadi indah pada akhirnya.

    (Additional notes from my co-worker, Paulus dan Barnabas tetap bertahan mengerjakan pelayanan itu walaupun ada konflik yang memecahkan mereka. Mengapa? Jawabannya adalah karena konflik itu bukan didasarkan pada kepentingan pribadi, melainkan kepentingan Injil. Walaupun konflik itu menyebalkan dan sebisa mungkin tidak dibuat-buat dengan sengaja, tetapi alangkah indahnya apabila di dalam suatu komunitas, konflik yang terjadi bukan karena kepentingan diri melainkan demi Injil dapat diberitakan.)

    Kisah Para Rasul 16:1-5

    Paulus pergi dengan Silas dan disini bertemu dengan seorang anak remaja bernama Timotius. Hal yang unik dalam perikop ini adalah Paulus menyunatkan Timotius yang adalah campuran Yunani dan Yahudi (ibunya adalah orang Yahudi, dan pada saat itu identitas ras seseorang lebih condong mengikuti ibu). Entah apa yang menyebabkan Paulus bisa jatuh hati pada Timotius sampai ingin mengangkatnya menjadi murid, tapi yang jelas tindakan Paulus disini bisa dibilang tidak konsisten dengan Galatia 2 dimana Titus dilarang untuk melakukan sunat.

    Kisah Para Rasul 16:3 (TB) “dan Paulus mau, supaya dia menyertainya dalam perjalanan. Paulus menyuruh menyunatkan dia karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa bapanya adalah orang Yunani.”

    Tapi tunggu dulu, kita melihat sebuah konteks yang berbeda antara case Timotius dan Titus. Titus dituntut oleh orang-orang Yahudi di sekitarnya untuk melakukan sunat agar menerima keselamatan. Sedangkan Timotius?

    Tampaknya ini adalah aplikasi dari prinsip yang dipegang Paulus dalam 1 Korintus 9:19-23. Menyunatkan Timotius adalah strategi Paulus untuk menjangkau orang-orang Yahudi dengan efektif, agar mereka tidak langsung ditolak oleh orang-orang Yahudi.

    Apa yang dapat dipelajari dari kisah ini? Mungkin kita harus mengeluarkan effort lebih demi penginjilan, pemuridan, dsb. Mungkin juga itu sebenarnya adalah hal yang tidak suka kita kerjakan. Tapi Kristus pun juga melakukan hal yang sama ketika Dia bereinkarnasi menjadi manusia, siapa yang suka menderita disiksa dan disalib? Karena manusia sudah menolak-Nya dan tidak mau mencari Dia, maka Dia datang sendiri sebagai manusia untuk menjangkau manusia yang berdosa. Kiranya kita dapat menjadi semakin serupa dengan Kristus dalam pelayanan ini, rela memberi effort lebih bahkan mungkin lebih merepotkan diri sendiri demi kepentingan Injil diberitakan.

    “Kita kadang kala berpikir akan enak apabila hidup ini tidak rumit, akan tetapi hidup ini rumit dan kerumitan itu bermakna penting. Semua itu adalah bagian dari dunia Allah dan karya Allah.” – N.T. Wright

    (Ditulis saat mempersiapkan sharing Firman di Persekutuan Doa Kantor Perkantas Jakarta tanggal 19 Februari 2016)