Kemarin saya menginap di kos seorang sahabat rohani saya, kami banyak bercerita khususnya tentang pengalaman pelayanan yang baru saja dia alami. Dia bercerita bahwa dia sempat mengalami hard feeling dengan rekan sepelayanannya yang membuat dia tidak lagi semangat melayani, apalagi begitu sibuk dan banyak tekanan atau harga yang harus dibayar di tengah mengerjakan pelayanan itu.
Perjalanan pelayanan Paulus juga bukanlah perjalanan yang mudah, ada banyak tantangan dari luar seperti yang sudah banyak kita bahas di minggu-minggu sebelumnya. Tapi Paulus juga mendapat tantangan dari dalam komunitas yang dapat menurunkan semangatnya dalam mengerjakan pelayanan. Pada kali ini, kita akan mempelajari pengalaman hidup Paulus yang mengalami konflik dengan rekan sepelayanannya.
Kisah Para Rasul 15:36-40
Konflik Paulus disini disebabkan oleh perbedaan pendapat dengan Barnabas. Konflik ini jelas menambah beban pikiran dalam diri Paulus maupun Barnabas. Sudah mengalami penganiayaan, mengalami konflik pula dengan orang yang sudah dari awal bersama-sama sepenanggung dalam penderitaan mengerjakan pelayanan ini. Kata yang dipakai LAI untuk menggambarkan konflik ini adalah “perselisihan yang tajam” (paroxysm) suatu ungkapan amarah yang meledak, Apalagi konflik ini bukan konflik yang dimana salah satunya jelas salah, tapi keduanya sama-sama benar.
Melihat dari kacamata Paulus:
Markus pernah meninggalkan mereka di tengah pelayanan di pulau Siprus karena kemungkinan tidak tahan dengan penderitaan yang mereka harus tanggung. Hal ini jelas akan merepotkan perjalanan misi mereka yang akan melangkah ke tempat-tempat yang lebih jauh dan tidak tahu penderitaan macam apa yang akan terjadi pada mereka selama perjalanan.
Melihat dari kacamata Barnabas:
Barnabas memiliki relasi yang dekat dengan Markus (bahkan di Kolose 4:10 menyebutkan bahwa mereka adalah saudara sepupu), jelas Barnabas memiliki kepercayaan yang besar kepada Markus. Walau tidak diceritakan dalam Alkitab, mungkin Barnabas dan Markus punya waktu-waktu sharing pribadi selama ada kesempatan untuk bertemu atau berkirim surat. Barnabas yakin bahwa Markus sudah lebih matang dan bertumbuh imannya. Pikirnya mengapa kita tidak memberikannya kesempatan kedua?
Bukanlah suatu konflik yang mudah diselesaikan ketika kedua belah pihak sama-sama benar. Walaupun “perselisihan yang tajam” itu terjadi juga dan mungkin ketika melihat ke belakang, Paulus dan Barnabas akan merasa malu bahwa hal itu pernah terjadi (mengingat di surat-surat Paulus beikutnya, dia banyak berbicara tentang kesatuan dan konflik). Akan tetapi Allah sanggup memakai kesalahan dan dosa manusia sebagai bagian untuk menggenapkan rencana-Nya.
Markus di kemudian hari menjadi rekan sekerja Paulus, beberapa kali namanya disebutkan dalam surat-surat Paulus sampai di detik-detik akhir hidup Paulus (2 Tim. 4:11).
Silas atau disebut juga Silwanus dalam surat kepada jemaat di Tesalonika juga adalah orang yang berperan penting dalam membantu pelayanan yang dikerjakan Paulus.
Barnabas, namanya dipuji oleh Paulus dalam surat 1 Korintus 9:6 karena kerelaannya dalam membayar harga walaupun Barnabas pernah mengalami kejatuhan dalam surat Galatia 2.
Seorang pengkhotbah pernah berkata, “Kita sebenarnya tidak akan pernah bisa menolong Tuhan lewat pelayanan kita. Yang ada kita justru membuat Tuhan semakin repot, karena pelayanan yang kita kerjakan tidak mungkin akan sesempurna apabila Dia yang mengerjakan.”
Tapi seperti sampah yang didaur ulang hingga menjadi sesuatu yang indah, ternyata dibalik kelemahan dan kebodohan kita sebagai manusia berdosa, Tuhan sedang bekerja di balik layar untuk menolong kita dan juga membentuk kita melalui kesalahan, penyesalan, tangisan pertobatan, sehingga semua menjadi indah pada akhirnya.
(Additional notes from my co-worker, Paulus dan Barnabas tetap bertahan mengerjakan pelayanan itu walaupun ada konflik yang memecahkan mereka. Mengapa? Jawabannya adalah karena konflik itu bukan didasarkan pada kepentingan pribadi, melainkan kepentingan Injil. Walaupun konflik itu menyebalkan dan sebisa mungkin tidak dibuat-buat dengan sengaja, tetapi alangkah indahnya apabila di dalam suatu komunitas, konflik yang terjadi bukan karena kepentingan diri melainkan demi Injil dapat diberitakan.)
Kisah Para Rasul 16:1-5
Paulus pergi dengan Silas dan disini bertemu dengan seorang anak remaja bernama Timotius. Hal yang unik dalam perikop ini adalah Paulus menyunatkan Timotius yang adalah campuran Yunani dan Yahudi (ibunya adalah orang Yahudi, dan pada saat itu identitas ras seseorang lebih condong mengikuti ibu). Entah apa yang menyebabkan Paulus bisa jatuh hati pada Timotius sampai ingin mengangkatnya menjadi murid, tapi yang jelas tindakan Paulus disini bisa dibilang tidak konsisten dengan Galatia 2 dimana Titus dilarang untuk melakukan sunat.
Kisah Para Rasul 16:3 (TB) “dan Paulus mau, supaya dia menyertainya dalam perjalanan. Paulus menyuruh menyunatkan dia karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa bapanya adalah orang Yunani.”
Tapi tunggu dulu, kita melihat sebuah konteks yang berbeda antara case Timotius dan Titus. Titus dituntut oleh orang-orang Yahudi di sekitarnya untuk melakukan sunat agar menerima keselamatan. Sedangkan Timotius?
Tampaknya ini adalah aplikasi dari prinsip yang dipegang Paulus dalam 1 Korintus 9:19-23. Menyunatkan Timotius adalah strategi Paulus untuk menjangkau orang-orang Yahudi dengan efektif, agar mereka tidak langsung ditolak oleh orang-orang Yahudi.
Apa yang dapat dipelajari dari kisah ini? Mungkin kita harus mengeluarkan effort lebih demi penginjilan, pemuridan, dsb. Mungkin juga itu sebenarnya adalah hal yang tidak suka kita kerjakan. Tapi Kristus pun juga melakukan hal yang sama ketika Dia bereinkarnasi menjadi manusia, siapa yang suka menderita disiksa dan disalib? Karena manusia sudah menolak-Nya dan tidak mau mencari Dia, maka Dia datang sendiri sebagai manusia untuk menjangkau manusia yang berdosa. Kiranya kita dapat menjadi semakin serupa dengan Kristus dalam pelayanan ini, rela memberi effort lebih bahkan mungkin lebih merepotkan diri sendiri demi kepentingan Injil diberitakan.
“Kita kadang kala berpikir akan enak apabila hidup ini tidak rumit, akan tetapi hidup ini rumit dan kerumitan itu bermakna penting. Semua itu adalah bagian dari dunia Allah dan karya Allah.” – N.T. Wright
(Ditulis saat mempersiapkan sharing Firman di Persekutuan Doa Kantor Perkantas Jakarta tanggal 19 Februari 2016)
Leave a Reply