Category: Pendalaman Alkitab

  • 70×7

    70×7

    Pada tahun 2014, Indonesia digegerkan dengan kasus pembunuhan Ade Sara. Siapakah dia? Ade Sara adalah anak perempuan semata wayang yang dibunuh dengan keji setelah sebelumnya disiksa oleh mantan pacar dan pacar baru mantannya. Motifnya dilakukan karena sakit hati dan cemburu. Bahkan pelaku pembunuhan Ade Sara waktu itu seperti tidak menunjukkan perasaan bersalah. Di foto yang beredar dalam berita, pelaku masih bisa tersenyum seolah bangga dengan perbuatannya. Namun, hal apa yang membuat kasus ini berkesan dan berbeda dari kasus-kasus pembunuhan lainnya?

    Orangtua Ade Sara ternyata memutuskan untuk mengampuni pelaku pembunuhan anak semata wayang mereka. Bahkan disebutkan dalam berita bahwa mereka sering menjenguk pelaku dalam penjara dan menjalin silahturami dengan keluarga pelaku. Tentunya ini bukanlah suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Rasanya pasti sangat sulit untuk mengampuni orang yang sudah merebut nyawa orang yang kita kasihi, apalagi anak semata wayang kita sendiri. Namun apa yang mendorong orangtua Ade Sara mau mengampuni dan memaafkan pelaku pembunuhan anak semata wayangnya?

    Sebelumnya, mari kita membaca Matius 18:21-35.

    Perikop ini dibuka dengan pertanyaan Petrus kepada Tuhan Yesus tentang seberapa kali seseorang harus mengampuni orang yang berbuat dosa kepadanya. Kita tidak tahu apa motif Petrus menanyakan hal ini, mungkin dia sedang bergumul mengasihi temannya, sesama murid Tuhan Yesus mengingat sebelumnya terjadi perdebatan mengenai siapakah yang terbesar di antara mereka. Atau bisa jadi Petrus ingin menunjukkan dirinya yang mampu mengampuni lebih banyak (7 kali) daripada yang diajarkan rabbi-rabbi pada zaman itu yaitu hanya 3 kali pengampunan saja (Ayub 33:29). Tetapi menarik jawaban Tuhan Yesus yang mengatakan bahwa kita harus mengampuni bukan hanya 7 kali saja, tetapi 70 x 7 kali. Apa maksudnya 70 x 7 kali? 490 kali kah batas kesabaran kita untuk mengampuni orang lain? Tidak, Yesus rupanya sedang menggambarkan bahasa hiperbola yang merujuk kepada Kejadian 4:23-24 mengenai dendam dalam generasi Kain dan Lamekh. Jika Lamekh pada saat itu berbangga dengan perbuatannya yang membalaskan dendam sampai 70 kali lipat kepada orang yang memukulnya, maka Yesus berkata disini bahwa 7 x 70 kali lipat adalah sesuatu yang terlampau banyak untuk dilakukan sehingga tidak akan seseorang mampu menghitungnya dalam memberi pengampunan kepada orang yang mengulang-ngulang kesalahan yang sama sekali pun kepadanya. Selain itu angka 7 merupakan angka yang melambangkan kesempurnaan bagi budaya orang Yahudi. Bagi Yesus tidak ada batas kesabaran dalam mengampuni orang lain. Pengampunan bukanlah suatu hal yang kuantitatif bagi Yesus tetapi sesuatu yang seharusnya bersifat kualitatif, artinya Yesus mengajarkan bahwa pengampunan bukan sesuatu yang seharusnya diperhitungkan.

    Yesus menjelaskan lebih lanjut dengan perumpamaan seorang Raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-hamba yang berhutang kepada Raja tersebut. Ada seorang hamba yang berhutang 10 ribu talenta. Tentunya pendengar perumpamaan Yesus pada zaman itu akan terkejut mendengar angka yang begitu fantastis. Sepuluh ribu talenta pada zaman itu setara dengan 50-100 juta hari upah seorang pekerja harian atau setara dengan 12 juta dollar dalam kurs kita saat ini. Bahkan pemasukkan tahunan Raja Herodes pada saat itu hanya 900 talenta dan jumlah pajak di Galilea dan Berea saat itu jika digabungkan hanyalah 200 talenta. Namun, orang ini digambarkan berhutang 10 ribu talenta. Jumlah yang sangat banyak sehingga orang ini seharusnya tidak dapat melunasi hutangnya bahkan sekalipun dia bekerja seumur hidupnya.

    Oleh karena itulah sang Raja memerintahkan agar ia beserta anak dan isterinya dijual sebagai budak. Pada zaman itu, wajar saja jika seseorang dimasukkan ke penjara atau keluarganya dijual sebagai budak untuk melunasi hutang karena dengan demikian akan ada relatif atau saudara yang mau membantu melunasi hutang agar keluarganya tidak menjadi budak. Namun, mari kita kembali mengingat jumlah hutang hamba ini yang begitu besar, seorang budak yang termahal pun dijual hanya di kisaran 1 talenta pada zaman itu. Sehingga menjual anggota-anggota keluarga hamba tersebut sebagai budak pun tidak akan bisa melunasi hutang 10 ribu talenta tersebut.

    Ajaran Yahudi tidak membenarkan perdagangan budak, tetapi mungkin Tuhan Yesus menggambarkan seorang Raja non Yahudi dalam perumpamaan ini untuk mengejutkan murid-murid yang mendengarnya. Kelanjutan cerita perumpamaan ini pun begitu mengejutkan karena Raja tersebut digambarkan tergerak oleh belas kasihan terhadap hambanya ini yang bersujud dan memohon keringanan waktu untuk melunasi hutang-hutangnya yang kita tahu adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat dia lunasi. Sang Raja bahkan tergerak untuk menghapus hutang hamba ini yang begitu banyak. Dengan demikian sepuluh ribu talenta dihapuskan begitu saja dari pembukuan sang Raja.

    Namun sayangnya, hamba ini ketika sudah mendapatkan belas kasihan dari Sang Raja justru malah menangkap dan mencekik kawannya, sesama hamba yang berhutang kepadanya hanya 100 dinar. Jumlah yang hanya 1 per 1 juta dari hutang hamba pertama. Jumlah yang jika dikonversi ke kurs saat ini mungkin hanya 20 dollar, perbandingannya adalah 1: 600,000 dengan hutang hamba pertama. Sekarang kita tahu bahwa hamba yang dihapuskan hutangnya merupakan orang yang sangat culas dan jahat. Bahkan ketika kawannya bersujud dan menggunakan kata-kata yang sama seperti yang digunakan oleh si hamba pertama, dia tidak memberikan respon yang sama seperti respon Sang Raja. Justru hamba ini memasukkan kawannya ke dalam penjara, sehingga kawannya ini tidak dapat lagi membayar hutangnya karena dia tidak dapat mencari uang di dalam penjara. Secara tidak langsung, perbuatannya ini juga merugikan Sang Raja. Mengapa? Karena ada kemungkinan kawannya yang dimasukkan ke penjara ini juga memiliki hutang terhadap Sang Raja. Oleh karena itu, dia tidak dapat bekerja lagi untuk melunasi hutangnya kepada Sang Raja juga. Sehingga si hamba yang dihapuskan hutangnya telah gagal meneruskan kasih yang diberikan oleh Sang Raja kepadanya dan juga malah merugikan Sang Raja.

    Wajar saja jika kawan-kawan dari kedua hamba ini merasa begitu sedih melihat ketidakadilan yang terjadi dan melaporkan perbuatan si hamba ini kepada Raja. Ketika mendengar hal ini, Sang Raja pun marah dan menyampaikan kekecewaannya kepada si hamba yang dalam ekspektasi Sang Raja seharusnya melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh Sang Raja kepadanya. Sehingga seperti si hamba memperlakukan kawannya dengan tidak ada pengampunan, Sang Raja pun memperhitungkan kembali hutangnya dan memasukkan hamba ini ke dalam penjara. Artinya, si hamba yang jahat ini pun tidak akan dapat melunasi hutangnya seumur hidupnya.

    Hal apa yang ingin disampaikan Yesus melalui perumpamaannya ini? Yesus ingin menyampaikan bahwa kita pun adalah hamba yang hutangnya sangat banyak sehingga tidak mungkin dapat kita lunasi seumur hidup kita. Hutang apa yang kita miliki? Hutang dosa. Keberdosaan kita sebagai manusia tidak akan bisa diampuni oleh Allah yang maha kudus. Upah dosa adalah maut (Roma 6:23), itulah yang seharusnya menanti kita yang tidak dapat membayar hutang dosa kita. Namun, Allah telah mengutus Anak semata wayang-Nya untuk melunasi hutang yang tidak akan sanggup kita bayarkan.

    Sehingga seharusnya kita pun mengampuni seperti Tuhan mengampuni kita. Dosa orang lain kepada kita tidak sebesar dosa kita kepada Allah. Yesus menutup perumpamaan ini dengan satu kesimpulan bahwa Bapa di Sorga akan seperti Sang Raja terhadap mereka yang tidak mengampuni orang lain. Hal ini bukan berarti ajaran Yesus merupakan ajaran yang legalistik karena keselamatan kita tidak ditentukan oleh perbuatan kita melainkan hanya karena anugerah pengorbanan Yesus di kayu salib yang sudah menghapuskan hutang dosa kita. Namun, perkataan Yesus disini menyatakan sebuah ekspektasi dan tanggungjawab orang percaya yang sudah menerima pengampunan dari Tuhan. Kebahagiaan kita yang sudah dihapuskan hutangnya seharusnya tidak kita simpan untuk diri kita sendiri. Pengampunan bukanlah sesuatu yang seharusnya kita tahan.

    Tentu ini bukan hal yang mudah. Saya sendiri masih banyak bergumul dalam mengampuni orang yang bersalah kepada saya. Saya pun tidak dapat membayangkan jika saya berada dalam posisi orangtua Ade Sara, rasanya saya mungkin akan membenci si pelaku yang sudah membunuh anak semata wayang yang sudah dirawat sejak kandungan sampai dia kuliah. Di dalam terang Injil, Yesus memberikan contoh apa artinya mengampuni 7 x 70 kali. Dalam perjalanan-Nya menuju salib bahkan kebangkitan dan setelah kenaikan-Nya, kita sebagai manusia masih terus dan akan terus mengecewakan-Nya, tetapi juga pengampunan-Nya masih akan terus ada.

    Orangtua Ade Sara adalah orang percaya, pengikut Kristus yang sudah memberkati banyak orang melalui kesaksian mereka di gereja. Mereka adalah orang-orang yang merasakan pengampunan Kristus atas dosa mereka dan meneruskannya kepada orang-orang yang telah mengambil nyawa anak semata wayangnya. Baca wawancara dengan orangtua Ade Sara disini.

    Kiranya hati kita juga bisa meluap dengan sukacita mengetahui bahwa hutang kita yang tidak akan terlunasi telah dihapuskan secara cuma-cuma dan mari meneruskan pengampunan yang telah Tuhan berikan ini kepada orang lain yang menyakiti kita.

  • Si Buta yang Memimpin Si Buta

    Si Buta yang Memimpin Si Buta

    Lukisan di atas dilukis oleh Pieter Bruegel, seniman dari Belanda pada tahun 1568. Hidupnya masih seangkatan dengan Martin Luther, bapak reformasi Kristen. Judul dari lukisan ini adalah ‘THE BLIND LEADING THE BLIND’ (Si Buta yang Memimpin Si Buta).

    Saya teringat akan lukisan ini ketika membaca Matius 23:13-39. Ini adalah kisah mengenai kecaman Yesus secara langsung kepada orang-orang Farisi dan ahli taurat alias para pemimpin bait suci, orang-orang yang seharusnya mengajari dan membimbing umat. Berkali-kali Yesus menyebut mereka buta. Mengapa bisa demikian? Setidaknya ada 8 perkataan ‘celakalah kamu…’ (hanya 7 dalam Alkitab internasional) yang dicatat di perikop ini mengenai kelakuan orang Farisi dan ahli taurat yang dikecam Yesus:

    1. Ayat 13. Mereka tidak melakukan kehendak Tuhan dan tidak membimbing umat untuk melakukan kehendak Tuhan juga.
    2. Ayat 14. Ini tidak dimasukkan dalam Alkitab internasional, mereka menipu para janda dengan mengambil rumah mereka. Kemudian mereka juga menipu publik dengan berpura-pura suci melalui doa yang panjang-panjang.
    3. Ayat 15. Mereka menobatkan orang hanya untuk menjadi pengikut mereka (biasanya orang non-Yahudi yang menunjukan ketertarikan kepada agama), bahkan setelah bertobat pun mereka tidak membimbing umat untuk berjalan di jalan yang benar, malah orang itu menjadi semakin jahat ketimbang sebelum bertobat. Dalam konteks non-Yahudi yang bertobat, mereka tidak diajari bahwa keselamatan adalah milik seluruh bangsa bukan hanya milik orang Yahudi saja.
    4. Ayat 16-22. Mereka menyesatkan umat dengan mengajari bahwa emas di bait suci lebih penting daripada bait suci itu sendiri. Ini tentu mirip dengan teologi kemakmuran. Sementara Yesus menekankan bahwa jauh lebih penting Allah yang berdiam di bait suci tersebut.
    5. Ayat 23-24. Mereka rajin melakukan ritual keagamaan seperti persepuluhan, tetapi mereka tidak mempedulikan keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan. Padahal itu adalah inti dari hukum taurat. Sebagai pemimpin agama, mereka gagal melihat yang terpenting yang Allah mau ajarkan melalui kitab suci (hukum taurat pada zaman itu), mereka hanya melihat dari permukaan. Ini adalah kesalahan fatal dari pemimpin umat. Bahkan Yesus menyindir mereka seperti orang-orang yang menyingkirkan nyamuk (qalmā) yang begitu kecil dari minuman mereka, tetapi unta (gamlāʾ) yang besar yang ada di dalam minuman mereka justru malah mereka minum. Nyamuk dan unta adalah binatang-binatang yang haram dikonsumsi. Artinya adalah mereka hanya berusaha untuk taat dalam hal-hal yang lahiriah dan hanya di permukaan (misalnya persepuluhan, doa, dan lain-lain), namun yang lebih dalam dan lebih penting dari itu mereka abaikan.
    6. Ayat 25-26. Orang Farisi dan ahli Taurat digambarkan sebagai orang-orang yang membersihkan bagian luar peralatan bait suci namun yang di dalamnya malah tidak dibersihkan. Yesus mengecam mereka sebagai orang yang melayani di bait suci namun hati mereka sebenarnya penuh dengan kebusukan. Mereka hanya kelihatan bersih dari luarnya saja seperti peralatan bait suci itu. Setiap pelayanan mereka menjadi tidak berarti bagi Allah.
    7. Ayat 27-28. Sekali lagi Yesus mengecam mereka dengan perumpamaan lain. Seperti kuburan yang terawat, dihiasi, dan dibersihkan namun di dalamnya dipenuhi tulang beluang dan kotoran. Pada waktu itu seseorang bisa menjadi najis jika bayangannya saja terkena mayat/kuburan, sehingga kuburan pada waktu itu dilabur putih untuk menutupi ‘kenajisan’. Artinya mereka hanya terlihat baik dari luar namun sebenarnya mereka adalah orang-orang munafik karena di dalam hati mereka ada banyak kejahatan. Mereka kelihatan suci dari luar, tetapi di dalamnya najis.
    8. Ayat 29-32. Mereka membuat makam-makam nabi menjadi indah dan bahkan berkata dengan percaya diri bahwa jikalau mereka ada di zaman nabi-nabi tersebut, mereka tidak akan ikut membunuh para nabi itu. Yesus mengecam mereka karena Yesus mengetahui isi hati mereka. Yesus mengatakan bahwa mereka adalah keturunan para pembunuh nabi-nabi tersebut, bisa hal ini bisa diartikan secara harafiah namun bisa juga karena mereka akan melakukan hal yang sama dengan nenek moyang mereka. Yesus tahu bahwa mereka pun akan membunuh Yesus setelah ini. Bahkan dengan sarkas Yesus menyuruh mereka menyelesaikan apa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka di ayat 32 untuk membunuh Yesus.

    Yesus melanjutkan kecaman ini dengan menubuatkan apa yang akan dialami oleh pengikut-pengikut Yesus. Para nabi, orang-orang bijaksana dan ahli-ahli Taurat yang diutus Yesus akan dibunuh, disalibkan dan dianiaya oleh mereka. Tentunya ini adalah tentang para rasul dan orang-orang Kristen mula-mula. Yesus begitu menekankan bahwa angkatan ini akan menanggung penumpahan darah martir antara Habel (martir pertama yang dicatat dalam Alkitab) hingga Zakaria (martir terakhir dalam Perjanjian Lama). Mengapa? Karena angkatan ini akan melakukan pembunuhan yang terbesar sepanjang sejarah, yaitu membunuh Anak Allah itu sendiri.

    Gambaran di atas mengenai orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat benar-benar menggambarkan apa yang dilukis oleh seniman Pieter Bruegel.

    Mereka adalah sekumpulan orang buta yang berjalan menjauhi gereja di latar lukisan ini. Lukisan ini sebenarnya adalah sebuah sindiran bagi mereka yang buta secara rohani. Lihatlah perubahan ekspresi antara orang-orang buta ini. Orang buta yang terjatuh baru menyadari dan mungkin juga menyesali bahwa dia ada di jalur yang salah, bukan tempat yang aman yang mereka tuju. Ekspresi orang buta di tengah seakan mulai merasakan ada yang aneh, sedangkan orang buta di belakang yang sedang tersenyum menyangka bahwa ia ada di jalan yang benar. Namun, yang paling menarik adalah kita bisa melihat orang buta kedua dari sebelah kiri yang memakai jubah dan kalung salib, ternyata dia adalah gambaran seorang pemimpin gereja pada zaman itu. Ini adalah sarkasme Pieter Bruegel bahwa pemimpin gereja pun bisa jadi adalah orang yang buta rohani dan memimpin umat yang juga buta. Seperti para orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang dikecam Yesus bahwa mereka buta secara rohani dan menyesatkan umat yang mereka pimpin.

    Walaupun Yesus seakan marah melalui kecaman-kecaman ini, Yesus menutup pasal ini dengan sebuah ratapan yang lebih mengekspresikan sebuah kesedihan daripada kemarahan. Di ayat 37—39, Yesus berkata bahwa berkali-kali Ia rindu mengumpulkan anak-anak Yerusalem seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya tetapi mereka tidak mau. Ini menunjukkan bahwa Yesus begitu rindu menolong orang-orang di Yerusalem, membimbing, dan mengajari mereka spiritualitas yang benar agar mereka tidak lagi buta rohani, namun mereka menolak Yesus. Yesus juga menubuatkan bahwa bait Allah akan dihancurkan (yang benar-benar terjadi di tahun 70) dan manusia tidak akan melihat Yesus lagi (secara fisik) sampai kedatangan Yesus yang kedua kalinya.

    Apa yang bisa kita pelajari dari renungan ini?

    Pertama, sebagai seorang pemimpin rohani, pemimpin kelompok kecil/KTB, pelayan, majelis di gereja atau persekutuan, apakah motivasi kita dalam melayani? Kita bisa jadi seperti orang Farisi dan ahli Taurat, rajin melakukan pelayanan, memberikan persepuluhan, dan sebagainya. Namun, apakah motivasi kita murni? Ataukah kita berharap orang lain memperhatikan dan memuji kita? Kesombongan rohani rentan dialami oleh para pelayan Kristus dan jangan-jangan kita malah mengabaikan kasih terhadap sesama karena terlalu focus pada pelayanan. Belakangan ini, saya sering membaca tentang istilah small-town syndrome, ini adalah kondisi psikologis orang yang terperangkap di dalam komunitas yang mereka ikuti sehingga mereka sulit beradaptasi di luar komunitas mereka. Faktanya ini rentan terjadi bagi para aktivis gereja. Banyak orang Kristen yang hidupnya hanya di seputar gereja. Hampir setiap hari ada di gereja dengan segala kegiatan, dari doa pagi hingga malam, dari Senin hingga Minggu, dari belajar hingga mengajar, dari berteman hingga bermusuhan. Mereka bisa sebut dan saling mengingatkan prinsip menolong orang-orang, tapi mereka terperangkap di dunia gereja dan tidak pernah berada di tengah orang-orang luar untuk melakukan apa yang mereka pelajari di dalam gereja seperti menolong orang yang susah, menunjukkan Kristus dalam pekerjaan mereka, dan lain-lain. Saya melihat orang-orang Farisi dan ahli Taurat pun adalah orang-orang yang mengalami small-town syndrome, mereka hanya sibuk di dalam dan melupakan yang di luar. Kiranya kita sebagai orang-orang yang juga aktivis gereja/parachurch, tidak terjebak dalam small-town syndrome. Masih banyak orang-orang di luar komunitas kita yang perlu untuk dikasihi dan ditolong.

    Kedua, apakah rasa aman kita diletakkan kepada uang dan bukan kepada Kristus sebagai yang utama? Orang Farisi dan ahli Taurat mengajarkan bahwa bersumpah demi emas bait suci lebih penting daripada bait suci itu sendiri. Apakah bagi kita uang lebih penting daripada rumah Tuhan? Uang lebih penting kah daripada pengabdian kita di kepada Tuhan? Mungkin tidak hanya pada uang, kita meletakkan rasa aman kita juga pada pasangan hidup, suami/istri/anak/orangtua, tempat tinggal, dan sebagainya. Injil berkata bahwa Kristus lah rasa aman kita yang sejati. Bukannya uang, pasangan hidup, keluarga, tempat tinggal, dan sebagainya itu tidak penting, kita juga tetap membutuhkannya selama masih hidup di dunia ini, namun hidup kita di dunia ini hanya bersifat sementara. Mari berfokus bukan kepada apa yang ada di dunia ini yang akan hilang, tetapi mari berfokus kepada kekekalan. Jikalau memang Tuhan percayakan uang, keluarga, dan sebagainya mari mengerjakannya dengan sebaik mungkin dengan menetapkan rasa aman kita tetap kepada Kristus dan kekekalan yang dijanjikan kepada kita.

    Ketiga, apakah kita buta secara rohani dan memimpin orang lain ke arah yang salah karena kemunafikan kita? Bisa jadi kita menjadi batu sandungan ketika anak-anak rohani kita melihat kehidupan kita. Memang tidak ada manusia yang sempurna, setiap kita mengalami jatuh bangun rohani. Namun, maukah kita dengan rendah hati jujur dan mengakui setiap dosa kita di hadapan Allah dan terbuka menceritakannya juga kepada anak-anak rohani atau jemaat yang kita layani? Yesus rindu mengumpulkan kita seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya untuk membimbing dan menuntun kita. Pertanyaannya apakah kita mau, atau kita menolak seperti orang-orang Yahudi yang menolak Yesus? Melalui Injil, dosa kita telah ditebus. Mari sekarang kita meresponi Injil dengan menyerahkan hidup kita dibimbing dan dituntun oleh Tuhan Yesus.

     

  • Just Believe

    Just Believe

    Sekitar tahun 2016 atau 2017 di Jakarta, saya pernah mengikuti acara peluncuran buku “Meet The Bible” yang ditulis oleh Philip Yancey. Saya ingat sekali bagaimana Philip Yancey menceritakan pengalamannya mengalami Mazmur 46:10, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! …” Pada saat itu, Philip Yancey dan istrinya sedang mendaki gunung, ketika mencapai puncak tiba-tiba saja cuaca menjadi buruk, petir menyambar di sekeliling mereka, dan pemandu pendakian berkata “Cepat tiarap! Berharap saja supaya kita tidak tersambar petir.” Philip Yancey berkata itu adalah pengalaman yang sangat mengerikan, keadaan berada di luar kontrolnya, hanya Tuhan lah yang memegang kontrol dan hanya Dia yang mampu menyelamatkan.

    Pernahkah kamu berada dalam situasi demikian? Keadaan ada di luar kontrolmu, kamu hanya bisa berharap dan berserah. Bagi saya ini adalah situasi yang sangat tidak mengenakkan. Sesuatu yang ada di luar kendali, tidak memberikan kepastian, dipenuhi rasa takut gagal, dan sebagainya. Ironisnya, seringkali kita lupa bahwa keadaan di luar kendali kita bukan berarti sepenuhnya terlepas kontrol, tetapi masih ada tangan yang berotoritas yang memegang kendali.

    Mari kita membaca kisah Yesus, sang pemegang kendali yang sejati, dalam kumpulan kisah mujizat-Nya yang tercatat di Matius 8:23-34.

    Bayangkan kamu memulai hari seperti biasa, namun sekonyong-konyong kejadian yang mungkin di luar kendalimu terjadi misalnya gempa bumi, tsunami, atau mungkin seperti yang kita alami di awal tahun 2020, pandemi yang menyebabkan tatanan kehidupan kita semua berubah.

    Itulah yang dialami para murid Yesus di tengah danau Galilea. Mungkin kita bisa bertanya, mereka adalah nelayan professional, mengapa mereka setidaknya tidak mengantisipasi apa yang terjadi? Atau mengapa mereka merasa begitu panik, bukankah seharusnya mereka sudah terbiasa?

    Danau Galilea memiliki aliran air yang unik, walaupun ukurannya relatif kecil (panjang sekitar 20 km, lebar sekitar 12 km, dan kedalaman sekitar 150 kaki). Namun, badai bisa tiba-tiba saja datang tanpa peringatan. Gelombang setinggi hingga 20 kaki dapat menimbus (menghantam) kapal yang sedang berlayar. Tentu nelayan berpengalaman seperti murid-murid Yesus bukanlah orang-orang bodoh yang gegabah menantang maut, mereka bahkan tidak tahu bahwa badai akan terjadi saat itu. Keadaan ada di luar kendali mereka dan mereka tahu benar nyawa mereka semua terancam. Namun, mereka tidak tahu bahwa Yesus yang sedang tertidur memegang kendalinya. Mereka membangunkan Yesus dan meminta pertolongannya karena mereka yakin akan mati.

    Para murid, juga kita semua lebih menginginkan hal yang pasti, hal yang bisa langsung dilihat oleh mata, solusi yang cepat di saat genting. Sedangkan yang Yesus inginkan adalah kepercayaan mereka dalam keberadaan Yesus yang bersama mereka, sekalipun Dia sedang tertidur. Oleh karena itulah Yesus memanggil mereka orang yang kurang percaya.

    Saya terus berpikir, jikalau saya berada di kapal tersebut dan mengetahui Yesus sedang tertidur, apakah saya bisa tetap tinggal diam dengan tenang sementara angin kencang dan deburan ombak menghantam wajah saya terus menerus? Saya tidak yakin saya bisa tetap tinggal tenang. Dan itulah yang juga dirasakan para murid, sekalipun mereka sudah melihat begitu banyak mujizat yang dilakukan Yesus di perikop-perikop sebelumnya.

    Di tengah badai yang kita alami, entah itu bencana alam maupun badai kehidupan pribadi kita, seringkali itu juga yang kita rasakan bukan? Ketidakpastian, keadaan genting, khususnya di tengah pandemi ini. Mungkin kita bertanya-tanya “Tuhan dimanakah Engkau? Tuhan, tolonglah kami tidak punya harapan lagi.” Padahal yang hanya bisa kita lakukan hanyalah tinggal tenang, mempercayai penyertaan-Nya bagi kita sekalipun Dia terlihat tertidur. Dia ingin kita mempercayai-Nya bahwa kendali ada di dalam tangan-Nya. Entah itu dalam pandemi, kesehatan, keuangan, pekerjaan, keluarga, bahkan juga mengenai pasangan hidup. Ini bukan berarti bahwa di dalam setiap keadaan, tidak ada yang perlu kita lakukan. Namun, di dalam keadaan di mana kita tidak dapat lagi berbuat apa-apa, ada kalanya kita hanya dapat berdiam dan tinggal tenang di hadapan Tuhan, menanti hardikannya atas badai yang kita alami.

    “Sumber kepercayaan kita kepada Allah bukanlah didasarkan pada apa yang Dia perbuat bagi kita. Tetapi, dari pengenalan kita kepada Tuhan.” – Pdt. Yohan Candawasa

    Ketika kita mengenal Tuhan yang berotoritas atas segala hal di muka bumi ini, maka kita dapat tinggal tenang mempercayai hidup kita kepada-Nya. Dia berotoritas atas alam, penyakit, manusia, bahkan juga setan seperti yang akan kita temukan di perikop selanjutnya.

    Dia berotoritas atas iblis. Ketika membaca perikop ini mungkin kita akan teringat dengan kisah yang sama yang ditulis di Markus dan Lukas mengenai seseorang yang kerasukan setan di Gerasa. Gadara merupakan kota dari wilayah Gerasa yang dijelaskan secara lebih spesifik oleh Matius. Ada dua orang yang kerasukan setan, tetapi hanya satu yang disebutkan oleh Markus dan Lukas, yaitu satu orang yang mengajak Yesus berbicara.

    Pada perikop ini, kita akan menemukan kisah orang yang tinggal di pekuburan, Markus menyebutnya sebagai seseorang yang harus dirantai karena orang-orang di Gerasa sudah tidak dapat lagi menanganinya. Mereka menyerah atas orang kerasukan ini. Tentu kita semua tahu, bahwa setan adalah musuh Allah. Mereka seringkali adalah penyebab dari sakit penyakit, ketidakpercayaan kita, dan kemunduran iman kita. Hal yang menarik adalah mereka menyambut Yesus dengan sebutan “Anak Allah”. Mereka mengakui status Yesus dan juga kekuatan-Nya yang sanggup membinasakan mereka bahkan sebelum penghakiman terakhir yang disebutkan dalam kitab Wahyu, namun mereka tetaplah iblis. Mereka tidak mempercayai Yesus. Inilah pentingnya bagi kita, mempercayai Yesus namun bukan sekedar percaya, tetapi juga beriman dan taat kepada-Nya.

    Seorang teman yang mengalami depresi selama pandemi ini, pernah berkata kepada saya bahwa ada peperangan rohani yang sedang terjadi di dalam diri setiap orang percaya, khususnya selama pandemi ini. Hal ini membuat kita menjadi hilang pengharapan, gagal mempercayai Allah, dan membuat kita mundur secara rohani. Ini adalah peperangan rohani yang disebabkan oleh iblis. Dan, ini memang sesungguhnya yang terjadi saat ini. Ada begitu banyak orang yang bergumul dengan iman dan kesehatan mentalnya selama pandemi. Namun, mari sekali lagi kita mempercayai Allah yang berotoritas atas iblis dan bersama-Nya kita dapat menang dalam peperangan rohani melawan iblis. Dia yang telah memindahkan setan ke ribuan babi demi menyelamatkan seorang manusia yang tidak dianggap lagi oleh penduduk kota tersebut juga akan menyelamatkan kita. Di saat penduduk kota jauh lebih menyayangkan babi daripada jiwa manusia yang mereka anggap sudah tidak ada harapan lagi, Tuhan memutuskan untuk tetap menyelamatkannya. Terlebih kita yang sedang bergumul saat ini di tengah badai kehidupan dan peperangan rohani yang masing-masing sedang kita hadapi.

    Mari mempercayai segenap kehidupan kita, masa depan kita, pergumulan yang saat ini kita hadapi sepenuhnya kepada Tuhan yang berotoritas atas segala sesuatu. Mari juga saling mendukung di dalam doa melawan peperangan rohani yang sedang terjadi ini.