Sekitar tahun 2016 atau 2017 di Jakarta, saya pernah mengikuti acara peluncuran buku “Meet The Bible” yang ditulis oleh Philip Yancey. Saya ingat sekali bagaimana Philip Yancey menceritakan pengalamannya mengalami Mazmur 46:10, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! …” Pada saat itu, Philip Yancey dan istrinya sedang mendaki gunung, ketika mencapai puncak tiba-tiba saja cuaca menjadi buruk, petir menyambar di sekeliling mereka, dan pemandu pendakian berkata “Cepat tiarap! Berharap saja supaya kita tidak tersambar petir.” Philip Yancey berkata itu adalah pengalaman yang sangat mengerikan, keadaan berada di luar kontrolnya, hanya Tuhan lah yang memegang kontrol dan hanya Dia yang mampu menyelamatkan.
Pernahkah kamu berada dalam situasi demikian? Keadaan ada di luar kontrolmu, kamu hanya bisa berharap dan berserah. Bagi saya ini adalah situasi yang sangat tidak mengenakkan. Sesuatu yang ada di luar kendali, tidak memberikan kepastian, dipenuhi rasa takut gagal, dan sebagainya. Ironisnya, seringkali kita lupa bahwa keadaan di luar kendali kita bukan berarti sepenuhnya terlepas kontrol, tetapi masih ada tangan yang berotoritas yang memegang kendali.
Mari kita membaca kisah Yesus, sang pemegang kendali yang sejati, dalam kumpulan kisah mujizat-Nya yang tercatat di Matius 8:23-34.
Bayangkan kamu memulai hari seperti biasa, namun sekonyong-konyong kejadian yang mungkin di luar kendalimu terjadi misalnya gempa bumi, tsunami, atau mungkin seperti yang kita alami di awal tahun 2020, pandemi yang menyebabkan tatanan kehidupan kita semua berubah.
Itulah yang dialami para murid Yesus di tengah danau Galilea. Mungkin kita bisa bertanya, mereka adalah nelayan professional, mengapa mereka setidaknya tidak mengantisipasi apa yang terjadi? Atau mengapa mereka merasa begitu panik, bukankah seharusnya mereka sudah terbiasa?
Danau Galilea memiliki aliran air yang unik, walaupun ukurannya relatif kecil (panjang sekitar 20 km, lebar sekitar 12 km, dan kedalaman sekitar 150 kaki). Namun, badai bisa tiba-tiba saja datang tanpa peringatan. Gelombang setinggi hingga 20 kaki dapat menimbus (menghantam) kapal yang sedang berlayar. Tentu nelayan berpengalaman seperti murid-murid Yesus bukanlah orang-orang bodoh yang gegabah menantang maut, mereka bahkan tidak tahu bahwa badai akan terjadi saat itu. Keadaan ada di luar kendali mereka dan mereka tahu benar nyawa mereka semua terancam. Namun, mereka tidak tahu bahwa Yesus yang sedang tertidur memegang kendalinya. Mereka membangunkan Yesus dan meminta pertolongannya karena mereka yakin akan mati.
Para murid, juga kita semua lebih menginginkan hal yang pasti, hal yang bisa langsung dilihat oleh mata, solusi yang cepat di saat genting. Sedangkan yang Yesus inginkan adalah kepercayaan mereka dalam keberadaan Yesus yang bersama mereka, sekalipun Dia sedang tertidur. Oleh karena itulah Yesus memanggil mereka orang yang kurang percaya.
Saya terus berpikir, jikalau saya berada di kapal tersebut dan mengetahui Yesus sedang tertidur, apakah saya bisa tetap tinggal diam dengan tenang sementara angin kencang dan deburan ombak menghantam wajah saya terus menerus? Saya tidak yakin saya bisa tetap tinggal tenang. Dan itulah yang juga dirasakan para murid, sekalipun mereka sudah melihat begitu banyak mujizat yang dilakukan Yesus di perikop-perikop sebelumnya.
Di tengah badai yang kita alami, entah itu bencana alam maupun badai kehidupan pribadi kita, seringkali itu juga yang kita rasakan bukan? Ketidakpastian, keadaan genting, khususnya di tengah pandemi ini. Mungkin kita bertanya-tanya “Tuhan dimanakah Engkau? Tuhan, tolonglah kami tidak punya harapan lagi.” Padahal yang hanya bisa kita lakukan hanyalah tinggal tenang, mempercayai penyertaan-Nya bagi kita sekalipun Dia terlihat tertidur. Dia ingin kita mempercayai-Nya bahwa kendali ada di dalam tangan-Nya. Entah itu dalam pandemi, kesehatan, keuangan, pekerjaan, keluarga, bahkan juga mengenai pasangan hidup. Ini bukan berarti bahwa di dalam setiap keadaan, tidak ada yang perlu kita lakukan. Namun, di dalam keadaan di mana kita tidak dapat lagi berbuat apa-apa, ada kalanya kita hanya dapat berdiam dan tinggal tenang di hadapan Tuhan, menanti hardikannya atas badai yang kita alami.
“Sumber kepercayaan kita kepada Allah bukanlah didasarkan pada apa yang Dia perbuat bagi kita. Tetapi, dari pengenalan kita kepada Tuhan.” – Pdt. Yohan Candawasa
Ketika kita mengenal Tuhan yang berotoritas atas segala hal di muka bumi ini, maka kita dapat tinggal tenang mempercayai hidup kita kepada-Nya. Dia berotoritas atas alam, penyakit, manusia, bahkan juga setan seperti yang akan kita temukan di perikop selanjutnya.
Dia berotoritas atas iblis. Ketika membaca perikop ini mungkin kita akan teringat dengan kisah yang sama yang ditulis di Markus dan Lukas mengenai seseorang yang kerasukan setan di Gerasa. Gadara merupakan kota dari wilayah Gerasa yang dijelaskan secara lebih spesifik oleh Matius. Ada dua orang yang kerasukan setan, tetapi hanya satu yang disebutkan oleh Markus dan Lukas, yaitu satu orang yang mengajak Yesus berbicara.
Pada perikop ini, kita akan menemukan kisah orang yang tinggal di pekuburan, Markus menyebutnya sebagai seseorang yang harus dirantai karena orang-orang di Gerasa sudah tidak dapat lagi menanganinya. Mereka menyerah atas orang kerasukan ini. Tentu kita semua tahu, bahwa setan adalah musuh Allah. Mereka seringkali adalah penyebab dari sakit penyakit, ketidakpercayaan kita, dan kemunduran iman kita. Hal yang menarik adalah mereka menyambut Yesus dengan sebutan “Anak Allah”. Mereka mengakui status Yesus dan juga kekuatan-Nya yang sanggup membinasakan mereka bahkan sebelum penghakiman terakhir yang disebutkan dalam kitab Wahyu, namun mereka tetaplah iblis. Mereka tidak mempercayai Yesus. Inilah pentingnya bagi kita, mempercayai Yesus namun bukan sekedar percaya, tetapi juga beriman dan taat kepada-Nya.
Seorang teman yang mengalami depresi selama pandemi ini, pernah berkata kepada saya bahwa ada peperangan rohani yang sedang terjadi di dalam diri setiap orang percaya, khususnya selama pandemi ini. Hal ini membuat kita menjadi hilang pengharapan, gagal mempercayai Allah, dan membuat kita mundur secara rohani. Ini adalah peperangan rohani yang disebabkan oleh iblis. Dan, ini memang sesungguhnya yang terjadi saat ini. Ada begitu banyak orang yang bergumul dengan iman dan kesehatan mentalnya selama pandemi. Namun, mari sekali lagi kita mempercayai Allah yang berotoritas atas iblis dan bersama-Nya kita dapat menang dalam peperangan rohani melawan iblis. Dia yang telah memindahkan setan ke ribuan babi demi menyelamatkan seorang manusia yang tidak dianggap lagi oleh penduduk kota tersebut juga akan menyelamatkan kita. Di saat penduduk kota jauh lebih menyayangkan babi daripada jiwa manusia yang mereka anggap sudah tidak ada harapan lagi, Tuhan memutuskan untuk tetap menyelamatkannya. Terlebih kita yang sedang bergumul saat ini di tengah badai kehidupan dan peperangan rohani yang masing-masing sedang kita hadapi.
Mari mempercayai segenap kehidupan kita, masa depan kita, pergumulan yang saat ini kita hadapi sepenuhnya kepada Tuhan yang berotoritas atas segala sesuatu. Mari juga saling mendukung di dalam doa melawan peperangan rohani yang sedang terjadi ini.
Leave a Reply