Category: Pendalaman Alkitab

  • Interdenominasi? Yay or Nay?

    Interdenominasi? Yay or Nay?

    Ada begitu banyak berita atau rumor yang tidak mengenakkan seputar konflik antara gereja dan aliran. Bagi segelintir orang, pengajaran dan doktrinnya lah yang paling benar, sedangkan yang lain sesat. Bagi segelintir yang lain, tentu saja bukan mereka yang sesat melainkan orang-orang yang sudah menuduh mereka lah yang sesat. Jalan tengah untuk menyatukan semua pihak dalam wadah interdenominasi (tidak di bawah aliran manapun), itu pun dianggap sesat.

    Tulisan ini tidak akan memuat dan mengulas dengan dalam tentang apa itu interdenominasi dan seperti apa itu persekutuan yang interdenominasi. Namun, lebih dalam dari itu, tulisan ini akan kembali kepada dasarnya dengan berusaha menjawab pertanyaan, “Apa isi hati Yesus tentang kesatuan umat dan Gereja-Nya?”

    Yesus memulai doa terpanjang-Nya yang ditulis dalam Alkitab (Yohanes 17), dengan menekankan relasinya bersama dengan Allah Bapa (vv. 1-5). Kemudian di bagian yang kedua (vv. 6-19), Yesus melanjutkan dengan berdoa untuk para murid-murid terdekat-Nya supaya Bapa memelihara mereka dalam nama-Nya dan supaya mereka menjadi satu seperti Yesus dan Bapa yang adalah satu (vv. 11). Doa yang begitu indah ini Yesus ucapkan dan mohonkan karena Dia sangat mengasihi dan menyayangi murid-muridNya.

    Hal ini membuat saya merenung, apabila orangtua kita mendoakan kita, seringkali mereka akan berdoa untuk kebaikan kita. Supaya kita dilindungi dari bahaya, supaya kita sembuh dari sakit, supaya studi kita berjalan lancar, dan sebagainya. Saya teringat mama saya pernah mendoakan saya sewaktu sakit, supaya Tuhan memindahkan penyakit saya ke mama karena baginya lebih baik mama yang sakit daripada harus melihat anaknya menderita karena sakit. Doa seseorang kepada orang yang dikasihinya pasti merupakan doa yang lahir karena dia begitu mempedulikan dan mengharapkan yang terbaik terjadi kepada orang yang dikasihinya itu.

    Yesus begitu mengasihi keduabelas murid-Nya ini, sekalipun Dia tahu bahwa ada yang akan mengkhianati-Nya dan yang akan menyangkal-Nya sebentar lagi. Yesus begitu rindu mereka tetap setia kepada iman yang selama ini Yesus sudah ajarkan kepada mereka. Namun, Yesus juga tahu bahwa iman kepada-Nya berarti dibenci oleh dunia. Dunia yang menolak Yesus, berarti juga akan menolak murid-muridNya yang percaya kepada Yesus.

    Ini adalah konsekuensi yang harus dihadapi oleh orang-orang yang mau mengikuti Yesus. Jalan untuk mengikuti Yesus tidak pernah mudah. Selalu akan ada tantangan dan harga yang harus dibayar. Kadang malah tantangan itu muncul dari saudara kita sendiri atau orang yang paling dekat dengan kita sendiri. Dalam tempat yang kita anggap rumah sendiri pun bisa terjadi masalah. Iblis tidak akan pernah tinggal diam melihat orang-orang percaya bisa bertumbuh imannya. Di saat kita diutus mengerjakan misi, panggilan, atau kehendak Tuhan, Iblis berusaha menghancurkan orang-orang percaya dari dalam. Dari rasa percaya kita satu sama lain sebagai sesama murid Tuhan. Ini adalah cara paling strategis untuk menghancurkan iman orang percaya. Akan tetapi, Yesus berdoa untuk para murid supaya mereka dilindungi dari yang jahat, yang berusaha menarik iman mereka dari Firman Tuhan yang adalah kebenaran dan yang terpenting supaya mereka tetap satu dalam menjalani panggilan Tuhan yang sudah mengutus mereka.

    Doa ini indah karena Yesus mencurahkan semua isi hatinya dan cinta kasihnya bagi para murid. Namun berhagialah kita karena doa ini ternyata juga adalah doa untuk kita, umat percaya masa kini.

    Kasih-Nya Meluas Hingga Kini

    Kenyataannya, Yesus juga berdoa untuk orang-orang yang menjadi percaya kepada-Nya karena pemberitaan para murid (vv.20) artinya kita, orang-orang Kristen masa kini juga termasuk di dalamnya.

    Dia berdoa supaya kita dapat menjadi satu sama seperti Yesus dan Bapa adalah satu. Kalimat ‘menjadi satu’ diulang Yesus berkali-kali. Ini menunjukkan bahwa menjadi satu itu tidak mudah apalagi standard yang ditetapkan seperti Yesus dan Bapa, bukan standard manusia. Perpecahan lawan dari kesatuan sangat rentan terjadi, Yesus tahu benar hal itu sehingga Dia menekankannya berkali-kali. Di satu sisi, menjadi satu juga adalah sesuatu yang sangat penting. Apakah manusia berdosa bisa melakukannya?

    Sebenarnya apa arti dari gereja? Gereja berasal dari Bahasa Yunani ‘ekklesia’ yang artinya ‘dipanggil ke luar’. Setiap orang percaya yang dipanggil ke luar dari kegelapan kepada terang Kristus adalah gereja. Apakah PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) atau parachurch lainnya merupakan gereja? Tentu tidak secara organisasi, tetapi kita adalah Gereja dalam arti orang-orang yang dipanggil ke luar. Gereja bukanlah gedungnya, tapi orangnya.

    Sesempurna apapun suatu gereja atau persekutuan kelihatannya, pasti ada masalah di dapurnya karena dibalik dapur itu pun ada manusia berdosa dengan segala egonya yang bisa menyebabkan perpecahan di mana pun. Perpecahan biasanya terjadi karena ego kita menganggap diri kita lebih baik dari yang lain. Seringkali kita juga lupa bahwa kita hadir sebagai gereja bukan untuk sebagai ajang kumpul atau klub sosial. Namun, kita hadir karena diutus untuk memuliakan Tuhan dan membangun Kerajaan Allah di mana pun kita berada. Ada misi yang kita emban bersama-sama.

    PMK Tanpa Interdenominasi Bukanlah PMK

    PMK memiliki misi melayani mahasiswa dan membangun Kerajaan Allah di kampus. Kerajaan Allah berarti suatu tempat dimana Allah yang menjadi raja. Di kampus banyak anak muda yang tidak merajakan Yesus dalam hati-Nya. Mereka tidak bisa ditemui di gereja lagi karena mereka berhenti pergi ke gereja sehingga gereja tidak dapat menjangkau mereka. Mahasiswa Kristen lah yang Tuhan utus untuk menjangkau sesamanya yang hilang. PMK bukan gereja, PMK tidak bisa membaptis, memberkati pernikahan, merayakan perjamuan kudus, dan sebagainya. Tetapi PMK dipanggil untuk membantu gereja menemukan anak-anak muda yang dengan idealismenya memutuskan untuk berhenti pergi ke gereja. Tidak cuma itu, PMK juga diutus untuk memuridkan mereka yang tidak sanggup dimuridkan di gerejanya. Dengan tujuan, semua anak itu dapat kembali ke gerejanya masing-masing dan membangun murid di sana.

    PMK tidak di bawah denominasi atau aliran gereja mana pun, karena PMK tanpa interdenominasi bukanlah PMK, tapi gereja secara denominasi. Ketika berbicara mengenai interdenominasi, yang seharusnya kita pahami bukanlah soal ibadahnya seperti apa, dibaptis dengan cara bagaimana, alat musiknya apa saja, tetapi kita punya hati yang sama-sama menyadari bahwa Yesus sudah berdoa supaya kita menjadi satu untuk mengerjakan misi-Nya. Kita sadar bahwa kita butuh terang Firman Tuhan yaitu kebenaran yang menguduskan kita. Kita perlu kembali kepada Alkitab, Firman Tuhan yang menolong kita mengerjakan apa yang mau Dia utus untuk kita kerjakan.

    Ketika orang lain melihat kita, orang-orang Kristen dapat bersatu, mereka juga dapat melihat Yesus dan Bapa di dalam diri kita. Firman Allah itu hidup dan benar, walaupun kita tidak menyampaikannya secara eksplisit tapi Firman hidup itu bisa berbicara kepada mereka melalui tingkah laku dan perkataan kita. Mari sebagai murid-murid Yesus yang sudah didoakan oleh-Nya, kita sama-sama menyatukan hati. Melihat menembus batasan-batasan tradisi atau kelebihan dan kekurangan gereja kita masing-masing dan fokus kepada hal yang memang esensi atau penting, yaitu Firman Tuhan yang mengutus kita.

    In essential = unity
    In non-essential = liberty
    In all things = charity

    Dalam hal yang esensi seperti keselamatan dan amanat agung Tuhan Yesus yang mengutus kita memberitakan Injil dan memuridkan kita seharusnya bersatu.

    Dalam hal yang tidak esensi seperti ekspresi memuji dan menyembah Tuhan yang berbeda-beda setiap orang, atau alat musik, cara baptisan yang tidak menentukan keselamatan kita biarlah itu menjadi kebebasan kita untuk menikmatinya masing-masing sehingga kita dapat bertumbuh dengan cara yang Tuhan izinkan kita nikmati.

    Namun, yang terpenting dalam segala hal ada kasih yang rela mengesampingkan ego kita yang menganggap diri lebih baik dari yang lain.

  • Belajar Menjadi Hamba Tuhan dari Amos

    Belajar Menjadi Hamba Tuhan dari Amos

    Bagi sebagian besar orang, mengetahui dan memberitakan kebenaran adalah suatu hal yang sangat penting. Walaupun kebenaran bukanlah suatu berita yang selalu menyenangkan untuk diketahui, apalagi diberitakan. Seorang hamba Tuhan merupakan seorang pemberita kebenaran. Tentu, ini bukanlah sebuah tugas yang mudah. Bagaimana kita dapat belajar menjadi seorang hamba Tuhan atau pemberita-pemberita kebenaran? Mari belajar dari Amos 7:10-17.

    Amos adalah seorang pemberita kebenaran. Sekalipun apa yang dia beritakan tersebut tidak enak didengar, bahkan mungkin tidak untuk dirinya yang menubuatkan penghukuman bagi bangsanya sendiri. Namun, Amos tetap taat dan setia mengerjakan panggilan Tuhan sebagai penyambung lidah-Nya. Sebenarnya sangat banyak alasan untuk Amos tidak menyuarakan kebenaran. Nyawanya terancam karena dituduh sebagai pengkhianat (10) yang bersepakat melawan Raja oleh karena malapetaka yang dinubuatkan bagi bangsanya sendiri. Dirinya pun terancam dialienasi oleh teman-teman sebangsanya sendiri yang tidak dapat menerima nubuat penghukuman tersebut. Di dalam hatinya pun, mungkin dia menjerit karena kesedihan ketika harus menubuatkan malapetaka-malapetaka bagi bangsanya sendiri seperti Raja yang akan terbunuh dan bangsa tersebut akan menjadi orang-orang buangan (11).

    Dalam berbagai alasan dan kondisi yang demikian, Amos tetap setia menjalani panggilan Tuhan walaupun latar belakangnya bukanlah seorang nabi, baik dia maupun keluarganya (14). Amos hanyalah seorang peternak domba dan pemungut buah ara hutan (15). Dia hanyalah seorang biasa yang berjuang menafkahi hidupnya dengan pekerjaan yang mungkin seringkali diremehkan orang-orang sekitarnya. Tidak ada yang istimewa dari dirinya. Namun, uniknya Tuhan seringkali memberi anugerah-Nya kepada mereka yang biasa saja, lemah, dan tidak dipandang orang. Tuhan tidak memandang Amos berdasarkan penampakan luar, di saat begitu banyak orang-orang yang bisa saja menilai kepantasan Amos dari apa yang dia miliki. Lebih dalam lagi kepada apa yang tidak dapat dipandang oleh manusia, Tuhan memandang hati Amos yang tulus meninggalkan pekerjaannya—sumber mata pencahariannya untuk sekedar menafkahi hidupnya—demi memenuhi panggilan Tuhan tanpa upah sekalipun.

    Kebenaran adalah suatu hal yang tidak dapat dibeli dengan emas atau perak. Sekalipun seseorang memiliki begitu banyak harta pun, tidak ada jaminan bahwa dia merupakan seorang yang sudah mengerti kebenaran. Sementara ada begitu banyak orang yang berharap dan mengasumsikan bahwa dirinya sudah cukup mengerti kebenaran. Lain halnya dengan mereka yang tidak peduli dan mengeruk keuntungan dengan memanipulasi kebenaran.

    Amazia adalah seorang kepala imam di Betel. Seorang dengan kedudukan yang demikian tinggi, bersahabat dengan golongan kelas atas, sehari-harinya bekerjasama dengan Raja dan jajaran pemerintahan. Terhormat di mata dunia, namun tidak bagi Allah. Dia adalah seseorang yang memanipulasi kebenaran demi keuntungan pribadinya. Sebutannya memang imam, tetapi dia tidak melayankan kebenaran dan melayani Allah.

    Sangat kontras dengan Amos yang rela melayani tanpa upah, bagi Amazia pekerjaan hamba Tuhan adalah sebuah profesi untuk mencari makan (12). Kepada siapa dia melayani pun bukanlah kepada Allah dan umat-Nya, tetapi kepada Raja yang dapat memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri (13). Perkataannya yang menjurus kepada materi dan bahkan tanpa segan menyerang Amos untuk mengusirnya dengan tuduhan yang tak dapat dibuktikan (10) menggambarkan dengan jelas motivasi hatinya.

    Seseorang yang menyandang sebutan sebagai hamba Tuhan secara khusus atau penuh waktu sangat mungkin memiliki motivasi yang melenceng. Apalagi saat ini sangat banyak hamba Tuhan penuh waktu yang hidupnya bahkan lebih terjamin dan lebih berlimpah ketimbang jemaatnya sendiri. Ketika panggilan sebagai hamba Tuhan pada awalnya adalah panggilan untuk menyerahkan seluruh hidup dan mempercayai Tuhan yang akan mencukupkan kebutuhan diri, namun banyak juga kisah-kisah kejatuhan sebuah gereja atau lembaga pelayanan yang diakibatkan permainan politik antara hamba Tuhan penuh waktu. Mereka dapat saling menyerang dalam mimbar dan rapat untuk membuktikan kehebatannya di mata jemaat dan majelis. Tanpa segan, gaji dan persembahan kasih pun bisa dipermasalahkan di saat gaji yang ada mungkin melebihi pendapatan jemaat yang memberikannya.

    Kisah ini mengajarkan sisi gelap dari seseorang yang mengakui dirinya sebagai hamba Tuhan tetapi tidak melayani Tuhan. Tidak terbayangkan betapa sulitnya tuntutan yang diemban Amos sebagai pemberita kebenaran namun ditekan oleh berbagai pihak. Walaupun demikian, Tuhan tidak tinggal diam membiarkan nama-Nya dimanfaatkan demi kepentingan pribadi. Amazia dihukum karena menolak Amos dan Allah yang sudah mengutusnya (16). Apa yang akan menimpa istri dan anak-anak Amazia merupakan sebuah gambaran yang jelas bahwa Tuhan akan mengambil setiap harta yang selama ini dia terima sebagai hasil memanipulasi kebenaran. Selain istrinya yang harus menjual diri demi bertahan hidup, tanah yang selama ini Amazia kumpulkan akan dibagi-bagi sebagai hasil jarahan. Hingga akhirnya dia akan mati dengan tangan hampa dan tanpa kehormatan karena bangsa Israel benar-benar akan dibuang seperti yang dinubuatkan oleh Amos yang dia tolak.

    Allah membela hamba-Nya yang berani menyuarakan kebenaran. Pengakuan dari Allah adalah bentuk apresiasi tertinggi yang bisa didapatkan seorang hamba Tuhan yang taat dan setia mengerjakan panggilannya.

    “Akhirnya sebagai pelayan di gereja, apakah sebagai pendeta, presbiter, pemimpin, atau pekerja dalam bidang apa pun, yang selama ini telah memanfaatkan tugas dan fungsi gereja untuk memperkaya diri sendiri, serta untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan keluarga Anda, maka kini saatnya untuk Anda berhenti melakukan semua perbuatan itu, mengaku kesalahan Anda di hadapan Allah, dan meminta pengampunan-Nya. Anda masih memiliki kesempatan untuk kembali memurnikan motivasi dan tujuan Anda dalam melayani Allah sebelum hal-hal buruk menimpa Anda dan keluarga.” (Kitab Amos – Tanggung Jawab Orang Kristen dalam Mengatasi Masalah Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik- Victor P. H. Nikijuluw)

    (Renungan Persekutuan Doa Staf Kantor Perkantas Jakarta)

  • Sukacita yang Mengalahkan Ketakutan

    Sukacita yang Mengalahkan Ketakutan

    Baca Lukas 24:50-53

    Pada penghujung Injil Lukas ini, kita sudah melalui kisah bagaimana Yesus bangkit, menampakkan diri di jalan transformasi yaitu Emaus, menampakkan diri di hadapan murid-murid di Yerusalem, dan bagaimana Yesus berpesan pada para murid-Nya agar mereka tidak meninggalkan Yerusalem sampai mereka diperlengkapi dengan kekuasaan yaitu pada hari pentakosta.

    Lukas 24:49 (TB) “Dan Aku akan mengirim kepadamu apa yang dijanjikan Bapa-Ku. Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat tinggi.”

    Setelah itu Yesus membawa mereka ke Betania yang jaraknya kira-kira tiga kilometer dari Yerusalem. Walaupun saya tidak mengerti dengan pasti mengapa Yesus harus membawa mereka ke Betania, namun Betania bisa dibilang adalah tempat yang penting selama perjalanan pelayanan Yesus.

    Napak Tilas Betania

    Betania adalah sebuah desa kecil, di bagian selatan Bukit Zaitun yang merupakan sebelah timur Yerusalem. Yesus banyak beristirahat di Betania ketika dia melayani di Yerusalem (Mat. 21:17). Betania adalah tempat tinggal sahabat-sahabat dengan Yesus yaitu Maria, Martha, dan Lazarus. Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian (Yoh. 11) dan Yesus diurapi dengan minyak narwastu oleh Maria (Mat. 26:6). Betania juga diyakini sebagai tempat dimana Yohanes Pembaptis membaptis Yesus (Yoh. 1:28). Di dekat Betania, yaitu Bukit Zaitun yang dipenuhi oleh kebun-kebun tanaman zaitun, tepatnya di salah satu kebunnya yaitu taman Getsemani, disana jugalah Yesus bergumul sebelum Dia dihakimi dan menggenapkan rencana penebusan (Luk. 22:39). Betania adalah tempat yang seperti rumah bagi Yesus. Dia memulai perjalanan pelayanannya semenjak dibaptis hingga kematian dan kenaikannya ke Surga disana.

    Berkat Terakhir

    Kemudian Yesus mengangkat tangan-Nya untuk memberkati mereka. Pada zaman itu, memang lumrah bagi seseorang mendoakan berkat bagi orang lain dengan mengangkat tangan. Pertanyaannya berkat apa yang diberikan oleh Yesus? Berkat keamanan kah? Atau kekayaan? Atau pemulihan bagi bangsa Israel? Walaupun itu yang diinginkan oleh para murid, tetapi Lukas mencatat di bukunya yang kedua yaitu Kisah Para Rasul bahwa Yesus memberkati murid-murid dengan sebuah janji bahwa Roh Kudus akan turun atas mereka (Kis. 1:9).

    Berkat mungkin sudah menjadi kata yang klise di telinga kita. Ucapan “God bless you” sangat mudah keluar dari mulut kita. Namun, berkat yang Yesus ucapkan begitu istimewa. Saya teringat membaca buku Not A Fan karya Kyle Idleman. Dia berkata bahwa Allah menyertai umat-Nya dengan cara yang berbeda dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama, sering kita temukan kata-kata “Allah menyertai…”, tetapi di Perjanjian Baru yang kita temukan bukan lagi Allah yang menyertai secara berdampingan, tetapi Roh-Nya tinggal di dalam diri kita.

    Respon Para Murid

    Tidak ada hal yang lebih melegakan dibandingkan mendapat jawaban yang pasti. Ada suatu cerita dimana ada seorang pemain akrobat yang menunjukkan atraksi berjalan di atas tali. Dalam putaran yang kedua, pemain akrobat ini menantang para penonton untuk menunjukkan kehebatan sang pemain akrobat dalam berjalan di atas tali sambil menggendong salah satu dari penonton yang bersedia memberikan dirinya. Tidak ada jawaban dari para penonton. Tidak ada yang berani meresikokan dirinya untuk pertunjukan akrobat itu.

    “Tenang saja, saya jamin keselamatan anda.”, tiba-tiba seorang anak kecil mengangkat tangannya. Lantas pemain akrobat itu pun menggendong anak tersebut dan berjalan di atas tali.

    Ketika pertunjukkan selesai, para penonton bertanya kepada anak itu, “Nak, bagaimana bisa kamu begitu berani membiarkan dirimu digendong di atas tali?”, anak itu kemudian menjawab, “Saya percaya kepada Bapak Pemain Akrobat itu bahwa keselamatan saya terjamin, karena Bapak itu adalah ayah saya.”

    Murid-murid hidup dalam kebimbangan, keraguan, dan ketakutan setelah guru yang mereka ikuti selama kurang lebih tiga tahun itu meninggalkan mereka. Sang guru yang dinyatakan meninggal dan dikubur, mau tidak mau membuat para pengikut-Nya harus hidup sembunyi-bunyi dengan rasa malu. Apalagi ketika kubur itu terbuka dan mayat sang guru hilang. Bertambahlah ketakutan murid-murid kalau-kalau mereka akan ditangkap atas tuduhan pencurian mayat sebagai pembenaran ajaran sang guru yang pernah mengatakan kalau Dia akan bangkit di hari ketiga.

    Namun janji berkat yang Yesus berikan bagi mereka ternyata cukup untuk memberikan kembali keyakinan, pengharapan, dan keberanian untuk move on dalam hidup mereka. Apalagi setelah pikiran mereka terbuka akan isi kitab suci (Luk. 24:45), dimana mereka akhirnya mengenal siapa Yesus yang sebenarnya.

    Hal ini membuat saya teringat dengan sebuah kisah yang pernah saya baca di buku Tinggal Dalam Hadirat-Mu karya Yohan Candawasa.

    Alkisah adalah dua orang muda bernama Pitias dan Damon. Mereka memiliki hubungan persahabatan yang sangat erat, bahkan melebihi hubungan saudara kandung. Suatu hari terjadi peperangan yang menyebabkan kedua anak ini terpisah dan tinggal di negeri yang jauh berbeda. Mereka terus mencari satu sama lain, hingga akhirnya mereka berhasil menemukan keberadaan masing-masing.

    Tanpa pikir panjang, Pitias pun langsung pergi ke negeri dimana Damon tinggal. Sayangnya, Pitias ditangkap dan dimasukkan ke penjara karena disangka sebagai mata-mata dari negeri musuh. Raja bahkan menjatuhi hukuman mati pada Pitias. Damon yang mendengar hal ini, melakukan segala macam cara untuk membebaskan Pitias, kawan lamanya itu. Akan tetapi, permohonannya tidak dihiraukan oleh raja. Pitias pun memohon kepada raja agar diijinkan untuk berpamitan kepada keluarganya terlebih dahulu di negeri asalnya sebelum ia dipancung. Tentu saja raja menganggap permohonan Pitias sebagai trik murahan untuk menipunya dan kabur dari hukuman mati. Akan tetapi Damon dengan beraninya memberikan diri sebagai penjamin. Ia bersedia menggantikan Pitias sementara waktu dan bahkan bersedia dipancung apabila Pitias tidak kembali sampai hari eksekusi tiba.

    Hari sebelum eksekusi tiba, Pitias belum kembali juga. Sang raja pun menyindir Damon, katanya, “Kau bodoh sudah mempercayai temanmu, memangnya dia mau kembali untuk mati disini?”

    Jawab Damon, “Aku percaya padanya, dia akan kembali tepat waktu.”

    Hari eksekusi pun tiba dan Pitias tidak kembali. Ketika eksekusi akan dimulai, sang raja menyindir Damon kembali, “Temanmu itu pembohong dan kau adalah orang terbodoh di dunia. Apa pendapatmu sekarang tentang dia?”

    Jawab Damon, “Ia adalah sahabat saya. Sekalipun ia tidak kembali dan saya tidak tahu mengapa demikian, bahkan untuk itu saya akan kehilangan nyawa namun saya tetap percaya kepadanya.”

    Kisah ini memberikan gambaran “Bahwasanya kepercayaan kita kepada Allah bukan berakar pada pengertian kita akan apa yang dilakukan-Nya dalam membimbing dan memimpin kita, melainkan berakar pada pengenalan kita yang mendalam akan pribadi dan karakter Allah.” (Yohan Candawasa, Tinggal Dalam Hadirat-Mu)

    Pengenalan kepada Allah melahirkan keyakinan atau conviction terhadap pribadi-Nya. Sekalipun lagi-lagi Yesus pergi meninggalkan mereka, sekalipun mereka harus menunggu sekali lagi janji pencurahan Roh Kudus yang tidak diberitahu kapan datangnya. Namun, mereka penuh dengan penyembahan kepada Kristus dan pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita. Dari suatu tindakan pengasingan diri kembali kepada komunitas. Tentu suatu respon yang begitu berbeda ketika Yesus meninggalkan mereka pertama kalinya. Sukacita yang mereka rasakan mengalahkan rasa takut dalam diri mereka.

    Sukacita yang Mengalahkan Ketakutan

    Terkadang kita mungkin mengalami kegoyahan, keraguan, dan kebimbangan dalam perjalanan mengikuti Yesus. Apakah benar keputusan saya mengorbankan ini dan itu untuk menjadi pengikut Yesus? Di saat-saat demikianlah, kita seharusnya semakin rindu mencari kebenaran. Pengenalan akan Allah, akan siapa pribadi-Nya, apa rencana-Nya, dan apa kehendak-Nya bagi hidup kita, menolong kita untuk melepaskan diri dari keraguan, ketakutan, kegagalan, dan rasa malu. Bahkan menolong kita kembali ke jalan yang sulit, bertahan dalam ketidakpastian, ke Yerusalem.

    Dengan semangat baru, komitmen baru, dan tujuan baru yang sejati, para murid senantiasa bertekun beribadah bersama dalam persekutuan sambil membawa harapan baru. Keyakinan itu menolong kita untuk berkomitmen dalam komunitas dan melahirkan ibadah yang hidup.

    Injil Lukas diawali oleh Yesus yang turun ke dunia, dan diakhiri dengan Yesus yang naik kembali ke Surga. Karya-Nya sempurna, tidak ada yang belum diselesaikan, Dia setia sampai akhir.

    Injil Lukas diawali oleh pujian sekumpulan orang-orang yang berharap (Zakharia, Maria, Simeon, Hana), dan diakhiri oleh pujian para murid melihat harapan yang sudah tergenapi serta mendapat harapan yang baru.

    Cerita Yesus dan janji-Nya merupakan satu kesatuan utuh yang akan digenapi seluruhnya menjadi sebuah akhir yang bahagia.

    “Jesus’s life on Earth ended amidst physical suffering and mental anguish, yet God’s power defeated the grave.” ODB – October, 24th 2028