Tag: Spiritualitas

  • Bertahan Teguh dan Setia

    Bertahan Teguh dan Setia

    Teman-teman, pernahkah kamu menonton atau membaca cerita tentang seorang protagonis yang baik hati namun selalu dilanda kesusahan oleh karena kebaikan hatinya? Sedangkan antagonis yang berbuat jahat justru selalu dipermudah dan mendapatkan keuntungan karena kejahatannya. Saya yakin ada begitu banyak cerita yang bisa kita sebutkan yang memiliki cerita demikian. Sebab, memang demikianlah sistem dunia ini. Sesuatu dapat dengan instan lebih mudah didapatkan jika kita berani berbuat curang. Ibarat sebuah game, jika kita tidak menggunakan cheat mungkin memainkannya akan terasa lebih sulit. Sistem dunia tersebut juga menjadi suatu permasalahan pada kitab Maleakhi 3:13-18. Perikop ini dibagi menjadi 2 bagian.

    Bagian yang pertama (ay.13-15) berfokus kepada orang-orang Israel yang tidak percaya atau skeptis. Pembukaan dari bagian ini tentu tidak terdengar menyenangkan, “Bicaramu kurang ajar…”, kata Tuhan. Apa yang menyebabkan Tuhan begitu marah? Tentu karena adanya sebagian orang Israel yang berpikir bahwa mengikuti Tuhan merupakan hal yang sia-sia. Apakah mereka mengenal Tuhan? Jawabannya tentu ya (ay.14). Mereka mengenal Tuhan dan bahkan melayani Tuhan seperti kita yang giat di gereja, persekutuan sekolah/kampus/kantor, dan sebagainya. Mereka giat melakukan hukum-hukum Taurat. Namun apa yang terjadi sehingga mereka meragukan Tuhan?

    Saya tidak tahu dengan pasti, tetapi yang jelas kehidupan mereka juga tidak lekang oleh penderitaan yang menggoyangkan iman mereka. Entah mungkin karena harus hidup sebagai orang-orang buangan, mengalami trauma masa lalu yang masih menghantui, sakit penyakit, penjajahan kerajaan Persia, dan lain-lain. Sama seperti kondisi kita yang mungkin mengalami penderitaan dalam konteks zaman kita sendiri, pandemic, penyakit, kehilangan orang yang dikasihi, masa depan yang tidak pasti, kesepian, dan sebagainya. Kehidupan setiap manusia tentu seperti berjalan di padang gurun yang terik dan kering. Di satu sisi (ay.15) ada orang-orang fasik yang hidupnya kelihatan bahagia dan seolah aman-aman saja walaupun memberontak kepada Tuhan. Ini tidak mudah sehingga begitu perkataan “Tuhan tidak adil.”, “Apa Tuhan benar-benar nyata?”, “Mengapa mereka yang menyakiti saya dan tidak mempercayai-Mu malah lebih baik hidupnya?” menjadi begitu mudah untuk diucapkan. Sebagai seorang Kristen dan pelayan Tuhan pun saya menyadari bahwa hidup ini memang tidaklah mudah, terkadang saya juga berpikir apakah saya sudah salah mengambil jalan untuk melayani Tuhan? Saya sendiri masih belum mempunyai jawaban akan pertanyaan ini dan setiap orang akan memiliki jawaban yang berbeda-beda. Lalu apa yang harus kita lakukan? Mari kita membaca lebih lanjut bagian yang kedua.

    Pada bagian yang kedua (ay.16-18), kita akan mengetahui bahwa masih ada orang-orang Israel yang percaya kepada Tuhan. Mereka berbicara di dalam komunitas yang membangun, mereka takut akan Tuhan dan menghormati nama Tuhan (ay.16) dan Tuhan sendiri yang mengakui mereka. Tuhan bahkan berjanji untuk menjadikan mereka sebagai milik-Nya dan mengasihani mereka (ay.17). Bahkan tertulis bahwa ada sebuah kitab ditulis di hadapan Tuhan bagi orang-orang ini. Dalam budaya kerajaan Persia, mereka yang berbuat kebaikan kepada raja akan dicatatkan kisahnya dalam buku seperti kisah Raja Ahasyweros dan Mordekhai dalam kitab Ester. Begitulah Tuhan berfirman melalui nabi Maleakhi, bahwa mereka yang takut akan Tuhan akan dicatat dalam kitab kehidupan, Tuhan tidak melupakan umat-Nya yang bertahan di tengah penderitaan.

    Perikop ini ditutup dengan sebuah janji penghakiman, bahwa pada akhirnya akan terlihat perbedaan orang yang takut akan Tuhan dan orang fasik. Tuhan berjanji bahwa Ia akan datang sebagai hakim di dalam kekekalan dan menegakkan keadilan. Kita sebagai umat yang percaya adalah umat kepunyaan Allah (1 Petrus 2:9), bahkan di dalam situasi terburuk yang kita hadapi, kita seharusnya dapat meyakini bahwa Tuhan mengingat siapa kita dan janji-Nya menyertai kita.

    Penutup

    Saya teringat dengan berita buruk yang melanda Kekristenan hari ini, yaitu kasus skandal Ravi Zacharias, seorang apologist Kristen terkenal dan menjadi panutan banyak orang yang ternyata baru diketahui setelah kematiannya bahwa dia terlibat begitu banyak kasus kekerasan seksual dengan wanita-wanita yang dibantunya secara finansial. Satu hal yang bisa dipelajari dari kasus ini mengingatkan kita bahwa pada akhirnya pelayanan kita bukanlah mengenai reputasi atau kenyamanan diri kita sendiri, tetapi mengenai hubungan pribadi kita dengan Allah. Kiranya di dalam kehidupan kita di tengah padang gurun ini, kita dapat tetap bertahan teguh dan setia.

  • Kehormatan Bagi-Nya

    Kehormatan Bagi-Nya

    Suatu hari, grup teman-teman lama menghubungi kita dan berkata bahwa mereka akan datang ke rumah kita pada esok hari untuk bersilahturami. Kira-kira apa yang akan kita lakukan? Mungkin jika itu saya, saya akan bersih-bersih dan merapikan rumah, memasak makanan yang enak, dan menyiapkan cemilan-cemilan untuk disantap sambil meminum teh bersama-sama. Sebagai tuan rumah, tentu saya akan memastikan tamu-tamu saya dapat merasa nyaman. Saya tidak tahu, apakah saya melakukan hal tersebut karena motivasi saya adalah ingin menghormati tamu-tamu saya dan membuat mereka senyaman mungkin berada di rumah saya atau lebih kepada karena saya tidak ingin mendapat malu. Keduanya tentu adalah hal yang sangat berbeda. Sama-sama membersihkan rumah, memasak, dan menyiapkan cemilan namun untuk tujuan yang berbeda.

    Mari kita melihat sebuah kisah yang menyedihkan yang dicatat di kitab Maleakhi. Mungkin ketika membaca kisah ini, perasaan kita mungkin akan sama seperti ketika mendengar ada pendeta yang tersangkut kasus perzinahan atau penggelapan uang. Bagaimana mungkin? Kenapa orang Kristen begitu? Memalukan sekali. Mungkin itulah respon kita. Tetapi walaupun memalukan, mungkin ini adalah hal yang menjadi pergumulan setiap orang ketika menjalani relasi dengan Tuhan yang seharusnya kita respect atau hormati dalam setiap detik kehidupan kita.

    Mari kita membaca dari Maleakhi 1:6-14

    Perikop ini dibuka dengan Tuhan yang memulai percakapan dengan umat Israel. Tuhan memberi perandaian yang sebenarnya merupakan sebuah kritik atau kecaman terhadap perbuatan bangsa Israel kepada Tuhan. Jika anak-anak menghormati ayahnya, atau jika seorang pelayan menghormati tuannya, maka bagaimana umat Israel menghormati ALLAH yang merupakan pencipta dan pelindung mereka? Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah kenapa ALLAH mengajukan pertanyaan seperti ini? Apa kesalahan yang diperbuat bangsa Israel sampai-sampai ALLAH begitu geram kepada mereka?

    Uniknya, bangsa Israel bahkan tidak menyadari kesalahannya. Terbukti di akhir ayat 6, mereka bertanya, “Dengan cara bagaimana kami menghina nama-Mu?” Sebenarnya di sepanjang pasal 1-2 kitab Maleakhi, kita akan menemukan pertanyaan-pertanyaan semacam ini dari bangsa Israel. Bagaimana mungkin kami melakukan yang tidak berkenan? Kapan kami melakukannya? Saya tidak tahu, apakah bangsa Israel menganggap semua yang mereka lakukan adalah hal yang normal karena mereka sudah terbiasa melakukannya atau tidak. Tetapi, ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwa kita harus berhati-hati dengan berkompromi dalam melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hadapan Allah sehingga kita bisa jadi menganggap hal tersebut tidak lagi berdosa dan akhirnya membenarkan diri. Apalagi seperti yang tadi kita sudah baca, bangsa Israel bergumul dengan dosa menghormati Tuhan. Bukankah menghormati apa yang tidak pernah kita lihat adalah sesuatu yang sulit?

    Di zaman post-truth seperti ini, begitu mudah kita berkomentar di media sosial tanpa melihat apa yang sebenarnya terjadi bukan? Suatu hoax begitu mudah memprovokasi pembacanya, karena kita tidak mencari tahu faktanya dan tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi. Israel mungkin memang tidak melihat ALLAH secara langsung, lagipula mereka juga dihimpit oleh keinginan pribadi, pergumulan hidup, yang membuat mereka menjadi sulit peka akan kehadiran ALLAH dan bersikap selayaknya di hadapan ALLAH yang begitu luar biasa dan layak disembah.

    Setidaknya ada 3 aspek akan kegagalan bangsa Israel dalam menghormati Tuhan.

    Pertama, aspek persembahan. Kita bisa melihat di ayat 7-9. Bangsa Israel gagal mempersembahkan kurban bakaran kepada ALLAH. Bukannya persembahan yang terbaik yang bisa mereka berikan, mereka malah memberikan roti cemar, binatang yang cacat dan sakit. Padahal kita semua tahu, bahwa di dalam Kitab Taurat semua hal tersebut sudah diatur. Bahkan kejadian Kain dan Habel seharusnya juga cukup menjadi pelajaran bagi kita semua. Sampai-sampai ALLAH memberikan perandaian lain, seandainya semua persembahan itu mereka persembahkan kepada gubernur mereka (yang berarti merupakan pemerintahan Persia) bukankah dia akan marah?

    Jika teman-teman yang dekat dengan kita yang berkunjung ke rumah kita tidak dilayani dengan cukup baik, mungkin mereka tidak akan marah. Tetapi, jika orang-orang yang haus kekuasaan, ambisi, dan hormat alias megalomania yang kita tahu baru saja datang ke Indonesia setelah bertahun-tahun lamanya melarikan diri ke luar negeri setelah terjerat skandal itu yang datang ke rumah kita, apa jadinya? Mungkin gerakan ormas yang dia pimpin itu akan dikerahkan untuk menyerbu rumah kita.

    Saya tidak membandingkan ALLAH dengan orang tersebut, karena orang tersebut hanyalah manusia biasa yang tidak punya kuasa dan tidak layak disembah. Namun, bukankah ALLAH kita memang layak disembah? Dia adalah pencipta dunia ini dan juga manusia. Dia adalah ALLAH yang telah mengutus anak-Nya sendiri untuk berkurban dan menyelamatkan kita. Dia adalah ALLAH yang mengasihi dan mengampuni kita semua sekalipun berkali-kali kita mengecewakan-Nya. Bukankah keterlaluan sekali jika kita tidak menghormati-Nya?

    Kedua, aspek ibadah. Kita bisa melihat di ayat 10-12, ALLAH bahkan berkata lebih baik tutup pintu bait suci mereka ketika mereka mempersembahkan kurban bakaran karena bagi ALLAH semua pelayanan mereka adalah sia-sia dan Dia tidak berkenan atas semua itu. Tindakan religious mereka menjadi percuma, tidak ada maknanya, rutinitas, dan hanya memberikan keamanan palsu dalam diri mereka.

    Di ayat 11, seakan Maleakhi ingin kembali mengingatkan natur ALLAH yang layak disembah, layak dipersembahkan setiap kurban bakaran oleh segala bangsa di dunia ini. Namun, sayangnya respon bangsa Israel tidak demikian, bahkan mereka dapat berkata seperti di ayat 12, bahwa altar persembahan itu boleh dicemarkan, mereka tidak melihat atau mungkin tidak mempercayai kuasa ALLAH yang begitu luar biasa sehingga layak disembah oleh segala bangsa. Bangsa Israel melakukan rutinitas keagamaan, tetapi menyangkali kuasa ALLAH yang seharusnya menjadi focus dari segala ritual keagamaan mereka.

    Mungkin Bangsa Israel memang meragukan ALLAH, dimana keselamatan yang dijanjikan? Dimana juruselamat itu? Kenapa hidup kami masih menderita? Mungkin itulah sebab mereka tidak lagi respect terhadap ALLAH yang berkuasa menciptakan, menyediakan, dan menyelamatkan mereka. Bagi saya, ini pun adalah hal yang begitu masuk akal. Doa yang tidak kunjung dijawab, musibah demi musibah yang menimpa, mungkin kita pun bisa saja meragukan kuasa Tuhan ketika mengalami semua hal itu. Untuk apa aku beribadah kepada Tuhan yang tidak menjawab doaku, untuk apa aku memberikan persembahan kepada Tuhan yang kuasanya saja tidak terlihat ketika musibah menimpaku, dan berbagai excuse lainnya yang bisa kita pikirkan di saat mengalami hal-hal seperti ini. Tentu ini adalah sebuah pergumulan yang tidak mudah untuk dijawab, bagaimana kita bisa tetap setia? Namun, satu hal yang dapat terus kita katakan kepada diri kita sendiri adalah bahwa ALLAH mengasihi kita dan bukti terbesar kasih-Nya ialah ketika Yesus mati demi menyelamatkan kita, sekalipun kita tidak mengerti mengapa semua hal tersebut terjadi pada saat ini.

    Ketiga, aspek pelayanan. Bangsa Israel pada ayat 13-14 menganggap semua ritual keagamaan yang mereka lakukan adalah kesusah-payahan (dalam Bahasa Inggris digunakan kata ‘burden’ yang berarti beban, dalam BIMK dipakai kata ‘bosan’). Mungkin inilah yang menyebabkan mereka memberikan persembahan yang buruk kepada ALLAH, semua berasal dari hati yang tidak rela dan bosan.

    Sekali lagi ditekankan bahwa Bangsa Israel memberikan persembahan berupa binatang yang dirampas, binatang yang cacat sementara mereka sebenarnya mempunyai binatang yang lebih baik untuk dipersembahkan. ALLAH sangat tidak berkenan dengan semua itu.

    Pernahkah semua persembahan atau pelayanan kita ini, kita anggap sebagai beban yang memberatkan? Mungkin kita terhimpit oleh pergumulan pribadi, ketidakcukupan finansial, kebutuhan yang lebih besar daripada pemasukan sehingga membuat persembahan dan pelayanan lebih baik hanya dilakukan jika kita sudah berduit. Tetapi ALLAH sekali lagi mengingatkan Bangsa Israel pada ayat 13, bukan soal nominal atau seberapa besar dan banyak yang bisa mereka berikan kepada ALLAH merupakan yang terpenting, tetapi yang lahir dari ketulusan hati kita untuk memberikan yang terbaik yang kita miliki itulah yang terpenting (“kalau di antara ternaknya ada binatang yang baik”)

    Di masa-masa PSBB seperti ini, di saat kita beribadah hanya dibatasi oleh layar monitor dan tidak ada komunitas yang secara nyata memperhatikan, apalagi di masa yang sulit ini, sangat mudah iman kita tergoncang karena perekonomian dan masa depan yang tidak menentu. Bukankah sangat mudah untuk kita mempertanyakan kuasa ALLAH dan berkompromi untuk tidak menghormati-Nya dalam persembahan kita (baik secara persepuluhan, mingguan, maupun untuk menolong orang lain), dalam ibadah kita sehari-hari (saat teduh, doa, ibadah minggu, PD), maupun dalam pelayanan (pekerjaan ataupun pelayanan di gereja yang mungkin sangat terbatas karena online). Mungkin mudah berpikir, keadaan ini sedang sulit, tidak perlu memberi persembahan dulu untuk sementara, toh tidak ada yang tahu kalau tidak transfer. Atau, karena di rumah saja ada banyak yang harus dikerjakan begitu bangun, saat teduh nanti malam saja, ibadah minggu sambil memasak sambil mendengarkan rekaman khotbah saja. Atau dalam hal pekerjaan, mumpung di rumah, tidak ada yang tahu kalau saya tidak kerja dengan maksimal.

    Jujur saja, saya bergumul dengan hal-hal di atas. Saya bukan orang yang sempurna seperti harapan yang saya tulisakan di blog ini. Saya juga manusia yang berdosa dan seringkali gagal menghormati ALLAH sebagaimana mestinya. Mari terus membangun kepekaan akan kehadiran ALLAH dalam hidup kita, bukan sebagai rutinitas semata, tetapi karena Dia adalah ALLAH yang layak dihormati dan disembah sebab Dia adalah pencipta dan penyelamat kita.

  • From Zero to Hero

    From Zero to Hero

    Insecure, rasanya ini merupakan kata yang populer di masa sekarang. Social media membuat kita menjadi sangat mudah melihat “kesuksesan” dan membanding-bandingkannya dengan diri sendiri. Saya harus mengakui bahwa saya pun kadang memiliki perasaan insecure, khususnya ketika melihat postingan teman-teman yang seolah memiliki hidup lebih baik dari saya. Hal ini tentu membuat saya menjadi tidak percaya diri.

    Seorang tokoh dalam Alkitab juga mengalami apa yang kita sebut sebagai insecure. Mari kita baca kisahnya di Hakim-Hakim 6:11-19.

    Namanya Gideon, dia adalah seorang yang sangat insecure. Bahkan sewaktu malaikat Tuhan datang dan memanggil dia “pahlawan yang gagah berani”, dia malah merespon dengan sangat pesimis, “Yah, aku mah cuma apa sih, sukuku yang paling kecil. Aku paling muda lagi di keluarga, anak bontot doank. Yang bener aja aku dipanggil buat berperang menyelamatkan bangsaku.”

    Mari kita membayangkan, seandainya ada seseorang yang datang ke rumah kita dan memanggil kita, “Hai kamu, presiden Indonesia yang terhormat.” Mungkin kita akan tertawa. Yang benar saja, saya kan hanya anak SMA / anak kuliah / pegawai kantoran biasa. Kira-kira itu mungkin yang dirasakan oleh Gideon.

    Bangsa Israel pada waktu itu ditindas oleh bangsa-bangsa besar, yaitu bangsa Midian, Amalek, dan orang-orang lainnya dari arah Timur, selama 7 tahun hidup mereka harus menderita. Harta mereka dirampas, makanan mereka diambil, ternak juga semuanya direbut. Sampai-sampai Gideon saja harus mengirik gandum di tempat pemerasan anggur. Tahukah kamu tempat mengirik gandum itu harus di tempat yang terbuka dan berangin supaya kulit gandumnya dapat tertiup dan lepas sehingga menjadi beras yang biasa kita masak menjadi nasi. Sedangkan, tempat pemerasan anggur sebenarnya tidak ideal untuk mengirik gandum. Tempatnya seperti lubang sumur, sempit dan masuk ke dalam. Hal ini membuktikan bahwa Gideon sebenarnya sangat takut dengan orang-orang Midian, sehingga dia mau mengirik gandum di tempat yang sulit dan tidak biasa.

    Selain penakut, Gideon ini juga adalah orang yang mungkin kita akan hakimi sebagai orang yang tidak pantas menjadi pahlawan, tidak pantas dipakai Tuhan, dan mungkin reaksi Gideon ketika bertemu malaikat Tuhan menjadi sangat masuk akal bagi kita. Mengapa demikian?

    Pertama, Gideon merupakan anak Yoas yang adalah seorang imam kuil berhala.

    Kedua, Gideon juga adalah seorang peragu, lihat saja kata-katanya kepada malaikat Tuhan, “Tuhan sudah membuang bangsa kami, padahal katanya dulu Tuhan itu membuat mujizat-mujizat hingga bangsa kami bisa keluar dari Mesir. Namun, sekarang kami nyatanya ditindas orang Midian, dan Tuhan tidak berbuat apa-apa.” Bahkan keraguan Gideon tidak hanya pada saat itu, dia sudah diberikan berbagai macam tanda yang ajaib seperti persembahan yang tiba-tiba saja terbakar api walaupun tidak ada pemantiknya, dan dia masih meminta tanda yang tidak masuk akal lagi kepada Tuhan yaitu supaya guntingan bulu domba yang dia taruh dapat menjadi basah, sedangkan sekelilingnya tetap kering. Tentu saja tidak ada yang mustahil bagi Tuhan, namun nyatanya dia masih saja meminta lagi supaya yang terjadi esok hari adalah kebalikannya.

    Namun, Gideon dan juga kita adalah manusia-manusia yang terbatas, kita menilai dengan kemampuan kita sebagai manusia yang terbatas. Sedangkan Tuhan seringkali memakai orang-orang yang terbatas seperti itu. Tuhan tidak pernah memilih orang-orang yang superpower, yang perfect di dalam segala hal. Mari kita lihat kisah-kisah di Alkitab, Tuhan memakai Abraham dan Sara yang sudah tua dan mandul, Tuhan memakai Musa yang gagap, Tuhan memakai Yakub yang penipu, Tuhan memakai Yusuf yang seorang budak dan napi, Tuhan memakai Daud yang cuma gembala domba dan juga anak bontot yang tidak masuk hitungan ayahnya sendiri. Tuhan memakai Petrus dan kawan-kawan yang cuma nelayan, bahkan ada juga yang pemungut cukai dan sering dijauhi orang karena suka memeras pajak orang lain, dan sampai akhirnya Tuhan sendiri yang datang sebagai anak tukang kayu, lahir di kandang domba, untuk menyelamatkan kita semua.

    Ada banyak alasan bagi tokoh-tokoh Alkitab tersebut, dan juga bagi Tuhan Yesus sendiri untuk berkata “Aku tidak PD, aku tidak pantas, aku tidak layak.” Namun, apakah mereka pada akhirnya menyerah dan tidak taat? Tidak, mereka semua taat.

    Kenyataannya, ketika kita melihat diri kita yang penuh kekurangan, Tuhan melihat jauh lebih dalam di balik semua kekurangan kita. Tuhan melihat kita sebagai seorang anak yang Dia cintai dan kasihi. Kita berharga di mata Tuhan, sekalipun kita memiliki banyak keterbatasan dan kekurangan.

    Apakah kita tidak PD dengan penampilan kita? Tidak PD dengan kemampuan akademik? Tidak PD dengan apa yang kita miliki? Tidak PD karena follower kita hanya sedikit atau yang menyukai post IG kita hanya sedikit? Tidak PD karena keluarga yang tidak sebaik orang lain? Ini mungkin saatnya iman kita dilatih seperti Tuhan melatih iman Gideon yang merasa dirinya hanya ZERO sehingga dapat menjadi seorang HERO.

    Bagaimana caranya kita melatih iman kita? Jawabannya adalah taat. Seperti Gideon yang disuruh mempersembahkan daging dan roti (20). Padahal jika dipikir-pikir, malaikat itu hanyalah seorang asing bagi Gideon. Jika kita mau hitung-hitungan, apalagi makanan disana langka karena sering dirampas orang-orang Midian. Tetapi Gideon tetap taat mempersembahkan daging dan roti tersebut.

    Cerita ketaatan Gideon berlanjut ketika dia diminta untuk menghancurkan mezbah Baal kepunyaan ayahnya. Gideon benar-benar menghancurkan tiang-tiang berhala tersebut (25) hingga akhirnya seluruh kota marah dan mau membunuh Gideon karena perbuatannya itu (30). Takut? Pasti (27). Gideon tahu resikonya, namun dia tetap taat. Begitu juga ketika Gideon disuruh memimpin perang dengan orang-orang yang selama ini menindas mereka (34). Takut? Jelas. Apalagi Gideon disuruh berperang hanya dengan 300 orang pasukan, di saat sebenarnya ada 20 ribu pasukan yang siap untuk berperang. Namun, Tuhan hanya ingin memakai 300 orang dari 20 ribu tersebut. Gideon bisa saja tidak taat, toh jika dipikir-pikir dengan akal sehat, dengan 20 ribu orang pasti akan menang jika dengan 300 orang mempunyai kemungkinan yang lebih kecil untuk memenangkan perang. Sekali lagi kita melihat teladan ketaatan dari Gideon, seorang yang awalnya insecure dan memang tidak mempunyai apa-apa yang bisa dia banggakan. Walaupun ending hidup Gideon tidak sebaik permulaan kisahnya, tetapi surat Ibrani 11:31 mencatat dia sebagai salah satu pahlawan iman.

    Bagaimana kita bisa taat melakukan kehendak Tuhan walaupun kita lemah dan tidak yakin dengan kemampuan kita? Kuncinya adalah dengan mengikuti pelatih kita. Pelatih kita bukan Gideon tentunya, Gideon hanya manusia lemah yang sama seperti kita.

    Peran kita adalah seperti Gideon, kita boleh jujur jika kita takut, kita ragu, kita lemah dan mengakui memang kita tidak PD. It’s okay to be not okay. Namun, kita harus membawa semua itu kepada Tuhan dan mengimani bahwa Tuhan akan menuntun kita melewati setiap rencana dan kehendaknya dalam kehidupan kita. Ya, kita memang takut, kita memang sedih ketika kita dihina, dijauhi, atau gagal karena melakukan kehendak Tuhan. Mungkin kalau kita tidak berbuat curang di dalam usaha baik itu di sekolah atau di tempat kerja, kita akan mengalami kegagalan. Mungkin kita merasa penampilan kita tidak baik dan terpuruk karena kita sering diejek sehingga kita gagal melihat kasih Tuhan bagi kita. Namun, ikutilah Tuhan, sang pelatih iman kita. Pandanglah kepadanya, berlarilah dengan-Nya dalam melakukan kehendak-Nya.

    Dia mengasihi kita dan menganggap kita berharga di mata-Nya.