Category: Artikel

  • Dreaming of Christmas

    Dreaming of Christmas

    Dulu, saya pernah pergi ke suatu café dan memesan segelas kopi. Sebenarnya saya memang tidak terlalu suka kopi, apalagi kopi pahit. Tapi ketika saya lihat daftar menunya dan namanya satu per satu, ada satu nama yang kelihatannya menarik dan saya pikir kopi ini tidak akan pahit dan akan terasa enak. Tapi ketika kopi itu sampai di meja saya dan saya seruput, ternyata ekspektasi saya salah. Kopi yang saya pesan itu ternyata kopi pahit dan rasanya tidak enak. Tapi karena saya sudah pesan, terpaksa saya harus habiskan. Pernahkah kamu mengalami realita yang tidak sesuai dengan ekspektasi?

    Baca Lukas 4:16-27

    Pada waktu itu, Yesus sedang membacakan gulungan kitab nabi Yesaya tentang nubuatan pembebasan bangsa Israel. Waktu itu, ayat ini seringkali ditafsirkan sebagai kedatangan Mesias yang akan membebaskan bangsa Israel dari penjajahan bangsa Romawi. Tapi ketika Yesus berkata genaplah semua perkataan ini, yang Yesus maksudkan sebenarnya adalah pembebasan umat manusia dari perbudakan dosa.

    Namun ada satu hal yang menarik disini. Ada sebuah nama muncul yang mungkin sering kita dengar kisahnya di sekolah minggu, yaitu Naaman. Naaman adalah seorang pahlawan perang di kerajaan Aram, dia dikagumi dan disenangi oleh raja dan rakyatnya. Sayangnya kehidupannya berubah drastis karena penyakit kusta yang tiba-tiba menyerangnya. Tentu saja dia sangat ingin sembuh dan pasti dia sudah mencoba berbagai cara dan mendatangi semua tabib di Aram. Tapi semuanya sia-sia, hingga akhirnya dia mendengar kabar tentang nabi Elisa yang dapat menyembuhkannya. Dengan harapan yang besar pun, dia pergi menempuh perjalanan yang jauh dari Aram ke Israel.

    Tapi masih ingat apa yang terjadi? Yang menyambutnya hanyalah utusan Elisa yang menyuruh dia mandi di sungai Israel yang kotor sebanyak tujuh kali. Marah, itulah perasaan Naaman yang mengharapkan Elisa keluar dan menunjukkan mujizatnya sehingga kusta Naaman langsung lenyap. Naaman mendengar jawaban yang tidak diharapkannya ketika tiba di rumah Elisa. Penduduk Nazaret juga tidak mengharapkan seorang Mesias yang seperti Yesus, seorang anak tukang kayu yang besar di kampung mereka.

    Dreaming of Christmas, Natal seperti apakah yang kita impikan? Mungkin Natal adalah hal yang biasa kita lewat setiap tahun sehingga kita merasa tidak ada yang spesial. Akhirnya kita lupa merenungkan pemeran utama Natal yaitu Yesus. Sampai sebatas manakah kita merenungkan arti kedatangan Kristus yang sebenarnya? Yaitu membebaskan manusia dari dosa. Apakah kita seperti orang Nazaret yang hanya ingin Mesias yang sesuai dengan ekspektasi mereka dan yang penting bisa memuaskan keinginan hati mereka?

    Ada yang jauh lebih penting daripada ekspektasi kita sendiri, yaitu kedatangan Kristus yang sudah menebus semua dosa dan espektasi atau harapan kita ke dalam kehendak-Nya.

    Mungkin kita merasa hidup di dalam Tuhan tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Sehingga kita kecewa dengan Tuhan atau kita malah menyangkali realita dan terus terjebak dalam ekspektasi yang salah. Misalnya, “Aku hidup berkenan di hadapan Tuhan kok walaupun gak sempet ke gereja atau pelayanan, yang penting aku jadi berkat di kantor karena kerjaanku selesai semua. Tuhan itu kan baik, Dia pasti mengerti kondisiku.”

    Saya juga mengalami betapa sulitnya mengerjakan kehendak Tuhan di tengah-tengah lingkungan yang memaksa saya untuk hidup sesuai dengan kehendak mereka yang jelas berlawanan dengan kehendak Bapa. Namun, mari kita belajar dari kisah Naaman yang akhirnya sembuh karena dia taat. Tuhan mungkin memang menyuruh kita melakukan sesuatu yang sangat sulit atau tidak suka kita lakukan, akan tetapi mari  kita taat, berani menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Tuhan. Pasti kita akan sembuh dari kekecewaan akibat ekspektasi-ekspektasi kita yang berpusat pada diri sendiri.

  • Yesus Sanggup Mengubah Aib Kita menjadi Alat Kasih Karunia-Nya

    Yesus Sanggup Mengubah Aib Kita menjadi Alat Kasih Karunia-Nya

    Penulis:
    Jon Bloom

    Diterjemahkan dari:
    Jesus Is Turning Your Shame into a Showcase of His Grace

    http://www.desiringgod.org/articles/jesus-is-turning-your-shame-into-a-showcase-of-his-grace

    Anda tahu bagian dari diri yang Anda sangat tidak ingin orang lain tahu — kelemahan yang sulit diubah, kegagalan yang hina, penyakit yang memalukan, masa lalu yang mengerikan, atau mungkin pergumulan dosa yang sekarang dialami. Ada kabar baik untuk Anda melalui kisah seorang wanita yang menderita pendarahan di Lukas 8.


    Yesus saat itu adalah seorang ‘selebriti’. Dan keramaian memadati sekeliling-Nya ketika Dia sedang berjalan menuju rumah Yairus untuk menyembuhkan anak perempuannya yang sudah berusia 12 tahun.

    Di tengah keramaian itu, adalah seorang wanita putus asa. Sudah 12 tahun dia menderita Vaginal Hemorrhage [penyakit alat reproduksi pada vagina berupa mentruasi yang tidak berhenti-henti]. Semua pengobatan medis yang dia coba telah menghabiskan hartanya. Tidak ada yang dapat menyembuhkannya.

    Tapi dia telah melihat kuasa penyembuhan Yesus. Ketika Dia menyentuh orang-orang, maka mereka sembuh. Pikirnya, jika saja dia dapat menyentuh-Nya…

    Akan tetapi, dia [wanita ini] punya suatu masalah. Masalahnya itulah masalah. Semua orang yang datang kepada Yesus untuk disembuhkan harus menceritakan kepada-Nya — demikianlah semua orang — apa masalah yang mereka alami. Yairus juga sudah melakukannya. Tapi bagaimana dengan penyakit organ reproduksi? Di depan semua orang-orang itu? Yang lebih parah, penyakit pendarahannya ini membuat dia tidak tahir [najis menurut hukum Taurat], yang artinya membuat dia bertambah merasa hina dan malu.

    Tapi mungkin Yesus tidak perlu tahu bahwa Dia sudah tersentuh olehnya. Bagaimana jika wanita itu menyentuh-Nya? Dengan begitu banyak orang yang ingin mendekati Yesus, dia bisa saja dengan cepat menyentuh jubah-Nya. Tidak akan ada seorangpun yang tahu.

    Dorongan dan desakan dilaluinya menuju kepada Sang Rabi. Semakin dekat dia pada Yesus, semakin tak karuan tubuhnya teraduk. Murid-murid Yesus sudah mencoba menghalangi orang-orang untuk menyentuh Yesus. Tapi keputusasaan wanita ini telah memantapkan determinasinya. Tiba-tiba saja ada celah yang terbuka dan dengan cepat, dia langsung membungkuk dan mengibaskan tangannya untuk meraih ujung jubah Yesus.

    Sementara dia kembali berdiri dan mundur, dia merasa ada sebuah kehangatan yang menjalar melalui perutnya. Dalam sekejap dia tahu bahwa dia sudah sembuh. Seketika itu juga, kejutan kebahagiaan memenuhinya.

    Setidaknya selama 5 detik.

    Kemudian Yesus berhenti dan mulai mencari di tengah keramaian itu. Dia melihat dengan risau dan berkata dengan keras, “Siapa yang menjamah Aku?” (Lukas 8:45)

    Ketakutan sekejap memenuhi wanita itu kembali. Semua orang yang berdiri dekat Yesus mulai mundur dan saling melihat. Banyak dan bermacam-macam pengakuan “Bukan aku!” Tapi wanita itu diam membeku.

    Petrus yang merasa risih, berkata kepada Yesus, “Guru, orang banyak mengerumuni dan mendesak Engkau.” Ya ampun, semua orang juga ingin menyentuh-Mu!

    Tapi Yesus tetap melihat dan berkata, “Ada seorang yang menjamah Aku, sebab Aku merasa ada kuasa keluar dari diri-Ku.” (Lukas 8:46)

    Wanita ini sadar bahwa dia tertangkap basah. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia mungkin sudah mencuri kesembuhan ini.

    Tanpa perlawanan, dia berkata, “Akulah orangnya.” Dia melangkah ke hadapan Yesus dan orang ramai memberikan jalan baginya. Dengan penuh air mata, dia berlutut di hadapan-Nya. “Aku menyentuh Engkau, Tuan.” Kemudian dia menceritakan semua aibnya di hadapan orang banyak itu.

    Hati Yesus tersentuh. Dia membungkuk dan menyeka air mata wanita itu, kemudian berkata, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!”

    Ketika Yesus akhirnya sampai di rumah Yairus dan membangkitkan anak perempuannya, Yesus melarang orangtua anak itu untuk mengatakan kepada siapapun apa yang dilakukan-Nya (Lukas 8:56). Tapi wanita ini, yang sudah berusaha begitu keras agar kesembuhannya tidak ketahuan ternyata malah harus menceritakan semua aibnya itu di depan banyak orang. Mengapa?

    Karena wanita ini percaya kepada-Nya.

    Apa yang Yesus perlihatkan saat itu bukanlah kelemahan dan aib wanita itu. Apa yang Yesus tunjukkan adalah imannya. Dia ingin iman wanita ini terlihat, sehingga semua orang yang membawa aib memalukan yang selama ini dirahasiakan — yang artinya semua dari kita — dapat memliki pengharapan [di dalam Yesus].

    Yesus, Tabib yang Ajaib, memiliki kekuatan untuk menyembukan kita dari setiap dosa, kelemahan, kegagalan, penyakit dan semua kejahatan yang pernah menyerang kita. Dan Dia berjanji untuk menyembuhkan semua orang yang percaya kepada-Nya (Yohanes 3:16; Matius 21:22).

    Iman adalah apa yang berkenan bagi Tuhan (Ibrani 11:6) dan iman adalah apa yang memperlihatkan kasih karunia Tuhan dalam hidup kita (Efesus 2:8; Lukas 8:48). Apakah Anda ingin dilepaskan dari rasa malu atau aib Anda? Datang dan percayalah kepada Yesus. Datang dengan keputusasaan dan kerinduan yang dalam untuk menyentuh-Nya. Dan jika imanmu lemah, teriakanlah, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Markus 9:24) dan “tambahkanlah iman[ku]!” (Lukas 17:5).

    Tidak, mungkin tidak semua janji kasih karunia itu akan diterima sekarang (Ibrani 11:39). Faktanya, kebanyakan ditunda hingga hidup baru kita yang akan datang (Ibrani 11:35).

    Tapi, Anda yang percaya kepada-Nya akan menerima kasih karunia yang cukup (2 Korintus 12:9) untuk menolong Anda pada waktunya (Ibrani 4:16).

    Jadi percayalah kepada-Nya. Aib dan rasa malu itu tidak akan tinggal diam selamanya. Yesus sanggup mengubahnya menjadi suatu alat kasih karunia-Nya.

    Tolonglah aku yang kurang percaya ini. Walau di dalam hidup yang fana ini aku tidak dapat melihat janji-Mu, ingatkan diriku bahwa janji-Mu akan digenapi suatu hari nanti di dalam kekekalan yang lebih indah.

  • Wasiat Kepada Pelayan Kristus

    Wasiat Kepada Pelayan Kristus

    Bayangkan Anda sebentar lagi akan meninggal dunia, kira-kira apa yang ingin Anda katakan kepada pasangan, anak, dan cucu Anda? Biasanya kata-kata atau nasihat terakhir atau wasiat yang biasa kita sebut, isinya adalah sesuatu yang sangat penting untuk didengar. Karena seseorang yang akan pergi, hanya punya satu kesempatan itu saja untuk berbicara terakhir kalinya.

    Apa isi nasihat terakhir Paulus sebelum dia pergi meninggalkan jemaat Efesus? Inilah yang akan kita bahas dalam Kisah Para Rasul 20:17-35. Saya menyusunnya dalam bentuk narasi dialog sehari-hari dengan memposisikan pembaca sebagai para penatua jemaat Efesus.


    Narator:

    “Ya, Bapak-bapak dan Ibu-ibu penatua jemaat Efesus, saat ini, saya sebagai utusan dari Bapak Paulus ingin mengajak kita semua untuk pergi ke suatu kota bernama Miletus. Karena Bapak kita yang terkasih, Paulus memiliki suatu hal yang sangat ingin ia sampaikan kepada kalian sebelum ia pergi melanjutkan perjalanan misinya. Mari kita sambut dia, Paulus.”

    Paulus:

    “Shalom saudara-saudaraku yang terkasih, sebelumnya aku meminta maaf kepada kalian semua karena aku tidak sempat pergi ke kota Efesus, kota tempat tinggal kalian, sampai-sampai kalian yang harus datang jauh-jauh kemari. Saat ini aku sebenarnya sedang terburu-buru pergi ke Yerusalem, karena aku harus sampai disana di hari Pentakosta (sekitar 30 hari lagi dimulai dari sekarang, hari raya paskah – ay.6). Sebenarnya bisa saja aku ke Efesus mengunjungi kalian langsung, tapi aku tidak yakin aku akan keluar dengan mudah mengingat banyak orang-orang yang membenciku disana. Jadi mohon maaf sekali lagi kalau jadi merepotkan kalian, karena memang saat ini ada hal yang sangat penting aku sampaikan kepada kalian sebelum aku pergi.

    (17-19)

    Saudara-saudaraku, aku bersyukur ketika aku bisa bertemu dan melayani kalian semua. Kalian masih ingat kah dengan kedatanganku ke Asia, ketika pertama kali aku menginjakkan kakiku ke Efesus sekitar 3 tahun yang lalu. Aku baru mengalami suatu masalah di Korintus dan lalu pergi ke Efesus (Kis. 18). Disitulah aku bertemu kalian semua, aku teringat bagaimana aku mengajari kalian di Efesus bersama kedua sahabatku Priskila dan Akwila, aku ingat juga kebersamaan kita, sampai-sampai waktu itu kalian tidak tidak mengijinkanku untuk pergi ke Kaisarea. Lalu momen-momen ketika aku mengajari kalian di ruang kuliah Tiranus selama 2 tahun, lalu peristiwa dengan anak-anak Skewa, Demetrius, dan demo di gedung kesenian Efesus hingga akhirnya aku pergi ke Makedonia. (Kis. 19)

    (19-21)

    Tidak terasa sudah 3 tahun aku mengenal kalian dan sudah beberapa bulan ini kita tidak bertemu. Ada begitu banyak air mata, penderitaan, dan berkali-kali lolos dari pencobaan pembunuhan oleh orang-orang Yahudi yang tidak suka padaku. Itulah yang kulalui selama 3 tahun ini demi melayani kalian. Aku bersyukur bisa melihat buah dari pelayananku, yaitu orang-orang percaya seperti kalian dan jemaat lainnya di Efesus yang tidak bisa datang kemari, sesudah aku mengajarkan baik-baik kebenaran Injil Kristus, di tempat-tempat umum, ruang kuliah Tiranus, maupun di persekutuan rumahan.

    (22-23)

    Tapi sebentar aku akan pergi ke Yerusalem. Aku sadar ada visi yang sangat jelas bahwa Roh Kudus menuntun ku kesana. Jujur sebagai manusia, rasa khawatir pasti ada. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi disana pada diriku selain hal-hal yang biasa aku alami seperti aniaya dan penjara. Tapi mungkin saja aku mengalami apa yang Kristus alami di Yerusalem, perjalanan terakhir-Nya. Mungkin saja Yerusalem juga adalah kota terakhir yang kunjungi. It means, kita tidak akan bisa bertemu lagi.

    (24)

    Aku khawatir dan takut, tapi aku tidak peduli dengan nyawaku dan dengan apa yang akan terjadi pada masa depanku, karena aku ingin mengakhiri hidupku dengan baik. Aku tidak ingin hidupku diakhiri dengan sia-sia saja. Kerinduanku adalah aku bisa mati di tengah mengerjakan tugas yang Tuhan berikan padaku, yaitu mengabarkan Injil. Cukup itu saja keinginanku.

    (25-27)

    Karena itulah mungkin di Yerusalem, aku akan mati dibunuh dan tidak bisa lagi keep in touch dengan kalian, mengajari kalian, dan menguatkan iman kalian di Efesus. Tapi aku berani mendeklarasikan bahwa hari ini hutangku kepada Efesus, kota yang penuh dengan berhala itu sudah lunas kubayar dengan ajaran-ajaranku selama 3 tahun ini dan dengan kehadiran kalian sebagai buktinya, para penilik, orang-orang yang Tuhan percayakan tugas untuk menggembalakan jemaat Efesus. Ya mungkin memang tidak semua orang di kota Efesus sudah bertobat, tapi aku sudah berjuang untuk memberitakan Injil kepada mereka walaupun mereka menolak.

    (28-30)

    Selanjutnya aku serahkan kepada kalian, jagalah kawanan domba, jemaat Efesus yang seharga dengan nyawa Kristus itu sendiri. Mereka dipercayakan oleh Allah kepada kalian. Aku peringatkan, jaga mereka baik-baik! Karena aku tahu, aku melihat dengan yakin dari penyataan Roh Kudus, bahwa setelah aku pergi akan ada orang-orang yang berusaha menyesatkan kalian dengan ajaran-ajaran palsu. Bahkan di antara kalian sendiri akan ada yang menyesatkan jemaat-jemaat lainnya.

    (31-32)

    Kalau saat ini, kalian mungkin merasa diri kalian fine. Tidak ada masalah, kalian adalah orang percaya yang taat, tapi siapa yang tahu? Mungkin nanti kalian akan terpengaruh oleh ajaran sesat yang lebih menggiurkan daripada harus menderita mengikuti Kristus? Mungkin kalian tidak tahan dengan penderitaan ini dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan iman? Who knows? Karena itu ingatlah aku sudah mencucurkan air mataku dan bertahan di dalam penderitaan selama 3 tahun lamanya demi melayani kalian. Bahkan aku siap mati di Yerusalem asalkan aku bisa mati di tengah tugasku sebagai pelayan Kristus. Jangan sekali-sekali meninggalkan imanmu! Sebenarnya dengan sangat berat hati aku harus meninggalkan kalian, tetapi aku percaya bahwa Allah yang mengutus aku pergi, maka Dia juga berkuasa membangun jemaat di Efesus dan memberi kalian anugerah keselamatan itu bagi kalian yang percaya dan bertahan hingga akhir.

    (33-34)

    Aku harap kalian juga belajar dari aku, contohlah aku yang tidak mengharapkan materi, kekayaan, emas, perak, pakaian dari siapapun juga dalam pelayananku. Di tengah kesibukan pelayanan, aku bekerja sebagai pembuat tenda untuk menghidupi diriku secara mandiri, bahkan aku juga membiayai keperluan teman-teman sepelayananku. Bukan semuanya untuk diriku.

    (35)

    Lewat sharing pengalaman hidup dan nasihat-nasihat terakhir ini, aku harap kalian semua bisa melayani dengan tulus hati tanpa mengharapkan persembahan kasih dalam pelayanan kalian para penilik, bermurah hati kepada jemaat maupun orang belum percaya yang butuh pertolongan kita, dan melayani Tuhan dengan giat seperti kerinduan yang sudah ku sharing-kan kepada kalian. Yesus sendiri pernah mengatakannya, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.”


    Berakhirlah narasi tersebut di sini. Kira-kira apakah yang bisa kita pelajari dari narasi ini? Renungkanlah: WASIAT

    1. Wafat demi Kristus

    Seorang pengkhotbah pernah berkata, “Kita tidak akan mampu menyerahkan hidup kita kepada Tuhan sepenuhnya jikalau kita belum rela mati bagi-Nya.” Jika memikirkan baik-baik kalimat ini, rasanya radikal sekali tetapi juga masuk akal sekali. Bagaimana mungkin kita bisa menyerahkan hidup kita kepada Tuhan jikalau untuk melepaskannya saja kita tidak mau? Tidak usah terburu-buru sampai menyerahkan hidup jika untuk waktu, uang, dan kenyamanan hidup saja tidak mau kita lepaskan. Saya terkesan dengan Paulus yang begitu rindu untuk mati di tengah-tengah mengerjakan tugas mulia yaitu mengabarkan Injil. Ketika melayani Tuhan, apakah kita juga adalah orang-orang yang mau mati-matian, tidak peduli dengan materi, kuasa, prestise bahkan nyawa kita sendiri seperti Paulus?  Are you ready to die for Christ?

    1. Astaga! Tenyata aku punya hutang!

    Akronim kali ini kelihatannya agak memaksa. Tapi inilah yang seringkali saya ucapkan ketika baru teringat bahwa saya pernah berhutang pada orang lain dan belum lunas. Seringkali kita lupa pernah berhutang kepada orang lain, tapi berbeda dengan Paulus. Paulus tahu benar bahwa dirinya berhutang kepada semua orang. Hutang apakah itu? Hutang untuk mengabarkan Injil (Rom.1:14). Apakah kita juga sadar bahwa sebagai seseorang yang sudah menikmati kasih Allah, kita pun juga adalah orang yang berhutang kepada mereka yang belum merasakannya?

    1. Selalu Taat

    Beranikah kita tetap taat pada panggilan Allah walaupun, masa depan kita masih blur jika kita taat? Panggilan Allah tidak selalu clear, seperti Abraham yang Allah panggil ke tempat yang dia sendiri tidak tahu ada dimana dan seperti apa (Ibr.11:8). Leap of faith di dalam game Assassin’s Creed adalah sebuah mini objective dengan melompat dari tower yang sangat tinggi tanpa perlindungan apapun yang dipakai dan mendarat di dasar (entah di tumpukan jerami, air, atau apapun itu). Di dalam hidup kita, terkadang kita pun juga harus belajar melakukan leap of faith, khususnya saat Tuhan memanggil kita tanpa kita tahu akan seperti apa masa depan kita. Tapi kita bisa percaya bahwa God is too wise to be mistaken, God is too good to be unkind.

    1. Ingat Mereka

    Kisah Alkitab bukanlah isapan jempol belaka, Stefanus, dan rasul-rasul lainnya adalah tokoh-tokoh nyata yang mati demi Injil. Setelah mereka pun, darah kaum martir terus tercurah menyirami jalan salib sehingga kita dapat mendengarkan berita Injil. Orang-orang di sekitar kita, guru sekolah minggu yang dengan sabar mengajar kita waktu kecil, pendeta dan mungkin pemimpin kelompok kecil kita juga adalah orang-orang yang berkorban agar kita dapat dilayani dan menjadi murid yang sejati. Apakah kita mengingat mereka yang berjuang demi melayani kita? Mereka yang mengucurkan darah (para martir), keringat, mengalami penolakan oleh orang-orang terdekat, kehilangan, dan miskin karena melayani kita. Kiranya mereka selalu memotivasi kita dalam mengerjakan pelayanan ini. (Ibr.13:7)

    1. Ancurkan ego mu

    Satu lagi akronim yang terkesan maksa demi terbentuknya kata WASIAT. But it’s okay. So… Kita dapat membaca dari narasi bahwa Paulus tidak selfish bekerja untuk memperkaya diri sendiri (Fil. 4:11-13), dia juga tidak mau membebankan orang lain untuk mencukupi kebutuhan hidup Paulus selama dia melayani tanpa imbalan (1 Tes. 2:9). Tidak hanya itu, Paulus juga memikirkan kebutuhan teman-teman sepelayanannya di tengah kekurangannya. Apakah kita sudah peduli satu sama lain dengan teman-teman sepelayanan kita yang kesusahan? Bersatulah untuk saling membangun dengan menjadi orang-orang yang selfless (bukan selfish).

    1. Teladan yang Hidup

    “Menjadi sombong itu alami, menjadi rendah hati perlu perjuangan keras.”, kata seorang pengkhotbah yang saya kagumi. Tapi saya tetap saja tidak tahan berlama-lama dengan seseorang yang menunjukkan kesombongannya dengan terang-terangan melalui perkataannya. Apalagi jika kita tahu bahwa apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan kenyataannya. Melihat Paulus yang begitu berani berkata, tirulah aku, contohlah aku (Fil. 4:9), Paulus bukan sedang membual dan menyombongkan diri, tapi memang yang dia katakan adalah kenyataannya. Kiranya ketika kita juga sedang menuntun dan mengajari orang-orang yang kita gembalakan, itu semua bukan hanya sebatas pemuasan eksistensi diri saja, tapi mereka juga boleh melihat bahwa apa yang kita ajarkan itu sudah sesuai dengan kesaksian hidup kita juga.

    Radikal? Memang, coba saja lihat mereka yang disebut Kristen dalam Alkitab memanglah murid-murid yang radikal. Mati demi Kristus? Ew, rasanya berat sekali pembahasannya, penuh dengan penderitaan, dan mudah diucapkan di mulut tapi belum tentu siap jika harus melakukannya sekarang juga. Tapi ingatlah juga bahwa Allah ada untuk kita dan menyertai kita mengerjakan WASIAT ini.

    “Suffering is unbearable if you are not certain that God is for you and with you.” – Tim Keller


    (Ditulis saat mempersiapkan sharing Firman Persekutuan Doa Kantor Perkantas Jakarta tanggal 10 Juni 2016)