Category: Pendalaman Alkitab

  • My Tribute

    My Tribute

    Saudara, pernahkah Anda ditolong oleh seseorang sampai-sampai rasanya Anda merasa ucapan terima kasih saja bahkan tidak cukup? Anda merasa harus melakukan sesuatu untuk orang itu, kalau tidak rasanya ada yang kurang. Jika Anda pernah mengalaminya, kebaikan sehebat apa yang menggugah Anda hingga pernah mengalami pengalaman seperti itu?

    Mungkin pertanyaan di atas akan membuat kita berpikir cukup lama. Rasanya di dunia ini, kita sudah sangat jarang menemukan kebaikan yang begitu berkesan dalam hidup kita. Namun, ada sebuah kisah tentang orang-orang yang pernah ditolong dan akhirnya mengabdikan hidupnya kepada pribadi yang menolongnya.

    Izinkan saya menceritakan kisah yang tercatat dalam Roma 15:22-33 dengan kata-kata saya sendiri…

    Setelah pelayanan yang berkembang dan cukup settle di Korintus, Paulus tiba-tiba saja membuat sebuah pengumuman untuk mengakhiri pelayanannya di Korintus dan mengunjungi Roma setelah sekian lama harapan itu (Rom.1:13) terhalang untuk dilakukannya. Sebenarnya halangan itu tidak lah terlalu berarti. Kapan pun jika Paulus ingin mengunjungi Roma, hal itu bisa dilakukannya. Tapi… ah dasar Paulus, bebannya yang besar untuk berfokus melayani orang-orang non Yahudi membuatnya tidak sempat mengunjungi Roma barang sebulan atau bahkan seminggu saja.

    Namun sekarang, pekerjaan pelayanannya di Korintus sudah selesai. Ia berkata bahwa tidak ada lagi tempat kerja di daerah tersebut baginya. Gereja sudah dibangun dan sudah ada orang-orang yang cakap mengajar disana. Tidak seperti gereja-gereja kini yang senang mencuri domba gereja lain demi menambah jemaat dan jumlah persembahan, Paulus sangat anti mencuri domba-domba yang digembalakan dengan baik oleh orang lain (ay.20). Lalu apa selanjutnya? Menjadi gembala di Roma kah? Tentu tidak, karena di Roma pun sudah ada orang-orang yang mengajar dengan baik. Sebagai seorang yang visioner dan bersemangat untuk memberitakan Injil, sudah pasti ia ingin menjelajahi tempat yang baru. Tentu saja, kerinduan dan impiannya itu terbang ke Spanyol. Mengapa Spanyol? Karena, pada zaman itu Spanyol dipercaya adalah ujung bumi, tempat terjauh yang bisa dicapai Paulus untuk menyebarkan Injil ke seluruh dunia. Betapa ‘ambisiusnya’ Paulus, ia sangat bercita-cita menjadi pembawa Injil sampai ke seluruh dunia.

    Akan tetapi ada satu hal yang harus Paulus lakukan terlebih dahulu pada waktu itu, yaitu mengantarkan bantuan berupa uang seperti yang pernah Paulus khotbahkan kepada jemaat di Korintus (1Kor.16:1-4). Bantuan uang tersebut berasal dari Makedonia dan Akhaya–gereja non Yahudi–seperti yang tercatat dalam 2Kor.8-9.

    Kelihatannya, ini sesuatu yang biasa dan memang seharusnya dilakukan oleh orang Kristen untuk membantu sesama. Akan tetapi, Paulus memandang persembahan mereka dari sudut pandang yang lain. Persembahan itu bukan untuk membuktikan kasih mereka, melainkan ungkapan syukur. Pasalnya, orang-orang non Yahudi berhutang kepada orang Yahudi sehingga mereka bisa mengenal Kristus. Persembahan itu pun menjadi ucapan terima kasih karena akhirnya mereka dapat menemukan indahnya kasih Kristus yang tidak terukur oleh harta berapa pun.

    Tapi lagi-lagi dasar Paulus memang tidak ada kapoknya. Padahal sudah tahu kalau di Yerusalem ia pasti akan ditindas, tapi ia masih saja ingin kesana. Tanpa malu, Paulus pun meminta dukungan doa oleh jemaat Roma agar ia dilindungi dari orang-orang yang tidak percaya di Yudea ketika menuju ke Yerusalem. Paulus sendiri bahkan tidak yakin apakah ia akan bisa keluar dengan selamat dari Yerusalem (Kis.20:22).

    Cerita pun bersambung dan sekarang kita bisa harap-harap cemas. Semoga saja harapannya untuk mengunjungi Roma dan memulai pelayanan di Spanyol dapat tercapai.


    Kira-kira dari kisah ini, apa hal yang dapat kita pelajari?

    Kecintaan Paulus terhadap Injil Kristus membuatnya rela meninggalkan setiap kenyamanan. Pelayanannya di Korintus sebenarnya sudah cukup settle. Walaupun Paulus seorang pemimpin gereja dan pengkhotbah besar, dia tidak berusaha menguasai dan membangun di atas dasar yang sudah diletakkan orang lain. Potensi untuk menjadi terkenal tidaklah ia ambil. Kenyataan bahwa Spanyol merupakan tempat yang jauh, tidak membuatnya menyerah untuk pergi demi pemberitaan Injil dapat diberitakan sampai ke seluruh dunia. Tidak hanya itu, ia juga rela pergi ke Yerusalem sekalipun ia tahu bahwa disana akan ada orang-orang yang tidak senang akan keberadaannya. Dan, ternyata memang demikian (Kis.22-26). Perjalanan Paulus selama di Yerusalem memang tidak mudah. Di sana dia di sidang dan akhirnya sampai di Roma sebagai tahanan.

    Saya juga terkesan dengan bagaimana kesatuan tubuh Kristus itu benar-benar dihayati oleh jemaat di Makedonia dan Akhaya. Jikalau kita membaca 2Kor.8 maka kita akan melihat bahwa sebenarnya mereka bukanlah jemaat yang hidup berkelimpahan. Akan tetapi mereka mau memberi bahkan melebihi kemampuan mereka sendiri. Inilah suatu bukti bahwa ucapan syukur atas pengenalan terhadap Kristus seharusnya melebihi kenikmatan harta duniawi dan kenyamanan hidup kita.

    Dari contoh apa yang dilakukan Paulus dan jemaat Makedonia serta Akhaya, kita dapat belajar bahwa respon hidup yang memuliakan Allah adalah mengesampingkan ke-aku-an. Dalam buku Merupa Hidup dalam Rupa-Nya yang ditulis oleh Pdt. Yohan Candawasa, dikatakan bahwa seseorang yang menjadikan kepuasan, kesenangan, dan kebahagiaan sebagai yang utama dalam kehidupannya adalah orang yang sedang menjadikan dirinya sendiri sebagai ‘Tuhan’. Ketika kita mencari semua itu dan Tuhan berkata tidak, kita akan dengan mudah terbawa dalam kekecewaan yang sangat dalam. “Namun pengalaman pahit itu mutlak perlu demi mengalami Allah dengan benar. Maka kita harus dengan kesadaran menyusuri jalan yang gelap dan penuh pergumulan ini demi mencapai tataran rohani yang lebih tinggi.”

    Apakah pelayananmu saat ini menuntutmu untuk hidup menderita? Ditindas, melarat, dihina, diejek, tidak nyaman, mungkin itu menjadi makanan sehari-hari para pelayan Kristus. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa kasih kepada Allah menuntut kita meninggalkan ke-aku-an.

    Mengikuti Kristus memang tidak mudah, bahkan C.S. Lewis pernah berkata, “Jika anda mencari agama untuk hidup yang aman dan nyaman, jelas saya tidak akan merekomendasikan Kekristenan untuk anda.” Akan tetapi renungkanlah perkataan ini, “Kristus mati di salib tanpa memiliki suatu apa pun, bahkan Bapa-Nya pun tidak menghiraukan-Nya.”

    Sekalipun kita tidak pernah dapat berhasil membalas kebaikan Allah di dalam hidup kita, setidaknya kita dapat meresponi kebaikannya dengan hidup seturut dengan kehendak-Nya. Bagi Paulus, Spanyol adalah ‘ujung bumi’ tempat dimana ia melakukan kehendak Kristus agar nama Tuhan semakin dikenal. Sekarang, dimana kah ‘ujung bumi’ kita? Biarlah kehendak Kristus juga kita bawa sampai ke ‘ujung bumi’ kita.

    How can I say thanks for the things
    You have done for me?
    Things so undeserved yet you gave
    To prove your love for me
    The voices of a million angels
    Could not express my gratitude
    All that I am, and ever hope to be
    I owe it all to thee

    To God be the glory, to God be the glory
    To God be the glory for the things he has done
    With his blood he has saved me
    With his power he has raised me
    To God be the glory for the things he has done

    Just let me live my life and
    Let it be pleasing Lord to thee
    And if I gain any praise, let it go to Calvary
    With his blood he has saved me
    With his power he has raised me
    To God be the glory for the things he has done

    (My Tribute, Andrae Crouch)

  • Menyombongkan Kemiskinan

    Menyombongkan Kemiskinan

    Eksposisi Roma 11:1-26

    Suatu hari di sebuah SMA di Depok, ada seorang siswa bernama Damar. Sebentar lagi, kelas Damar akan menghadapi ulangan Matematika. Untungnya, Damar adalah siswa yang pintar. Di saat siswa-siswa lain belajar mati-matian, dia hanya perlu membaca ulang catatan ajaibnya yang ringkas itu. Lain halnya dengan Gori, walau sekeras apapun dia belajar, nilainya tidak pernah lebih dari enam. Akhirnya dia pun menjadi anak yang putus asa dan malas belajar. Bahkan, dia pernah mengulang kelas dua kali. Hari ujian pun tiba, Damar mengerjakan dengan santai di saat semua siswa lainnya keringat dingin memegang pensilnya. Dengan penuh kepercayaan diri, Damar keluar kelas paling awal dari semua siswa lainnya.

    Beberapa hari kemudian nilai ujian diumumkan. Betapa kagetnya kelas itu, khususnya Damar. Ternyata nilai Damar tidak sebaik kepercayaan dirinya, dia harus remedial untuk memperbaiki nilainya. Yang lebih mengagetkan lagi, ternyata Gori — si anak yang ‘good for nothing’ itu – mendapat nilai tertinggi di kelas. Betapa kesalnya Damar, padahal dia merasa yakin dengan semua jawabannya. Tapi kenapa justru nilainya buruk? Sedangkan Gori, temannya yang terkenal malas dan veteran kelas itu ternyata malah mendapat nilai yang lebih baik darinya. “Arrrgh… tidak adil!”, teriak Damar dalam batinnya – dan mungkin juga kita yang pernah mengalami kejadian serupa saat sekolah atau kuliah dulu.

    Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

    Kisah ini juga yang sebenarnya dialami oleh Israel. Kita sering membaca dalam Alkitab bahwa Israel merupakan umat pilihan Allah, namun Alkitab juga mencatat bahwa Allah memilih bangsa-bangsa lain. Bahkan walaupun bangsa-bangsa lain tidak mencari Tuhan dan tidak mengenal Firman Tuhan, Tuhan membiarkan diri-Nya ‘ditemukan’. Sedangkan Israel yang sudah mendengar, mempelajari, dan mendalami Firman Tuhan sedari dulu, justru tidak mengerti dan tidak ‘menemukan’ Tuhan. Di saat Israel yakin bahwa dirinya sudah pasti diselamatkan dan bangsa kafir lainnya tidak, justru yang terjadi sebaliknya. Ironisnya, hal ini tidak hanya berlangsung di zaman Perjanjian Lama. Tapi bahkan sampai ketika Paulus menuliskan surat Roma ini. Mengapa Israel yang adalah umat pilihan Allah mengalami hal ini?

    Agaknya bagi orang Yahudi, pertanyaan ini begitu mengguncang nurani mereka. Kebenaran bahwa Israel merupakan umat pilihan Allah yang sudah selayaknya dan sepantasnya diselamatkan adalah suatu pemahaman yang sulit digantikan. Sampai-sampai Roma 11 dibuka dengan satu pertanyaan, “Apakah mungkin Allah telah menolak Israel, umat pilihan-Nya sendiri?” Tentu saja Paulus langsung membantah pertanyaan retorik yang dia lontarkan sendiri ini. Pasalnya, Paulus sendiri adalah orang Yahudi asli yang mengerti akan kebenaran Injil dan akhirnya menyadari statusnya sebagai umat yang dipilih. Ia menegaskan argumentasinya dengan mengatakan bahwa tidak mungkin Allah menolak umat yang dipilih-Nya sendiri (Rom.8:29). Untuk memperjelas lagi, bahkan dia memberi contoh tentang kisah nabi Elia yang bisa kita baca di 1Raj.19:10-18. Saat itu nabi Elia merasa sebagai orang terakhir yang masih tersisa di Israel sebagai penyembah ALLAH yang benar. Pasalnya, umat Israel lainnya telah memberontak dan membunuh para nabi, menghancurkan mezbah Allah, dan bahkan sedang memburu Elia. Seolah seperti tidak ada lagi harapan bagi Elia untuk melihat Israel bertobat dan diselamatkan. Tapi menarik, jawaban Allah atas pengaduan Elia ini sungguh menyejukkan hati, “Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal.”

    Hal ini membuktikan bahwa Allah tidak menolak seutuhnya bangsa Israel yang mayoritas menolak Allah. Mengapa? Karena dari sekian banyak mereka yang menolak Allah, masih ada segelintir orang Israel yang masih setia kepada Allah. Maka Paulus menegaskan bahwa hal yang sama berlaku saat ini. Hanya karena anugerah Allah, masih ada orang-orang yang tersisa, yang percaya kepada Allah dan Kristus. Sekali lagi ditekankan Paulus, kasih karunia. Jika karena kasih karunia Allah yang memberi keselamatan itu kepada orang-orang pilihan-Nya, maka orang Yahudi tidak dapat lagi mengatakan bahwa semua perbuatan dan tradisi mereka yang mengenal dan taat kepada hukum Allah lah yang menyelamatkan hidup mereka. Mengapa? Karena, pandangan ini tentu bisa digunakan sebagai alasan mereka untuk membantah bahwa orang non Yahudi juga diselamatkan dan dipilih Allah. Secara, di dalam tradisi mereka tidak ada hukum Allah.

    Jadi, Israel tidak memperoleh apa yang dikejarnya – hidup kekal – dengan usaha dan kepercayaan sendiri. Hanya orang-orang terpilih yang mendapat kasih karunia Allah – segelintir orang Yahudi dan segelintir orang non Yahudi – yang memperoleh hidup yang kekal itu. Sedangkan sisanya mendapatkan hukuman Allah dengan dikeraskan hatinya seperti yang dinubuatkan Yesaya dan didoakan Daud untuk orang-orang fasik. Bagaimana pun mereka tidak akan dapat mengerti dan menaati maksud dan kehendak Firman Tuhan. Konsekuensi yang harus ditanggung ini membuat hidup bangsa Israel menderita secara fisik maupun jiwa. Seharusnya apabila mereka setia dan taat, maka setiap hal baik yang sudah Allah sediakan dapat mereka terima, mereka tidak perlu dibuang dan ditindas pada zaman PL bahkan sampai PB (bandingkan dengan 1Raj.17:16 ; 2Raj.5:14).

    Pertanyaan lain muncul, apakah berarti mereka yang dikeraskan hatinya itu tidak punya kesempatan lagi untuk berubah? Hati mereka sudah dikeraskan, mata mereka tidak dapat melihat, telinga mereka pun tidak dapat mendengar Firman Tuhan. Namun, Paulus lagi-lagi dengan tegas menolak pertanyaan retorik yang dia lontarkan sendiri. Hukuman itu tidak bersifat permanen. Akan tetapi sebagai akibatnya, kesempatan berharga agar fisik dan jiwa mereka dapat diselamatkan justru diberikan kepada orang-orang non Yahudi yang mau menerimanya. Sehingga orang-orang Yahudi menjadi iri hati dengan non Yahudi karena mereka lebih mengerti Firman Tuhan. Bangsa Yahudi mendapatkan sebuah privilege yang mereka sia-siakan yang akhirnya didapatkan oleh bangsa lain. Namun, bagi Paulus, alangkah indahnya apabila baik bangsa Yahudi dan non Yahudi sama-sama bersatu sebagai orang-orang pilihan Allah. Mereka harus menghilangkan sikap lebih superior dibanding yang lain karena mereka sama-sama orang berdosa yang mendapat kasih karunia Allah.

    Inilah alasan mengapa Paulus menulis surat ini. Dulunya, perintis gereja di Roma adalah orang Yahudi Kristen. Namun tak lama setelah itu, Kaisar Tiberius dan Claudius memerintahkan orang Yahudi diusir dari kota Roma. Hal ini menyebabkan gereja di Roma dipenuhi oleh orang non Yahudi dan tradisi-tradisi Yahudi pun perlahan menghilang dari gereja. Setelah Kaisar Claudius meninggal, mereka kembali ke Roma dan betapa kagetnya mereka karena tradisi-tradisi Yahudi sudah tidak ada lagi dalam gereja. Adanya perbedaan tradisi dan cara menunjukkan iman antara orang Yahudi dan orang non Yahudi menyebabkan terjadi perpecahan dalam tubuh gereja kota Roma.

    Maka dari itu, Paulus sebagai pelayan orang-orang non Yahudi merasa bahwa pelayanannya begitu penting juga untuk menjangkau orang-orang Yahudi. Mengapa? Karena Paulus berharap, orang Yahudi dapat sadar bahwa penolakan mereka kepada Allah lah yang membuat orang-orang non Yahudi jauh lebih mengerti Firman Tuhan oleh pengajaran Paulus. Paulus merindukan baik orang Yahudi maupun non Yahudi sama-sama diselamatkan.

    Di satu sisi, Paulus juga memperingati orang non Yahudi agar mereka tidak sombong. Dia memberikan sebuah ilustrasi mengenai roti sulung persembahan dan cabang pohon zaitun. Umat pilihan Allah adalah kudus. Seperti roti sulung yang dipersembahkan kepada Allah adalah kudus maka seluruh adonannya juga kudus. Seperti akar-akar pohon adalah kudus, maka cabang-cabang pohon tersebut juga kudus. Apa yang dimiliki Allah semuanya kudus.

    Namun, orang Yahudi yang menolak Allah dan dikeraskan hatinya digambarkan sebagai cabang yang dipotong dari pohon tersebut. Dan, orang non Yahudi yang digambarkan sebagai cabang dari tunas pohon zaitun liar dicangkokkan pada batang pohon zaitun yang asli. Ini semakin menjelaskan bahwa orang Yahudi yang menolak Allah menyia-nyiakan kesempatan berharga untuk tinggal kudus dengan Allah dan memberikan kesempatan itu pada non Yahudi. Tetapi Paulus mengingatkan non Yahudi agar tidak sombong karena batang pohon yang dicangkokkan bisa tetap hidup karena akar dari pohon tersebut yang berarti para leluhur orang Yahudi yaitu iman Abraham, Ishak, dan Yakub. Non Yahudi harus menghormati orang Yahudi karena iman leluhur mereka atas janji Allah yang akan membawa keselamatan bagi bangsa-bangsa. Selain itu, jikalau yang jelas adalah umat pilihan Allah bisa dibuang, maka hal yang sama bisa terjadi juga bagi non Yahudi. Pada dasarnya, orang non Yahudi dan Yahudi sama-sama manusia berdosa yang tidak layak mendapat kasih karunia Allah, tetapi karena kemurahan hati Allah lah keselamatan itu diberikan. Sehingga Paulus mengingatkan sekali lagi agar mereka tidak sombong rohani. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa Allah bisa saja memotong hasil cangkokkan itu dan mencangkok kembali batang pohon aslinya yang sudah dibuang.

    Kesombongan akan merasa diri pantas dan layak mendapat kasih karunia Allah untuk diselamatkan adalah awal kejatuhan. Dan, semuanya itu berasal dari kemiskinan pengenalan kita akan Allah. Betapa ironisnya apabila manusia menyombongkan kemiskinannya sendiri. Kiranya, kita semua boleh bersama-sama mengakui dengan rendah hati kelemahan kita sebagai manusia berdosa dan saling melayani satu sama lain.

  • Di Kala Maut Menjemput

    Di Kala Maut Menjemput

    Ini adalah kelinci peliharaanku, namanya Philo. Pasangannya bernama Sol (sayangnya, tidak ada fotonya). Mereka telah menjadi teman bermainku di rumah ketika aku duduk di bangku SMP. Namun, sayangnya semua kenangan menyenangkan itu hanya bertahan selama seminggu.

    Ketika itu sedang hujan deras disertai petir yang menggelegar. Mereka kuletakkan di atas meja ruang tamuku untuk bermain bersama. Namun, tiba-tiba saja ada suara petir yang sangat keras mengagetkan Philo. Sehingga dia berlari terbirit-terbirit menuju ujung meja dan akhirnya terjatuh ke lantai. Aku tidak akan lupa, saat dimana aku mengambil tubuhnya yang tergeletak di lantai dengan lemah. Tubuh mungilnya itu gemetar ketakutan dan tidak lama kemudian mati.

    Beberapa hari kemudian, entah apa penyebabnya, Sol mati. Kata orang-orang di sekitarku, kelinci memiliki suatu ikatan batin dengan pasangannya. Sehingga, jikalau yang 1 mati, maka pasangannya akan cepat menyusul. Rasanya sangat menyedihkan, ketika membayangkan selama masa-masa paska kematian Philo, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Sol selain menunggu maut datang menjemputnya.


    Mengingat kisah ini, hatiku pilu memikirkan akhir dari kehidupan kita juga sesungguhnya mirip dengan yang dialami oleh Sol, kelinciku. Aku, kau, dan kita semua sedang menunggu maut.

    Apa itu maut? Maut artinya mati, baik secara fisik maupun secara rohani dengan mengalami keterpisahan dengan Allah. Pada umumnya, mati adalah sesuatu yang menakutkan dan dihindari. Bahkan tangisan, penyesalan, dan apapun yang kita lakukan tidak akan dapat mengubah kenyataan menyedihkan itu. Kita merasakan kesedihan yang mendalam karena sadar bahwa tidak ada lagi yang bisa kita lakukan untuk membatalkan kematian yang semakin mendekati kita.

    Apa benar-benar tidak ada lagi pengharapan?

    THE END

    Syukurlah tulisan ini masih belum berakhir! Pengharapan itu ada! Lalu apa yang harus kita lakukan?

    Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat perbandingan dua orang tokoh yang mirip tetapi sebenarnya sangat kontras. Mereka sama-sama mengerjakan sesuatu dan menghasilkan sesuatu yang berdampak sangat besar dalam sejarah hidup manusia. Tapi, apa yang mereka hasilkan sangatlah berbeda. Merekalah yang menyebabkan dan mencabut maut dalam hidup kita.

    Bacalah Roma 5:12-21

    Seperti kisah Philo dan Sol, oleh karena dosa yang dilakukan seseorang bernama Adam, maka dia mengalami kematian untuk pertama kalinya. Imbasnya, kita semua juga mengalami kematian sama seperti Adam. Kita hanya dapat pasrah dan tidak dapat memperbaikinya. Kita tidak ingin berbuat dosa agar tidak mengalami maut, tapi kita tidak bisa berhenti berbuat dosa. Kita tidak dapat melawan perbudakan dari keinginan diri kita sendiri yang penuh dengan dosa. Dosa sudah mendarah daging di dalam diri kita sendiri.

    Pengharapan seolah muncul dengan adanya hukum taurat. Hukum taurat seakan mampu mengendalikan manusia untuk berhenti berdosa. Akan tetapi, itu pun sia-sia. Pasalnya, kenyataan bahwa manusia adalah makhluk berdosa tidak akan pernah hilang. Bahkan, kenyataan itu sudah ada sejak sebelum hukum taurat itu ada.

    Usaha kita untuk mengubah diri yang berdosa adalah sesuatu yang mustahil. Seolah-olah seperti sebuah tangga yang menjulang begitu tinggi, sampai-sampai kita tidak dapat melihat ujungnya. Kita berusaha memanjat, namun ketika jatuh, kita harus memulai kembali dari awal. Tidak peduli sudah seberapa jauh kita memanjat tangga tidak berujung itu.

    Pengharapan yang sesungguhnya kemudian datang dalam wujud seorang Adam yang kedua, namanya Kristus. Jikalau yang Adam pertama lakukan adalah pelanggaran dan dosa, maka yang Adam kedua lakukan adalah kebenaran. Jikalau akibat yang disebabkan Adam pertama adalah semua orang jatuh dalam maut, maka Adam kedua membuat semua orang mendapatkan kasih karunia. Jikalau karena satu dosa saja terjadi penghukuman, maka sekarang karena 1 ketaatan terjadi pembenaran. Kristus, Sang Adam kedua telah memperbaiki kesalahan Adam yang sebelumnya.

    Syukurlah, akhir dari perikop ini bukanlah ending terburuk seperti yang kita pikirkan sebelumnya. Malahan berakhir dengan sangat indah. Walaupun semakin banyak kita melakukan pelanggaran, kasih karunia Kristus tidak akan pernah habis.

    Secara fisik, kita adalah keturunan Adam pertama. Kita mewarisi ketidakberdayaannya dalam menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan sambil menuju kematian. Adam yang kedua yaitu Kristus, datang memberikan penawaran kepada kita untuk lahir kembali. Demi menjalani hidup yang dari Dia dan untuk Dia sambil menuju keselamatan.

    Kita patut berbahagia karena Kristus mau meletakkan kita di dalam tangan-Nya. Tidak hanya itu, Dia mengantarkan kita langsung kepada Allah. Dan, kita tidak perlu berusaha memanjat tangga curam itu lagi.