Menyombongkan Kemiskinan

Eksposisi Roma 11:1-26

Suatu hari di sebuah SMA di Depok, ada seorang siswa bernama Damar. Sebentar lagi, kelas Damar akan menghadapi ulangan Matematika. Untungnya, Damar adalah siswa yang pintar. Di saat siswa-siswa lain belajar mati-matian, dia hanya perlu membaca ulang catatan ajaibnya yang ringkas itu. Lain halnya dengan Gori, walau sekeras apapun dia belajar, nilainya tidak pernah lebih dari enam. Akhirnya dia pun menjadi anak yang putus asa dan malas belajar. Bahkan, dia pernah mengulang kelas dua kali. Hari ujian pun tiba, Damar mengerjakan dengan santai di saat semua siswa lainnya keringat dingin memegang pensilnya. Dengan penuh kepercayaan diri, Damar keluar kelas paling awal dari semua siswa lainnya.

Beberapa hari kemudian nilai ujian diumumkan. Betapa kagetnya kelas itu, khususnya Damar. Ternyata nilai Damar tidak sebaik kepercayaan dirinya, dia harus remedial untuk memperbaiki nilainya. Yang lebih mengagetkan lagi, ternyata Gori — si anak yang ‘good for nothing’ itu – mendapat nilai tertinggi di kelas. Betapa kesalnya Damar, padahal dia merasa yakin dengan semua jawabannya. Tapi kenapa justru nilainya buruk? Sedangkan Gori, temannya yang terkenal malas dan veteran kelas itu ternyata malah mendapat nilai yang lebih baik darinya. “Arrrgh… tidak adil!”, teriak Damar dalam batinnya – dan mungkin juga kita yang pernah mengalami kejadian serupa saat sekolah atau kuliah dulu.

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Kisah ini juga yang sebenarnya dialami oleh Israel. Kita sering membaca dalam Alkitab bahwa Israel merupakan umat pilihan Allah, namun Alkitab juga mencatat bahwa Allah memilih bangsa-bangsa lain. Bahkan walaupun bangsa-bangsa lain tidak mencari Tuhan dan tidak mengenal Firman Tuhan, Tuhan membiarkan diri-Nya ‘ditemukan’. Sedangkan Israel yang sudah mendengar, mempelajari, dan mendalami Firman Tuhan sedari dulu, justru tidak mengerti dan tidak ‘menemukan’ Tuhan. Di saat Israel yakin bahwa dirinya sudah pasti diselamatkan dan bangsa kafir lainnya tidak, justru yang terjadi sebaliknya. Ironisnya, hal ini tidak hanya berlangsung di zaman Perjanjian Lama. Tapi bahkan sampai ketika Paulus menuliskan surat Roma ini. Mengapa Israel yang adalah umat pilihan Allah mengalami hal ini?

Agaknya bagi orang Yahudi, pertanyaan ini begitu mengguncang nurani mereka. Kebenaran bahwa Israel merupakan umat pilihan Allah yang sudah selayaknya dan sepantasnya diselamatkan adalah suatu pemahaman yang sulit digantikan. Sampai-sampai Roma 11 dibuka dengan satu pertanyaan, “Apakah mungkin Allah telah menolak Israel, umat pilihan-Nya sendiri?” Tentu saja Paulus langsung membantah pertanyaan retorik yang dia lontarkan sendiri ini. Pasalnya, Paulus sendiri adalah orang Yahudi asli yang mengerti akan kebenaran Injil dan akhirnya menyadari statusnya sebagai umat yang dipilih. Ia menegaskan argumentasinya dengan mengatakan bahwa tidak mungkin Allah menolak umat yang dipilih-Nya sendiri (Rom.8:29). Untuk memperjelas lagi, bahkan dia memberi contoh tentang kisah nabi Elia yang bisa kita baca di 1Raj.19:10-18. Saat itu nabi Elia merasa sebagai orang terakhir yang masih tersisa di Israel sebagai penyembah ALLAH yang benar. Pasalnya, umat Israel lainnya telah memberontak dan membunuh para nabi, menghancurkan mezbah Allah, dan bahkan sedang memburu Elia. Seolah seperti tidak ada lagi harapan bagi Elia untuk melihat Israel bertobat dan diselamatkan. Tapi menarik, jawaban Allah atas pengaduan Elia ini sungguh menyejukkan hati, “Aku masih meninggalkan tujuh ribu orang bagi-Ku, yang tidak pernah sujud menyembah Baal.”

Hal ini membuktikan bahwa Allah tidak menolak seutuhnya bangsa Israel yang mayoritas menolak Allah. Mengapa? Karena dari sekian banyak mereka yang menolak Allah, masih ada segelintir orang Israel yang masih setia kepada Allah. Maka Paulus menegaskan bahwa hal yang sama berlaku saat ini. Hanya karena anugerah Allah, masih ada orang-orang yang tersisa, yang percaya kepada Allah dan Kristus. Sekali lagi ditekankan Paulus, kasih karunia. Jika karena kasih karunia Allah yang memberi keselamatan itu kepada orang-orang pilihan-Nya, maka orang Yahudi tidak dapat lagi mengatakan bahwa semua perbuatan dan tradisi mereka yang mengenal dan taat kepada hukum Allah lah yang menyelamatkan hidup mereka. Mengapa? Karena, pandangan ini tentu bisa digunakan sebagai alasan mereka untuk membantah bahwa orang non Yahudi juga diselamatkan dan dipilih Allah. Secara, di dalam tradisi mereka tidak ada hukum Allah.

Jadi, Israel tidak memperoleh apa yang dikejarnya – hidup kekal – dengan usaha dan kepercayaan sendiri. Hanya orang-orang terpilih yang mendapat kasih karunia Allah – segelintir orang Yahudi dan segelintir orang non Yahudi – yang memperoleh hidup yang kekal itu. Sedangkan sisanya mendapatkan hukuman Allah dengan dikeraskan hatinya seperti yang dinubuatkan Yesaya dan didoakan Daud untuk orang-orang fasik. Bagaimana pun mereka tidak akan dapat mengerti dan menaati maksud dan kehendak Firman Tuhan. Konsekuensi yang harus ditanggung ini membuat hidup bangsa Israel menderita secara fisik maupun jiwa. Seharusnya apabila mereka setia dan taat, maka setiap hal baik yang sudah Allah sediakan dapat mereka terima, mereka tidak perlu dibuang dan ditindas pada zaman PL bahkan sampai PB (bandingkan dengan 1Raj.17:16 ; 2Raj.5:14).

Pertanyaan lain muncul, apakah berarti mereka yang dikeraskan hatinya itu tidak punya kesempatan lagi untuk berubah? Hati mereka sudah dikeraskan, mata mereka tidak dapat melihat, telinga mereka pun tidak dapat mendengar Firman Tuhan. Namun, Paulus lagi-lagi dengan tegas menolak pertanyaan retorik yang dia lontarkan sendiri. Hukuman itu tidak bersifat permanen. Akan tetapi sebagai akibatnya, kesempatan berharga agar fisik dan jiwa mereka dapat diselamatkan justru diberikan kepada orang-orang non Yahudi yang mau menerimanya. Sehingga orang-orang Yahudi menjadi iri hati dengan non Yahudi karena mereka lebih mengerti Firman Tuhan. Bangsa Yahudi mendapatkan sebuah privilege yang mereka sia-siakan yang akhirnya didapatkan oleh bangsa lain. Namun, bagi Paulus, alangkah indahnya apabila baik bangsa Yahudi dan non Yahudi sama-sama bersatu sebagai orang-orang pilihan Allah. Mereka harus menghilangkan sikap lebih superior dibanding yang lain karena mereka sama-sama orang berdosa yang mendapat kasih karunia Allah.

Inilah alasan mengapa Paulus menulis surat ini. Dulunya, perintis gereja di Roma adalah orang Yahudi Kristen. Namun tak lama setelah itu, Kaisar Tiberius dan Claudius memerintahkan orang Yahudi diusir dari kota Roma. Hal ini menyebabkan gereja di Roma dipenuhi oleh orang non Yahudi dan tradisi-tradisi Yahudi pun perlahan menghilang dari gereja. Setelah Kaisar Claudius meninggal, mereka kembali ke Roma dan betapa kagetnya mereka karena tradisi-tradisi Yahudi sudah tidak ada lagi dalam gereja. Adanya perbedaan tradisi dan cara menunjukkan iman antara orang Yahudi dan orang non Yahudi menyebabkan terjadi perpecahan dalam tubuh gereja kota Roma.

Maka dari itu, Paulus sebagai pelayan orang-orang non Yahudi merasa bahwa pelayanannya begitu penting juga untuk menjangkau orang-orang Yahudi. Mengapa? Karena Paulus berharap, orang Yahudi dapat sadar bahwa penolakan mereka kepada Allah lah yang membuat orang-orang non Yahudi jauh lebih mengerti Firman Tuhan oleh pengajaran Paulus. Paulus merindukan baik orang Yahudi maupun non Yahudi sama-sama diselamatkan.

Di satu sisi, Paulus juga memperingati orang non Yahudi agar mereka tidak sombong. Dia memberikan sebuah ilustrasi mengenai roti sulung persembahan dan cabang pohon zaitun. Umat pilihan Allah adalah kudus. Seperti roti sulung yang dipersembahkan kepada Allah adalah kudus maka seluruh adonannya juga kudus. Seperti akar-akar pohon adalah kudus, maka cabang-cabang pohon tersebut juga kudus. Apa yang dimiliki Allah semuanya kudus.

Namun, orang Yahudi yang menolak Allah dan dikeraskan hatinya digambarkan sebagai cabang yang dipotong dari pohon tersebut. Dan, orang non Yahudi yang digambarkan sebagai cabang dari tunas pohon zaitun liar dicangkokkan pada batang pohon zaitun yang asli. Ini semakin menjelaskan bahwa orang Yahudi yang menolak Allah menyia-nyiakan kesempatan berharga untuk tinggal kudus dengan Allah dan memberikan kesempatan itu pada non Yahudi. Tetapi Paulus mengingatkan non Yahudi agar tidak sombong karena batang pohon yang dicangkokkan bisa tetap hidup karena akar dari pohon tersebut yang berarti para leluhur orang Yahudi yaitu iman Abraham, Ishak, dan Yakub. Non Yahudi harus menghormati orang Yahudi karena iman leluhur mereka atas janji Allah yang akan membawa keselamatan bagi bangsa-bangsa. Selain itu, jikalau yang jelas adalah umat pilihan Allah bisa dibuang, maka hal yang sama bisa terjadi juga bagi non Yahudi. Pada dasarnya, orang non Yahudi dan Yahudi sama-sama manusia berdosa yang tidak layak mendapat kasih karunia Allah, tetapi karena kemurahan hati Allah lah keselamatan itu diberikan. Sehingga Paulus mengingatkan sekali lagi agar mereka tidak sombong rohani. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa Allah bisa saja memotong hasil cangkokkan itu dan mencangkok kembali batang pohon aslinya yang sudah dibuang.

Kesombongan akan merasa diri pantas dan layak mendapat kasih karunia Allah untuk diselamatkan adalah awal kejatuhan. Dan, semuanya itu berasal dari kemiskinan pengenalan kita akan Allah. Betapa ironisnya apabila manusia menyombongkan kemiskinannya sendiri. Kiranya, kita semua boleh bersama-sama mengakui dengan rendah hati kelemahan kita sebagai manusia berdosa dan saling melayani satu sama lain.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *