Category: Sharing

  • A Daily Journal of National Interfaith Youth Camp 2018

    A Daily Journal of National Interfaith Youth Camp 2018

    National Interfaith Youth Camp (IYC) 2018 adalah sebuah pertemuan lintas agama yang diadakan pada tanggal 25-30 Januari 2018 di Pantai Liang, Maluku. IYC 2018 ini bertemakan Counter Violent Extremism.

    Awalnya saya tidak memiliki ekspektasi untuk mengikuti acara ini. Saya hanya mengirim tulisan yang pernah saya tulis setahun yang lalu. Akan tetapi, ternyata saya terpilih sebagai salah satu dari 120 peserta yang diseleksi dari 3000 orang pendaftar dari seluruh provinsi di Indonesia.

    Kebimbangan pun mulai muncul. Dari izin cuti di tengah pekerjaan yang sedang hectic, hingga keraguan h-1 karena takut acaranya tidak seharga pengorbanan pekerjaan saya. Namun, saya bersyukur memutuskan untuk tetap pergi. Sebab di akhir tulisan ini saya akan berkata bahwa ini adalah pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan dan sesali.

    Hari 1, 25 Januari 2018

    Saya teringat cerita dari salah seorang sahabat saya, seorang nona (panggilan untuk perempuan Ambon) Ambon manise, yang menceritakan bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya dengan melihat pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Bahkan, ia akhirnya harus pindah ke kota Jakarta dan terpisah dari orangtuanya. Kisah-kisah memilukan dan traumatis itulah yang pada umumnya dialami oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Ambon manise. Sejarah kelam pernah menyelimuti pulau ini pada tahun 1999 sampai 2005.

    Nia, Chad, Apjan, Kak Ati, dan Sammy (Kiri-Kanan)

    Inilah juga yang diceritakan oleh kedua nyong (panggilan untuk laki-laki Ambon) yang saya temui di hari pertama. Chad dan Sammy, mereka adalah pemuda Ambon yang pernah mengalami pahitnya perang dan konflik yang terjadi di tanah para raja ini. Persatuan dan kedamaian adalah cita-cita mereka, dan bahkan juga seluruh saudara di Ambon. Termasuk penyelenggara acara ini, yaitu lembaga Ambon Reconciliation and Mediation Center (ARMC) yang berada di bawah naungan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Ambon. Cita-cita akan perdamaian menjadi harapan yang tidak hanya diinginkan oleh masyarakat Ambon, tetapi seluruh Indonesia yang saat ini tengah menghadapi berbagai macam bentuk intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

    Acara ini dimulai dengan upacara peresmian yang dilakukan oleh wakil gubernur provinsi Maluku dan direktur PPIM UIN serta direktur ARMC IAIN Ambon. Mereka bersama menyuarakan harapan mereka agar youth camp ini menjadi momentum bangkitnya 120 anak-anak muda yang idealis dan berperan menjaga dan mengusahakan perdamaian bangsa.

    Hari 2, 26 Januari 2018

    Hari ini kami berdiskusi dalam kelompok kecil mengenai masa depan keberagaman di Indonesia serta dinamika gerakan intoleransi, radikalisme, terorisme, dan kekerasan ekstrimis di Indonesia.

    Kami berbagi cerita bagaimana masing-masing kami pernah mengalami diskriminasi. Ada seorang teman dari Ahmadiyah yang di diskriminasi karena perbedaan aliran, ada yang rumahnya pernah dibakar karena konflik agama, ada juga yang pada masa kanak-kanaknya disuruh berperang, dan lain sebagainya.

    Saya pikir masalah-masalah dan solusi-solusi ketika membahas isu-isu mengenai intoleransi, radikalisme, dan terorisme bukanlah suatu hal yang baru untuk dipelajari. Kita sudah terbiasa mendengar semua masalah itu dari surat kabar, televisi, maupun berita-berita digital. Namun, kesempatan untuk mendengarkan semuanya itu dari orang-orang yang mengalaminya langsung dan bagaimana mereka belajar mengampuni dan pulih dari luka-luka masa lalu itu adalah hal yang lebih menarik bagi saya secara pribadi.

    “… berdamai itu bukan suatu kewajiban atau keharusan semata karena ajaran agama dan norma…”

    Begitu juga halnya dengan solusi-solusi untuk menjaga perdamaian. Kita sering membaca atau mendengar kisah orang-orang yang mengusahakan perdamaian dalam berbagai bidang, misalnya seni, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Namun, bagi saya, hal yang lebih menarik adalah ketika belajar bahwa berdamai itu bukan suatu kewajiban atau keharusan semata karena ajaran agama dan norma, tetapi bagaimana perlahan memangkas stereotype yang bersembunyi di balik hati setiap orang. Saya yakin bahwa di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar murni dapat bersikap netral, tanpa stereotype, sekalipun mengerti betapa berbahayanya stereotype yang buta.

    Setelah beberapa kali mengalami diskriminasi oleh orang-orang Muslim karena saya seorang Tionghoa dan Kristen, serta melihat fakta bahwa kebanyakan ormas radikal dan teroris seringkali mengakui identitasnya sebagai Islam. Dengan jujur saya mengakui bahwa saya punya stereotype tertentu terhadap orang Muslim. Meskipun saya tidak membenci mereka dan terus mengusahakan perdamaian, bahkan senang mengikuti acara lintas iman. Namun, selama saya belum mengerti apa yang sebenarnya dipelajari oleh teman-teman Muslim, maka stereotype itu rasanya sulit untuk dikendalikan. Sehingga, bagi saya pengalaman berharga selama mengikuti IYC ini adalah ketika bisa berdiskusi dan bertanya jawab dengan saudara-saudari Muslim.

    Hari 3, 27 Januari 2018

    Hari ini kami belajar tentang peran media sosial dan kearifan budaya lokal dalam menangkis intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Hal yang berkesan untuk saya hari ini adalah ketika tidak sengaja saat makan malam bisa bertemu dengan teman-teman Kristen dan Katolik (Ervan dan Felis) dan kami sama-sama membahas gerakan-gerakan mahasiswa Kristen dan Katolik dalam menyikapi isu-isu kebangsaan.

    Hari 4, 28 Januari 2018

    Hari ini kami melakukan outbound dengan teman-teman di kelompok baru dan juga menanam pohon sebagai simbol perdamaian di tanah yang rencananya akan dibangun kampus IAIN yang baru. Semoga 20 tahun lagi, jika saya kembali ke tempat itu, saya dapat melihat pohon duren yang saya tanam dan menikmati buahnya 😀

    Hari 5, 29 Januari 2018

    Hari ini kami melihat prosesi panas pela pendidikan. Pela-gandong adalah kekayaan kebudayaan lokal di Ambon yang memperkuat persaudaraan antara desa dan bahkan agama. Panas pela pendidikan adalah prosesi untuk mengingatkan kembali akan tradisi pela kepada anak-anak muda. Dalam hal ini, kami menyaksikan panas pela pendidikan antara SMPN4 Ambon yang mayoritas siswanya beragama Kristen dan SMPN 9 Ambon yang mayoritas siswanya beragama Islam. Tradisi ini begitu indah dan mengharukan, setidaknya bagi saya yang hidup di ibukota dan jarang melihat umat antar beragama yang dapat hidup rukun. Setelah itu kami makan siang bersama dengan cara patita (makan patita sama seperti makan liwetan di pulau Jawa, berbagai macam makanan khas Ambon disusun memanjang).

    Kemudian kami melakukan kunjungan masyarakat. Kelompok kami mengunjungi kampus IAIN Ambon. Sebenarnya saya cukup kecewa ketika mengetahui akan mengunjungi institusi pendidikan. Jikalau boleh memilih, saya lebih senang mengunjungi tokoh masyarakat di desa-desa atau komunitas seni dan jurnalistik di Ambon. Akan tetapi, mungkin ini juga bagian dari pembelajaran saya selaku staf NGO yang berfokus pada leadership development khususnya pada mahasiswa Kristen di kampus-kampus.

    Dari kunjungan ini, saya semakin melihat secara nyata bahwa peran institusi pendidikan dalam menangkis nilai-nilai intoleransi, radikalisme, dan terorisme semakin penting. Namun, sedihnya banyak institusi pendidikan yang cuek dalam menangani ormas-ormas radikal di kampus. Bahkan institusi pendidikan banyak yang terlibat kepentingan politis. Saya teringat seorang teman di salah satu kampus yang diberi nilai tidak adil oleh dosennya karena masalah agama.

    “Apakah kita harus bersikap toleransi terhadap intoleransi?” Ini adalah pertanyaan yang saya ajukan dalam kelompok diskusi di hari kedua. Sampai kapan kita akan membiarkan toleransi mati perlahan-lahan karena terus mengalah kepada intoleransi? Saya merasa Indonesia begitu miris. Seringkali masyarakatnya yang mayoritas masih kurang berpendidikan dan tertekan karena sulitnya memenuhi kebutuhan hidup, membuat Indonesia begitu mudah diadu domba demi kepentingan politis oknum-oknum tertentu. Konflik Ambon, tragedi 65, tragedi Mei 98, dan lain sebagainya adalah bukti nyata betapa mirisnya negara kita ini.

    Dalam perjalanan pulang, saya terus berpikir bagaimana caranya menolong orang-orang yang membutuhkan pendidikan, wawasan yang luas, dan kesejahteraan hidup yang ditingkatkan sehingga tidak mudah diadu domba. Saya berpikir, apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang menyadari hal ini, khusunya dalam profesinya masing-masing? Bagaimana seorang guru tidak hanya mengajari murid-muridnya dalam ilmu pengetahuan tetapi menanamkan juga nilai-nilai toleransi? Bagaimana seorang pengusaha turut menyebarkan nilai-nilai toleransi lewat bisnisnya? Bagaimana seorang dokter juga tidak hanya mengobati secara fisik tetapi juga secara mental? Bagaimana seorang mahasiswa/i dapat berani menyatakan nilai-nilai toleransi di kampusnya yang mungkin intoleran? Dan lain sebagainya. Kita butuh aksi yang aktif dan tidak pasif dalam menjaga perdamaian.

    Hari 6, 30 Januari 2018

    Akhirnya, kami tiba di penghujung acara dimana kami membacakan deklarasi perdamaian.

    Saya teringat ketika akan pergi ke bandara Soekarno-Hatta untuk terbang ke Ambon dan mengikuti acara ini, saya sangat takut acara ini tidak sesuai dengan harapan saya. Namun, seperti yang saya tuliskan di awal tulisan ini dan juga saya sampaikan dalam kesan pesan peserta di acara penutupan, saya tidak akan pernah menyesal menjadi bagian dari Interfaith Youth Camp ini.

    Jika saya dapat menyimpulkan pelajaran dan pengalaman yang saya dapatkan selama IYC 2018, maka musuh sebenarnya yang harus kita perangi bukanlah sesama kita yang berbeda secara lahiriah. Musuh kita yang sebenarnya adalah karakter yang tidak berprikemanusian, pendidikan yang rendah, dan kemiskinan yang menekan bangsa ini. Kita membutuhkan orang-orang idealis yang mau bangkit demi memerangi masalah-masalah ini agar bangsa kita tidak mudah menjadi provokator dan diprovokasi untuk memecah persatuan.

    Terima kasih

    Kepada orang-orang yang juga berkesan bagi saya di bawah ini:

    IMG-20180201-WA0015
    Adik-adikku Nia dan Apjan serta Kakakku Ati. Semoga Nia dan Apjan sukses dalam perkuliahannya dan Kak Ati bisa menjadi vikaris GMIT yang menjadi berkat di Kupang.
    IMG_2277
    Kelompok 10 ‘Kau ini bagaimana?’ yang terkocak dan tersweet. Gak akan lupa sama artis-artis di dalamnya: Raisa, Kim Jong Un, AHY, Veronica Tan, Adipati Dolken, Aming, Host Katakan Putus. Serta becandaan-becandaan jayus kita dan mainan sambung kata di malam itu.
    fbt
    Peserta IYC pertama yang kutemui di bandara Soetta pas mau pergi, Ubay. Aku kagum banget sama kepintaranmu dan caramu menjelaskan semua pertanyaanku. Thanks berat uda jawab pertanyaan-pertanyaanku soal jihad, wahabi, dan penafsiran surat al-maidah yang jawabannya menurutku logis banget. Semoga cita-citamu tercapai yah bay :*
    sdr
    Kak Dini yang kebetulan semeja waktu ngemil di sore hari dan ngobrol non stop sampai tengah malam. Aku terkesan banget sama cerita persahabatanmu dengan orang-orang Kristen dan Tionghoa. Semoga cita-cita kakak untuk membangun kota Padang bisa tercapai yah kak :*
    fbt
    Mamake Iqra sekaligus Ibu Negara Kelompok 10, semoga kakak dan bang Hendrik bisa terus berkarya membangun Papua yah kak 🙂
    fbt
    Fany, adik setendaku yang imut. Thanks yah uda mau cerita sama aku tentang cita-citamu, semoga kamu benar-benar bisa membangun bangsa lewat karirmu nanti. See you on top!
    rptoz
    Sahid yang gaya ngomongnya selalu ngangenin dan selalu berusaha ngomong Mandarin sama aku. Terus semangat belajar bahasa yah broo!
    sdr
    OM Dean. Jujur, first impression ku liat kamu langsung keinget AHY. Hahaha… Seneng bisa ngobrol banyak sama kamu soal pelayanan. Terus semangat bertumbuh dalam Dia dan semangat melayani sebagai guru di Makassar ya OM!!
    IMG-20180128-WA0036
    Kak Tari, Ester yang ternyata anak PMK Jambi, dan Michelle yang banyak berbagi ilmu filsafat denganku. Bakal kangen berat deh waktu kita nyebur tanpa tahu bajunya masih mau dipake buat nanam pohon. Hahahaha…
    fbt
    Chad, seneng banget di hari pertama bisa ngobrol banyak sama kamu dan Sammy. Sukses kuliah musiknya, semoga kapan-kapan aku bisa denger musikmu 🙂
    sdr
    Kak Yulia yang ternyata anak PMK USU. Selalu terpesona sama kecantikan kakak yang satu ini, semoga hatop lulus S2-nya dan hatop mangoli yah kak :*
    rptoz
    Bang Mamad yang selalu kocak dan sesama penyuka lagu Indie. Widy yang jadi deket gara-gara duduk sebelahan di pesawat. Aku kagum sama besarnya bebanmu sebagai aktivis kemanusiaan, semoga kelak aku juga bisa berkunjung ke Kenya dan daerah-daerah di Afrika sana buat membantu 🙂
    ptroz
    Febhy yang ternyata sesama penyuka film dan lagu India. Setiap ngomong sama kamu ga pernah bosen deh soalnya ada aja yang kamu omongin, apalagi pembicaraan kita sebelum ambil foto ini. Doain yah supaya cepet nyusul kayak kamu. Hahahaha…
    IMG-20180131-WA0108
    Jo, my little brother yang selalu jagain jie-jie nya ini waktu snorkling. Semoga lulus sidangnya dan bisa lanjut S2 yaah adikkuuu :*

    Teman-teman terkasih yang gak ada foto bareng: Kak Abah (bapake para peserta), Caca Lynda, Bang Embong, dan semua peserta lainnya yang gak bisa disebutin satu-satu 😀

    “Potong di kuku, rasa di daging. Sagu salempeng dipata dua.” artinya di saat kamu merasa sakit, maka aku juga ikut merasakan sakit. Karena, kita adalah satu.

    All thanks and glory to Lord for this experience.

    Dengar juga testimoni teman-teman lainnya:

  • Memakai Waktu Anugerah

    Memakai Waktu Anugerah

    Regenerasi pelayanan adalah sebuah anugerah yang patut disyukuri. Regenerasi berarti adalah kontinuitas. Dan, kontinuitas berarti tidak mati. Regenerasi menjadi suatu tanda pemeliharaan Tuhan atas sebuah pelayanan. Akan tetapi, bagaimana jika di dalam regenerasi ini, kita memberikan tongkat estafet pelayanan kepada orang yang tidak tepat? Masalah pun timbul dari kualitas kepada siapa kita mempercayakan penerus dari pelayanan ini. Lalu, bagaimana kita dapat menjadi pelayan-pelayan yang berkualitas?

    Baca 1 Petrus 4:7-11

    Kesudahan segala sesuatu sudah dekat.

    Saya akan memulai bagian ini dengan sebuah pertanyaan retorik. Apakah ada seorang manusia yang mengetahui kapan kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya akan berlangsung? Tentu saja tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan Alkitab menyatakannya dengan jelas bahwa seorang malaikat pun tidak tahu kapan datangnya hari itu. Mungkin bisa seminggu lagi, besok, atau bahkan satu jam lagi. Satu hal yang kita ketahui, Kristus pasti akan datang kembali. Tanpa iman yang mempercayai hal itu, maka iman Kekristenan akan menjadi sia-sia karena hidup ini akan menjadi tanpa arah dan tujuan yang jelas akan akhir dari segalanya.

    Pertanyaan yang sama juga layak kita ajukan mengenai kehidupan kita. ‘Memento mori’ (Latin: ‘remember that you have to die’) adalah sebuah refleksi teologis mengenai kematian. Bahwasanya setiap orang akan menemui ajalnya cepat atau lambat. Merenungkan hal ini seharusnya membuat kita berpikir akan apa yang ingin kita lakukan dalam hidup ini untuk mempertanggung jawabkannya di dalam kekekalan nanti. Kenyataannya, kematian juga adalah suatu hal yang tidak terduga. Seorang teman pernah meninggal hanya karena waktu satu detik dalam hidupnya yang tidak berhasil menghindari truk yang melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.

    Rasul Petrus sangat mengerti bahwa waktu ini tidak terduga. Kesudahan segala sesuatu telah dekat. Demikian dikatakan Petrus walaupun ia sendiri tidak tahu kapan kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Oleh karena itu, ia ingin agar kita dapat menggunakan waktu seakan sebentar lagi adalah kedatangan Kristus yang kedua kalinya.

    Pernahkah kamu membayangkan apa yang akan kamu lakukan dengan sisa waktumu apabila besok Kristus datang kembali? Tentunya, kita akan menggunakan waktu untuk melakukan hal-hal yang kita idamkan, menebus penyesalan, atau lainnya. Akan tetapi, Petrus melanjutkan perkataannya dengan menegaskan bahwa waktu kita adalah milik Tuhan. Allah yang telah menciptakan kita untuk suatu tujuan tertentu, yaitu melayani-Nya. Kristus yang telah mati demi menebus diri kita agar kita dapat kembali kepada tujuan semula sebagai ciptaan. Hidup ini bukanlah milik kita lagi, tetapi milik Tuhan.

    Tanpa sebuah kesadaran bahwa diri kita diciptakan untuk suatu tujuan, maka kita tidak akan mampu menjadi seorang pelayan yang mengabdikan diri kepada Sang Pencipta. Kita tidak tahu untuk apa dan kepada siapa kita melayani.

    Kuasailah dirimu, jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa

    Rasul Petrus menulis surat ini ketika orang-orang Kristen ditindas dengan begitu mengerikannya oleh Kaisar Nero. Literatur sejarah mencatat bahwa Nero adalah kaisar yang begitu gila dan kejam. Ia menjadikan orang-orang Kristen sebagai bahan tontonan di koloseum ketika mereka dibakar dan dijadikan makanan singa. Tantangan yang harus dihadapi orang-orang Kristen pada zaman itu, tentulah tidak mudah. Setiap hari, mereka hidup di bayang-bayang ketakutan dan ketidakpastian apakah mereka dapat bertahan atau tidak. Goncangan iman mungkin mereka rasakan tiap kali dikejar oleh para prajurit yang hendak menyeret mereka ke koloseum. Sangat mungkin untuk mereka tergoda meninggalkan iman mereka. Secara akal dan emosi manusia, menyerah mungkin adalah jalan paling aman bagi mereka pada saat itu. Akan tetapi, kesetiaan kepada Kristus menuntut mereka untuk menyangkal akal dan emosi mereka sebagai manusia yang rentan jatuh dalam dosa. Kekuatan untuk bertahan dari godaan iman itu tentunya tidak mungkin berasal dari diri sendiri, tetapi dari Tuhan yang memampukan mereka. Oleh sebab itulah, Petrus mendorong mereka untuk mengontrol diri, menjadi tenang, dan berdoa meminta kekuatan untuk mempertahankan iman itu.

    Di Indonesia, mungkin hal ini tidak terlalu kontekstual, orang Kristen masih boleh beribadah dan menyatakan imannya. Namun, tantangan yang kita hadapi bisa jadi lebih sulit, yaitu kenyamanan. Godaan untuk hidup tidak berintegritas dengan iman Kekristenan sangat sering dialami oleh kita, manusia yang berdosa ini. Pelayanan yang kita kerjakan juga akan menjadi tanda tanya besar bagi setiap orang yang kita layani, apabila kita tidak dapat menjadi teladan hidup yang baik bagi mereka. Kita perlu kekuatan dari Tuhan untuk dapat mempertahankan iman kita setiap waktu.

    Mengasihi dan menolong satu sama lain

    Menjadi seorang pelayan Kristus berarti siap mengasihi dan menolong mereka yang dikasihi oleh Kristus. Saya mempelajari hal ini ketika melayani salah seorang anak kelompok kecil saya. Bagi saya, anak kelompok kecil ini merupakan anak yang sulit untuk dilayani, perilakunya yang cukup aneh dan terkadang sangat ‘caper’ alias ‘cari perhatian’ membuat saya sulit untuk memberikan perhatian dengan tulus kepadanya. Namun, semakin lama saya semakin menyadari bahwa diri saya sesungguhnya tidak berbeda dengannya. Pergumulan demi pergumulan mengingatkan bahwa saya juga manusia berdosa yang tidak berhak menghakiminya. Kristus yang mati bagi saya, juga mati baginya. Bahkan juga bagi orang terjahat sekalipun, orang-orang yang saya benci, para penjahat dan penyebar teror.

    Jikalau kita mempunyai seorang kekasih yang sangat suka memelihara binatang. Maka kita harus juga belajar menerima dan bahkan belajar menyukai binatang peliharaannya walaupun kita mungkin tidak menyukainya. Mengapa? Karena apabila kita menolak apa yang disenangi kekasih kita, pastilah ia akan kecewa. Kristus sangat menyayangi manusia-manusia yang kita anggap jahat, bahkan Dia rela menyerahkan nyawa-Nya sendiri untuk mereka yang kita anggap paling hina. Mengasihi Kristus, berarti mengasihi mereka yang telah ditebus oleh darah Kristus.

    Gunakanlah karunia rohanimu

    Setiap orang percaya telah dianugerahkan setidaknya satu karunia rohani untuk dipakai dalam melayani. Seorang dokter pasti memiliki tas yang berisi perlengkapan yang ia butuhkan sebagai seorang dokter. Seorang businessman pasti memiliki koper yang berisi perlengkapan yang ia butuhkan sebagai seorang businessman. Kita dapat melanjutkan daftar ini dengan profesi-profesi lainnya.

    Kita juga seperti seorang anak yang diberikan tas yang berisi perlengkapan untuk melakukan suatu pekerjaan. Itulah karunia rohani yang Tuhan berikan bagi setiap kita. Bagi yang masih belum mengetahui karunia rohaninya, maka mereka harus mencari tahu dan menggali lebih dalam. Bagi yang sudah tahu karunia rohaninya, maka mereka harus fokus mengembangkan dan memaksimalkan karunia rohani tersebut.

    Time lost cannot be regained

    Waktu yang hilang tidak dapat terulang lagi. Maka mari gunakan waktu kita untuk melayani Dia sesuai dengan kehendak-Nya. Tentunya dengan hati yang terus mau bergantung kepada-Nya, bukannya mengandalkan kekuatan diri sendiri. Menyadari bahwa kita manusia berdosa yang butuh Tuhan untuk mengubah hidup kita, bukannya merasa diri hebat karena bisa melayani. Sehingga ketika kita bertemu muka dengan muka bersama Tuhan Yesus, kita dapat mempertanggungjawabkan hidup yang kita pakai dengan singkat ini di hadapan-Nya.

    Matius 28:20 (TB) “dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

    Kiranya melalui pelayanan yang kita kerjakan, kita dapat mengalami pengalaman-pengalaman nyata bersama Tuhan yang selalu menyertai kita. Sehingga kita dapat terus bertumbuh semakin dewasa dalam iman. Amin.


    Sharing

    Sebagian dari tulisan di atas sebenarnya merupakan poin-poin besar dari khotbah yang saya bawakan di Rohani Kristen SMAN 77 Jakarta pada tanggal 10 November 2017 yang lalu. Inilah cerita bagaimana saya mengalami sendiri apa yang saya khotbahkan di khotbah perdana saya.

    Selasa, 7 November 2017

    Saya menolak permintaan salah seorang teman yang menghubungi saya untuk berkhotbah di SMAN 77. Sebelumnya, saya memang selalu menolak jika diminta untuk berkhotbah. Bagi saya, berkhotbah bukanlah karunia yang Tuhan berikan bagi saya. Seorang teman lainnya kemudian berkata kepada saya, “Terima saja pelayanan itu Mei, bisa jadi itu pelayanan terakhirmu untuk mereka.” Walaupun saya langsung menepis perkataannya, tetapi kata-kata ini ternyata terus menghantui pikiran saya.

    Rabu, 8 November 2017

    Saya bangun dengan kondisi tubuh demam dan tidak bisa pergi ke kantor. Di hari itu, saya –yang teringat dengan perkataan teman saya kemarin– berpikir apakah sebaiknya saya menerima tawaran berkhotbah di sekolah itu? Toh, hari ini saya hanya di rumah dan tidak mengerjakan apapun. Waktu-waktu ini tentunya bisa saya pakai untuk melakukan persiapan khotbah. Akhirnya saya menerima pelayanan itu. Saya mempersiapkan khotbah ini untuk hari Jumat mendatang. Saya menikmati waktu-waktu mempersiapkan khotbah ini, dalam hati saya berdoa agar khotbah yang akan saya sampaikan ini dapat mengubah hidup siswa-siswa SMAN 77.

    Kamis, 9 November 2017

    Biasanya jika saya sakit demam, saya akan sembuh keesokan harinya. Tetapi, kali ini rupanya tidak. Namun, saya memaksakan diri untuk pergi ke kantor karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Ternyata pada sore harinya, saya ‘tumbang’. Saya memutuskan untuk menginap di kantor karena tidak kuat untuk pulang ke rumah. Saya cemas sekali karena besok saya harus berkhotbah, apalagi ini khotbah perdana saya.

    Jumat, 10 November 2017

    Syukurnya, saya bangun dengan tubuh segar. Saya bisa pergi ke SMAN 77 dan berkhotbah. Meski gentar karena berpikir bahwa saya akan gugup dan blank (khususnya ketika siswa-siswa tersebut ribut sendiri dan tidak memperhatikan apa yang saya sampaikan), tapi ternyata saya bisa berbicara dengan lancar dari awal sampai akhir. Bahkan saya tidak terlalu terpaku dengan naskah khotbah yang saya siapkan. Hari ini saya sangat bersyukur melihat penyertaan Tuhan yang begitu nyata selama proses pelayanan khotbah perdana saya.

    Apa yang saya pelajari?

    Seperti yang dikatakan oleh teman saya, mungkin kesempatan yang ditawarkan kepada kita adalah kesempatan terakhir kita untuk melayani, atau kesempatan terakhir bagi mereka yang kita layani untuk mendengar Injil dan kebenaran-Nya. Umur manusia tidak ada yang tahu bukan? Saya semakin menghayati bahwa hidup ini tidak terduga, kesempatan tidak selalu datang dua kali, dan penyertaan Tuhan itu nyata di saat saya merasa tidak mampu. Semua ketakutan yang saya rasakan ternyata tidak berarti, karena Dia yang bekerja atas saya.

    Hidup ini memang tidak terduga sehingga hidup ini terlalu berisiko untuk dilewati dengan pilihan-pilihan yang tidak bijaksana. Syukurnya, Ia tidak meninggalkan kita sendirian dalam menjalani pilihan-pilihan yang harus kita ambil.

    Pakailah waktu anug’rah Tuhanmu,
    hidupmu singkat bagaikan kembang.
    Mana benda yang kekal di hidupmu?
    Hanyalah kasih tak akan lekang.

    Janganlah sia-siakan waktumu,
    hibur dan tolonglah yang berkeluh.
    Biarlah lampumu t’rus bercahaya,
    muliakanlah Tuhan di hidupmu.

    Karya jerihmu demi Tuhan Yesus,
    ‘kan dihargai benar olehNya.
    Kasih yang sudah ‘kau tabur di dunia,
    nanti ‘kau tuai di sorga mulia.

    Refrein:
    Tiada yang baka di dalam dunia,
    s’gala yang indahpun akan lenyap.
    Namun kasihmu demi Tuhan Yesus
    sungguh bernilai dan tinggal tetap.

    (NKB 211)

  • Habakuk, Nabi yang Menggugat

    Habakuk, Nabi yang Menggugat

    (Ringkasan Eksposisi Habakuk part 1, Graduate Christian Learning Center. Oleh Ev. Inawaty Teddy pada tanggal 12 April 2017)

    Nabi Habakuk adalah seorang nabi yang mempertanyakan cara kerja Tuhan bagi bangsa Israel. Seringkali kita melihat seseorang yang mempertanyakan Allah akan keadilan atau pekerjaannya sebagai seseorang yang kurang beriman. Tapi mari kita melihat dari kacamata Habakuk yang hidup ketika Yehuda jatuh ke tangan Babel. Seolah keluar dari mulut buaya, menuju mulut singa. Itulah yang dialami oleh Yehuda. Setelah menderita dibawah kekuasaan Mesir, mereka dibuang ke Babel. Penderitaan datang bertubi-tubi kepada Yehuda, tanpa mengijinkannya beristirahat sejenak. Raja Yosia yang baik telah meninggal, anak-anak-Nya tidak dapat diharapkan dan mati satu per satu sambil membawa Yehuda menuju kehancuran total.

    Habakuk 1:1-2:1 menyatakan doa Habakuk yang mempertanyakan cara kerja Tuhan yang aneh nan misterius. Bukankah Yehuda adalah umat pilihan Allah? Namun mengapa mereka menderita? Mengapa Tuhan diam saja ketika orang-orang fasik yaitu Babel menginjak-nginjak Yehuda? Sulit dipercaya bahwa semakin hari justru penderitaan yang mereka alami semakin menjadi. Bahkan Habakuk mengatakan bahwa mereka lebih cepat dan ganas daripada serigala, macan tutul, dan rajawali. Kekerasan dimana-dimana. Orang-orang fasik itu seolah mempermalukan Allah dan mendewakan kekuatan mereka. Namun, mengapa Allah diam melihat diriNya dipermalukan lewat kekalahan Yehuda?

    Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terlontar dari mulut Habakuk dan mungkin juga kita sebagai umatNya. Kenyataan bahwa Allah mendatangkan malapetaka bagi umatNya adalah suatu kenyataan pahit yang sulit untuk kita terima. Kita sering berdalih dengan mengatakan Allah mengijinkan malapetaka menimpa kita, padahal Allah yang dengan sengaja melakukannya. Dia adalah Allah yang berdaulat melakukan segala sesuatu termasuk mendatangkan malapetaka.

    Kedaulatan Allah adalah sebuah logika yang sangat sederhana, jika kita mengakui keberadaan Allah maka seharusnya kita percaya bahwa Allah berdaulat dan berkuasa atas segala sesuatu. Sebagai manusia kita harus mengakui keterbatasan kita untuk memahami rencana Allah, tapi dengan rendah hati kita juga harus meyakini bahwa ada suatu alasan di balik malapetaka yang didatangkan Allah, entah itu penghukuman atas ketidaktaatan kita, pembentukan, dan lain sebagainya.

    Pemikiran manusia seringkali terkungkung dalam pandangan dunia yang menyatakan bahwa setiap manusia patut mendapatkan yang terbaik, sehingga orang yang tidak berdosa tidak pantas dihukum. Padahal bagi Allah semua manusia berdosa dan selayaknya menderita (upah dosa adalah maut). Tidak ada yang benar di hadapan Allah, seorang pun tidak. Hanya oleh karena kemurahan hati Allah saja manusia dapat melakukan hal yang benar.

    Jikalau kita tidak mengerti secara menyeluruh akan konsep ini, maka kita akan selalu salah dalam mengerti cara kerja Allah. Hal-hal ini pula yang tercatat dalam Kitab Habakuk. Banyak umat yang tidak menyadari bahwa Tuhan yang membangkitkan bangsa Kasdim (1:5), Babel dan bangsa-bangsa lain tidak sadar bahwa kuasa yang mereka miliki berasal dari Allah (1:11), kebingungan Habakuk mengenai sifat Allah yang kudus dan adil membiarkan orang fasik menelan orang yang lebih benar (Yehuda) serta mempermalukan nama Allah sendiri (1:12-17).

    Kembali ke permasalahan awal, apakah seseorang yang mempertanyakan Allah seperti Habakuk adalah tanda kurangnya iman? Jika kita memperhatikan cerita-cerita dalam Alkitab, maka kita akan menemukan banyak sekali tokoh yang melakukan hal serupa. Mereka bertanya, bahkan juga bernegosiasi dan membujuk Allah untuk merubah keputusannya. Misalnya Musa yang membujuk Allah agar tidak memusnahkan Israel, Abraham yang bernegosiasi untuk menyelamatkan Sodom dan Gomora, dan lain sebagainya.

    Jawabannya, justru itulah yang Allah inginkan untuk kita lakukan. Richard Pratt Jr dalam bukunya “Praying with Your Eyes Open” mengatakan bahwa umat Allah seharusnya berdoa dengan mengerti apa yang didoakannya. Ketika Alkitab mencatat bahwa Allah seolah ragu ingin memberitahu rencananya kepada Abraham untuk menghancurkan Sodom dan Gomora, sebenarnya Dia tidak ragu. Penulis ingin menarik perhatian pembaca untuk menekankan karakter Abraham yang ingin dilatih Allah untuk menjadi Bapa segala bangsa. Abraham yang tidak peduli dengan bangsa lain, untuk pertama kalinya belajar mendoakan keselamatan bangsa lain. Latihan ini terbukti berhasil di pasal berikutnya (Kej.20) ketika dia mendoakan Abimelekh agar sembuh dari tulah (tidak seperti Firaun yang ditinggalkannya dengan tidak peduli akan tulah yang menimpanya). Allah ingin kita dibentuk melalui doa-doa kita.

    Dalam bukunya, Richard Pratt Jr mengatakan ada 3 alasan untuk kita bertanya kepada Allah dalam doa-doa kita:

    1. Karakter dan janji Allah. Contohnya ketika Abraham berdoa dengan mempertegas karakter Allah (Kej.18:20) dan Musa dalam peristiwa lembu emas ketika mengingatkan janji Allah untuk membawa Israel ke tanah Kanaan.

    2. Keadaan umat Allah. Contohnya ketika Musa mencoba melunakkan hati Allah dengan mengingatkan keadaan Israel sebagai umat pilihan Allah yang sedang akan dimusnahkan Allah.

    3. Pandangan dunia. Contohnya Musa berargumen apabila Allah menghabisi Israel maka Mesir akan mempermalukan Allah dan umatNya. Bahkan Musa dengan berani menyuruh Allah menyesali perbuatanNya. Yang lebih mengejutkan, Allah pun menyesali perbuatanNya. Namun ini bukan berarti Allah telah melakukan suatu kekeliruan yang Dia sesali, tetapi Allah sejak semula memang menghendaki penghukuman itu tidak terjadi. Dan Musa tahu benar Allah tidak akan mungkin menghancurkan umatNya, dia sangat mengenal Allah.

    Allah ingin kita berdoa dengan jujur kepadaNya dengan pengenalan yang dalam kepadaNya. Mari datang ke hadapan Allah dan bergumul denganNya akan segala kebingungan kita.