Aku terbangun di sebuah hari Minggu, mendengar suara rintik hujan. Dari jendela lantai 25 apartemenku, terlihat pemandangan kota yang penuh dengan kabut.
“Yah, hujan.”, pikirku.
Ini adalah kemungkinan terburuk yang dapat kupikirkan, karena di hari itu, Minggu terakhir tahun 2019 (29 Desember), aku akan memimpin pujian di ibadah remaja pemuda gereja. Satu lagu yang kuharapkan akan dinyanyikan adalah lagu dengan lirik “Seindah Siang Disinari Terang, Cara Tuhan Mengasihiku.” Namun hari itu hujan, aku pun berpikir apa aku harus menyanyikan lagu tersebut? Akan tetapi, pemusik tidak akan siap dengan lagu pengganti. Ya sudah, aku memutuskan lagu itu pun tetap dinyanyikan.
Sejujurnya sangat sulit bagiku untuk memuji Tuhan di pagi itu. Pelayanan hari itu berjalan berantakan, LCD tidak menyala karena arus listrik yang terganggu akibat petir, jemaat yang sepi karena sudah banyak yang pergi berlibu. Apapun telah diupayakan agar ibadah dapat tetap berlangsung rapi, hingga akhirnya ibadah mundur selama 30 menit dan kami beribadah tanpa LCD. Seorang pemimpin pujian pasti mengetahui betapa vitalnya LCD untuk menampilkan teks lagu yang dinyanyikan kepada jemaat, apalagi lagu-lagunya tidak familiar. Tibalah saatnya kami menyanyikan lagu “Seindah Siang Disinari Terang, Cara Tuhan Mengasihiku.” Hujan masih deras.
Ketika memikirkan kalimat apa yang ingin kusampaikan secara spontan untuk mengantar jemaat menyanyikan lagu tersebut, aku meminta setiap jemaat untuk memikirkan satu hal yang menggambarkan cara Tuhan mengasihi mereka selama tahun 2019. Lucunya, aku sendiri tidak dapat mengingat satu hal pun kasih Tuhan selama 2019 di dalam hidupku. Yang kuingat hanya lah keluhan demi keluhan. Bahkan jurnal terakhir yang kutulis di tahun 2019 penuh dengan kekecewaan dan pertanyaan terhadap Tuhan, yang pada waktu itu kutuliskan sambil menangis.
Aku pun terdiam sejenak dan berusaha memikirkan kata-kata apalagi yang hendak kusampaikan untuk mengajak jemaat bernyanyi. Kemudian, aku mulai berkata-kata dengan jujur, bahwa saat ini di luar hujan deras dan ini semua berjalan tidak sesuai dengan ekspektasiku. Dan lanjutku, “Ada kalanya kita kesulitan ketika mengingat kasih Tuhan, mungkin bukan karena kita lupa, tetapi mungkin memang tidak ada yang bisa disyukuri. Namun seperti matahari cerah yang kita harapkan dapat kita lihat, tetapi terhalang oleh awan gelap dan hujan, percayalah bahwa kita dapat melihat matahari itu nanti.”
Aku tidak tahu mengapa dan bagaimana bisa secara spontan aku mengatakan hal yang demikian, namun perkataan itu ternyata sangat menusuk diriku sendiri. Betul, melihat setahun ke belakang, rasanya sulit sekali menemukan kebaikan Tuhan. Segala sesuatu berjalan tidak sesuai dengan harapan, konflik dalam pelayanan, masalah keluarga, jenuh dalam keseharian, rasa kesepian yang mendalam, penyesalan seakan aku sudah menyia-nyiakan hidupku, kekhawatiran akan masa depan, dan perasaan ingin melarikan diri dari segala tuntutan bercampur menjadi satu. Aku bahkan tidak merasa Tuhan benar-benar hadir dalam hidupku dan aku mulai bersikap skeptis akan segala sesuatu, bahkan hampir meninggalkan imanku dengan berniat melakukan banyak hal yang sebelumnya tidak pernah aku coba lakukan demi kesenangan semata. Setiap saat di dalam doaku, aku memohon dengan sangat agar Tuhan menunjukkan diri-Nya sekali lagi kepadaku. Namun Dia diam, hingga di akhir tahun 2019 ini, aku memyempatkan diri untuk retreat sejenak dan melakukan perjalanan travelling pertamaku seorang diri dengan tujuan untuk menemukan Tuhan.
Nyatanya tidak butuh meditasi dan selalu diam memfokuskan diri membaca Alkitab untuk menikmati waktu bersama Tuhan, kita dapat menemukan Tuhan di dalam alam dan dalam setiap pengalaman yang kita kerjakan atau alami. Melalui perjalanan ini aku telah menemukan bahwa tidak ada suatu pun hal dan pertemuan yang merupakan kebetulan. Dia menaruh plot kehidupan, menenun kisah, mengatur pertemuan layaknya seorang penulis di dalam hidup kita sesuai dengan rencanaNya yang indah. Walaupun terkadang kita merasa kesulitan ketika sinar matahari itu belum kunjung tampak. Tentu di dalam perjalanan ini banyak hal yang juga mengecewakan, pendakian gunung impianku terpaksa dibatalkan oleh penyelenggara open trip yang kuikuti.
“Mei, mengapa kamu kurang percaya? Bukankah selama tahun kemarin Aku terus mengingatkanmu untuk beriman dan percaya bahwa Aku mengasihiMu dan tidak pernah lepas kendali dalam hidupmu?”, seolah Tuhan berkata di dalam malam gelap yang lagi-lagi penuh pengaduan. “Apa yang kamu butuhkan bukan perjalanan travelling yang menakjubkan, keluarga yang harmonis, cinta dan pengakuan, uang dan martabat, namun AKU.”
Oleh karena pendakian (Kawah Ijen) itu dibatalkan dan aku belum memesan tempat menginap malam itu, aku diberikan tumpangan oleh seseorang (thanks Noni!) yang pernah kutemui dalam pertemanan yang begitu singkat di sebuah retreat. Bahkan dia juga menolongku untuk menyusun trip pengganti keesokan harinya.
Aku melihat bagaimana aku begitu kecil di tengah padang savana (Taman Nasional Baluran) yang luas dengan segala jenis binatang berbahaya di dalamnya. Aku menonton sebuah film (Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini) di bioskop–selagi menunggu jadwal kereta pulang–yang juga mengingatkanku bahwa apapun, entah itu kekasih, pekerjaan impian, bahkan keluarga, tidak dapat memberikan kita kebahagiaan sejati. Tepat seperti yang dikatakan di dalam retreat yang kuikuti, bahwasanya kebahagiaan sejati hanya dapat ditemukan dalam Kristus.
Setiap orang membutuhkan waktu berhenti sejenak. Aku teringat di dalam tahun 2019, ada sebanyak tiga kali dalam momen yang berbeda aku membaca sendiri atau mendengar seseorang membaca Yesaya 55:1-2.
Yesaya 55:1-2 (TB) Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang yang tidak mempunyai uang, marilah! Terimalah gandum tanpa uang pembeli dan makanlah, juga anggur dan susu tanpa bayaran!
Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat.
Pertama kali aku mendengar ayat ini adalah ketika seorang rekan pelayanan membacakan ayat ini di dalam doanya. Kedua adalah di dalam bible reaading pribadiku. Ketiga adalah di dalam retreat yang kuikuti. Aku begitu terkesan ketika mendengar bahwa Tuhan memanggilku yang lelah ini dari usaha melarikan diri dari Tuhan demi mem”bahagia”kan diriku. Tepatnya di dalam momen akhir tahun 2019, aku kembali diingatkan untuk menemui Tuhan di dalam setiap pengalaman. Setidak-tidaknya berdoalah agar Dia menunjukkan diriNya pada kita yang rindu untuk bertemu denganNya.
Kembali ke Jakarta, yang pada saat ini sedang mengalami banjir bandang dan menjalani hidup yang mungkin masih belum menunjukkan indahnya sinar terang matahari. Namun, aku tahu siapa yang kupercaya, dan aku yakin akan FirmanNya. Welcome 2020! Entah apakah tahun ini aku akan kembali bersungut-sungut, mengasihani diri sendiri, dan berusaha melarikan diri kembali, tetapi Tuhan tidak akan pernah lelah menarikku dan menyeretku kembali ke dalam pelukan kasihNya.
Leave a Reply