Tag: Relationship with God

  • Perkataan Baik untuk Hati yang Bungkuk

    Perkataan Baik untuk Hati yang Bungkuk

    Amsal 12:25 (TB) “Kekuatiran dalam hati membungkukkan orang, tetapi perkataan yang baik menggembirakan dia.”

    Pernah mendengar istilah psikosomatis? Psikosomatis adalah penyakit atau keluhan fisik yang timbul karena masalah psikologis, misalnya takut, cemas, kuatir, dan stress. Mungkin beberapa di antara kita ada yang sering mengalaminya. Misalkan, sesaat sebelum presentasi, kita tiba-tiba sakit perut, keringat dingin, atau mual-mual. Bisa jadi itu adalah gejala psikosomatis. Psikosomatis yang pasti bukan suatu hal yang menyenangkan, malah membuat kita rugi.

    Kita seringkali dikejutkan dengan berita-berita bahwa ada banyak sekali orang-orang yang mengakhiri hidupnya sendiri. Mereka memutuskan untuk mengakhiri hidupnya lantaran merasa tidak sanggup menghadapi hari-hari depan yang sudah bisa dipastikan akan penuh dengan masalah. Kalau satu masalah saja sudah cukup membuat kita tidak nyaman, apalagi sambil memikirkan apa yang akan harus kita hadapi selanjutnya. Tak heran Yesus berkata di Matius 6:27, “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”

    Sesungguhnya jika kita memikirkan masalah-masalah di depan, yang ada justru kita akan merasa semakin tertekan ketika kita merasa kuatir, takut, dan cemas. Yesus berkata bahwa kekuatiran itu tidak akan menambah umurmu, sehasta saja pun tidak.

    Masalahnya, penderitaan dan masalah tidak akan pernah habis dalam hidup kita. Bagaimana tugas nanti? Bagaimana ujian nanti? Bagaimana ujian masuk PTN nanti? Bagaimana kuliah nanti? Bagaimana skripsi nanti? Bagaimana pacar? Kerja? Menikah? Anak? Pensiun? Dan seterusnya.

    Kekuatiran itu memang benar-benar dapat membungkukkan orang seperti yang dikatakan pengamsal. Membuat hidup yang sudah susah jadi tambah susah. Siapa di dunia ini yang tidak pernah punya masalah? Kenyataannya di sepanjang hidup kita, kita akan terus menemui yang namanya masalah. Entah itu bagi si miskin, si kaya, si kuper, si supel, dan sebagainya.

    Tentu wajar, jika kita sebagai manusia yang normal dapat merasakan kekuatiran. Namun, hal itu tidak ada gunanya bagi kita walaupun kita tidak dapat menghilangkan rasa kekuatiran. Lalu apa yang harus kita perbuat? Sebuah buku berjudul Tinggal Dalam Hadirat-Mu yang ditulis oleh Pdt. Yohan Candawasa berkata seperti ini,

    “Ketika badai persoalan menghantam hidup kita, sangatlah alamiah jika kita menginginkan hal itu cepat berlalu. Kita beranggapan bahwa dengan berlalunya badai, maka ketakutan dan kekuatiran kita juga akan berlalu. Tetapi realitanya tidaklah demikian. Setelah badai itu pergi, ternyata akan datang persoalan lainnya. Oleh sebab itu hal yang paling utama yang kita butuhkan untuk kedamaian hidup kita bukanlah tiadanya badai (jelas tidak masuk akal, tanda orang hidup adalah masalah) melainkan Yesus Kristus sendiri. Ia lah damai sejahtera kita. Janjinya kepada kita bukanlah hidup tanpa badai tetapi kehadiran-Nya bersama kita di dalam badai. Damai yang sejati tidak kita temukan dalam situasi dan kondisi melainkan dalam satu pribadi yaitu Yesus Kristus. Semakin kita dapat menyerahkan apa yang mengganggu kita kepadanya, semakin kita akan mengalami damai-Nya.”

    Lagi-lagi pengamsal dengan tepat melanjutkan pemikirannya yang sangat masuk akal itu, “perkataan yang baik menggembirakan orang”. Perkataan baik itu disampaikan melalui Yesus kepada kita yang seringkali merasa “bungkuk”.

    Salah satu perkataan baik dari Yesus adalah di Matius 6:25-34. Percayakah kamu bahwa kehadiran Tuhan saja cukup bagi kita? Seorang ibu pernah bercerita tentang anaknya. Dia bercerita bahwa anaknya yang masih SD pernah merasa sangat kuatir dalam hidupnya. Anaknya sampai-sampai pernah bertanya pada ibunya, “Ma, apakah besok adek bisa makan? Ma, apakah besok ada baju yang adek bisa pakai?”

    Kedengarannya konyol, tentu saja ibunya pasti sudah menyiapkan kebutuhan sehari-hari anaknya. Namun, ini adalah gambaran diri kita yang sesungguhnya di hadapan Allah. Kita kuatir dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dikuatirkan. Kita bahkan mencurahkan rasa kekuatiran kita kepada Sang Penyedia segala kebutuhan kita.

    Ketika kita merasa kuatir, bukankah Tuhan tahu apa yang kita kuatirkan? Tuhan kita maha tahu, Dia bagaikan orangtua yang sudah mengetahui kebutuhan anak-anakNya dan sudah menyiapkan segalanya. Walaupun terkadang kita sendiri bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya kita butuhkan. Kita merasa bahwa kita membutuhkan ini, tapi Tuhan menjawab tidak. Kita merasa bahwa kita membutuhkan itu, tapi Tuhan menjawab belum. Semua itu Dia lakukan karena Dia tahu apa kebutuhan kita yang sesungguhnya.

    Jikalau ada seseorang yang berkata kepada kita bahwa presiden akan datang ke rumah kita untuk memberi hadiah, kita pasti tidak akan percaya. Namun, Yesus berkata sendiri bahwa dia yang akan membawa hadiah itu bagi kita.

    Matius 6:32b (TB) “Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.”

    Tuhan sendiri yang akan menyediakan segala yang kita butuhkan. Kalau bunga yang tidak berusaha apa-apa, burung yang hidupnya bebas tanpa aturan, rumput di padang yang tidak berarti dan diinjak-injak orang saja Tuhan pelihara, bukankah seharusnya terlebih lagi kita? Kita adalah ciptaan Tuhan yang paling mulia.

    Hidup ini memang selalu penuh dengan masalah. Matius 6:34 “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.” Sehingga, percuma saja jika kita merasa kuatir akan hari esok yang memang sudah pasti akan ada masalah baru yang kita hadapi.

    Kehadiran Yesus menjadi yang terpenting di dalam hidup ini. Matius 6:33 “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Sehingga seharusnya kehendak-Nya menjadi yang utama dalam hidup kita.

    Kekuatiran itu “membungkukkan” kita. Namun, ada satu perkataan terbaik yang menggembirakan, yaitu Yesus telah datang ke dunia ini untuk membawa kedamaian bagi hati kita yang tidak bisa beristirahat karena kekuatiran. Jikalau saat ini engkau sedang merasa kuatir akan masa depanmu, ingatlah bahwa Yesus memberikan jaminan bahwa apa yang terpenting bagi kita, yaitu kehadiran-Nya, akan selalu bersama kita sepanjang hidup ini.

    Worry: Glancing at God while gazing at circumstances
    Trust: Glancing at circumstances while gazing at God.

    – Matt Smethurst

  • Di Bawah Pembelaan Sang Advokat

    Di Bawah Pembelaan Sang Advokat

    Aksi-aksi pembelaan agama rasanya sudah menjadi hal yang tidak mengherankan lagi terjadi di Indonesia. Berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer dari tempat yang jauh, kepanasan di bawah matahari yang terik dan menyengat, ataupun ketika kedinginan karena diguyur hujan bercampur angin. Semuanya itu rela dilakukan dengan dorongan motivasi bahwa ini adalah bukti kecintaan terhadap agama dan iman. Manusia membela agama karena agamanya mendapatkan tuduhan yang tidak bisa diterima. Namun, apa jadinya jika kita yang justru dibela oleh Tuhan? Tunggu, memangnya ada tuduhan apa sampai kita harus dibela oleh Tuhan?

    Baca 1 Yohanes 2:1-6

    Serangan terhadap agama dan iman Kekristenan juga terjadi di tengah ajaran sesat Gnostic yang beredar di jemaat Kristen sekitar 2000 tahun yang lalu. Ajaran ini mengatakan bahwa hidup kudus dan menghindari dosa tidak berhubungan dengan keselamatan yang Yesus anugerahkan (dualisme). Oleh karena itulah, Yohanes terus mengingatkan jemaat bahwa kehidupan sebagai orang percaya tidak dapat terlepas dari meninggalkan dosa. Namun, Yohanes menyadari bahwa kita begitu lekat dengan dosa walaupun kita sudah bertekad untuk menjauhi dosa. Ajaran sesat yang beredar itu menunjukkan suatu fakta bahwa manusia berdosa yang tinggal di dunia berdosa memang tidak akan sanggup meninggalkan dosa sepenuhnya. Bagi mereka, hidup kudus dan menghindari dosa adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Manusia tidak akan bisa diselamatkan kalau dituntut untuk hidup kudus. Ya, ini memang benar. Di pasal pertama juga dikatakan kalau kita tidak mengakui diri sebagai seorang pendosa maka kita sebenarnya sedang membohongi diri sendiri. Dosa itu adalah natur manusia yang sudah mengalami kejatuhan.

    Syukurlah ada seorang Pribadi yang ingin membela kita! Yohanes berkata bahwa kita mempunyai seorang pengantara kepada Bapa, yaitu Yesus. Kata aslinya (parakletos; para: di samping) artinya adalah advokat. Ibaratnya seperti berada di dalam sidang pengadilan, Yesus adalah seorang pengacara atau advokat atau orang yang berbicara mewakili terdakwa. Yesus adalah seorang advokat yang juga adil atau dalam bahasa Inggrisnya “the righteous One”, karena Dia adil dan benar maka Dia mampu untuk menjadi advokat bagi kita yang didakwa akibat dosa.

    Kenyataan ini seharusnya membuat kita benar-benar merasa lega. Oleh karena kita sebagai manusia yang sudah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman mati, pada akhirnya mendapatkan pembelaan dari seorang advokat terbaik. Mengapa terbaik? Karena Dia tidak pernah berbuat salah, bahkan Dia adalah putera dari Sang Hakim sendiri. Dia juga adalah advokat terbaik karena bukan hanya membela tetapi bahkan juga bersedia menanggung hukuman yang tidak akan sanggup kita tanggung. Bukan hanya untuk kelompok tertentu saja, bukan hanya untuk Jews, bukan hanya untuk orang Kristen, tetapi untuk semua orang di dunia. Yesus menawarkan pembenaran kepada semua manusia yang sudah divonis bersalah ini.

    Lalu apa buktinya bahwa kita sudah mengenal sang advokat dan punya relasi dengan-Nya (‘know’ / ‘ginosko’ / ‘yada’) sehingga kita menerima tawaran pembenaran-Nya itu? Sebanyak 42 kali, kata ‘mengenal’ ini muncul di surat 1 Yohanes. Di surat yang cukup pendek ini, kata ‘mengenal’ sangat sering digunakan oleh Yohanes. Kata ‘mengenal’ ini menjadi sangat signifikan dalam surat 1 Yohanes karena kita dapat menerima tawaran pembenaran-Nya hanya dengan mengenal-Nya. Mengenal Allah berarti juga mengenal kehendak-Nya dan dengan taat melakukannya. Seseorang baru dapat jatuh cinta jika mengenal siapa yang dia cintai. Orang yang mencintai seseorang pasti ingin melakukan kehendak orang itu. Itulah kenapa Yohanes berkali-kali mengatakan bahwa seseorang yang mengaku mengenal Dia tapi tidak mentaati kehendak-Nya adalah seorang pendusta atau munafik karena pengenalan dan cintanya tidak terbukti dari tindakannya.

    Sumber: asianwiki

    Cinta yang sempurna adalah cinta yang mampu mentransformasi. Ada satu drama Jepang berjudul “We Married as a Job”. Dikisahkan ada seorang perempuan berumur 25 tahun, Moriyama Mikuri (Aragaki Yui) yang kesulitan mencari pekerjaan. Kemudian dia akhirnya memutuskan untuk mengambil studi pascasarjana. Namun, tetap saja dia sulit mencari pekerjaan setelah lulus pascasarjana. Hal ini membuat kepercayaan dirinya menjadi rendah. Akhirnya dia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di rumah seorang pria berumur 35 tahun yang bernama Tsuzaki Hiramasa (Hoshino Gen). Hiramasa adalah seorang yang sangat pintar dan selalu unggul dalam hal akademis dan pekerjaan. Namun, dia juga memiliki kepecayaan diri yang sangat rendah dalam masalah relasi. Dia merasa fisiknya buruk, dirinya kaku, membosankan, dan tidak tahu bagaimana caranya berelasi. Singkat cerita mereka akhirnya saling jatuh cinta. Namun, karena takut mengalami penolakan dan kekecewaan, Hiramasa selalu membangun tembok dalam berelasi dengan Mikuri. Dia merasa dirinya tidak layak untuk Mikuri. Sampai akhirnya relasi mereka berkembang dan Mikuri berhasil menembus tembok itu. Perubahan pun terjadi di antara mereka berdua, khususnya Hiramasa. Dia tidak mau melarikan diri lagi dalam menjalin hubungan dan siap menerima Mikuri sekalipun dia tahu pasti akan ada resiko dalam hubungan yang akan dia jalani ini.

    Kita yang naturnya adalah dosa ini juga tahu bahwa hidup mengenal dan menuruti seorang Pribadi yang tidak bisa dekat dengan dosa adalah sesuatu yang sulit. Namun, ketika kita jatuh cinta kepada Tuhan dan mau mentaati kehendak-Nya sekalipun itu sulit bagi kita, maka sebenarnya cinta Tuhan yang sempurna lah yang memampukan kita melakukannya. Pribadi-Nya ada di dalam kita dan kita juga ada di dalam Dia sebagai satu relasi yang penuh cinta. Jadi, setelah kita dibela oleh advokat terbaik yang ada di dunia ini, mari kita berjuang memperbaiki hidup kita yang sudah melakukan banyak kesalahan agar seperti Dia yang juga pernah hidup sebagai manusia yang tak pernah berbuat salah di dunia ini. Itulah kehendak-Nya, sebuah respon yang tepat bagi orang-orang yang sudah dibela dan dinyatakan TIDAK BERSALAH!

    Jesus paid it all,
    All to Him I owe;
    Sin had left a crimson stain,
    He washed it white as snow.

    – Jesus Paid It All (Elvina M. Hall)

    (Renungan Persekutua Doa Staf Kantor Perkantas Jakarta)

  • Kegagalan yang Ditebus

    Kegagalan yang Ditebus

    Seorang senior pernah berkata kepada saya sewaktu saya masih melayani di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) di kampus, “Dulu di zaman saya, semuanya berjalan lebih baik daripada di zaman kalian.” Secara sadar, kita benci ketika mendengar perkataan seperti itu dari orang lain, apalagi jika perkataan tersebut ditujukan kepada diri kita. Namun, secara tidak sadar kita juga sering melakukan hal yang sama, membandingkan dan menghakimi. Padahal setiap kita juga rentan terhadap kegagalan, bahkan setiap generasi pasti memiliki cerita kegagalannya masing-masing. Seperti yang sering dikatakan orang-orang, “Tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan.”

    Kegagalan Terbesar Manusia

    Seorang tokoh Alkitab, murid Yesus, dan seorang rasul pernah berkali-kali diceritakan mengalami kegagalan dalam hidupnya. Siapakah dia? Petrus, seorang yang begitu blak-blakan, berbicara tanpa berpikir, seseorang yang juga sangat tidak ingin terlihat buruk di depan orang lain. Bahkan sewaktu mendengar Yesus berkata bahwa iman para murid-murid akan goncang pada saat itu, Petrus bisa langsung membantah dan menganggap salah perkataan Yesus (Mat. 26:30-35). Dengan pride yang begitu tinggi, dia tidak ingin Yesus berkata buruk tentang dirinya yang disebutkan akan menyangkal Yesus. Kita semua tahu kenyataannya karena kisah ini begitu sering dikhotbahkan. Petrus benar-benar menyangkal Yesus. Ini adalah salah satu kegagalan Petrus yang diceritakan dalam Alkitab.

    Rasanya hampir semua tokoh Alkitab pernah diceritakan mengalami kegagalan. Misalnya Daud, dia gagal dalam menghadapi dosa perzinahan, dia juga gagal memimpin keluarganya sendiri sampai-sampai anaknya sendiri ingin membunuh Daud. Kemudian kita juga bisa melihat Musa, dia gagal memimpin bangsa Israel ke tanah Kanaan hanya karena satu ketidaktaatan Musa. Ada juga Ayub yang selama ini selalu diceritakan sebagai orang yang sangat saleh, tetapi toh di dalam penderitaannya, dia juga mengalami jatuh bangun rohani.

    Semua orang berdosa adalah orang-orang yang pasti pernah mengalami kegagalan dan akan selalu rentan mengalami kegagalan di sepanjang hidupnya.

    “Karena semua orang telah berbuat dosa, dan telah kehilangan kemuliaan Allah.” (Roma 3:23)

    Manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah juga dengan suatu tujuan tertentu yang Allah persiapkan yaitu menikmati dan memuliakan Allah sepanjang hidupnya, kini telah mengalami kegagalan untuk mencapai tujuan tersebut karena dosa. Buntut-buntutnya, hingga kini manusia terus dan akan terus mengalami berbagai macam kegagalan dalam hidupnya karena dosa yang masih terus mengikat diri kita. Dosa adalah kegagalan terbesar manusia, dan manusia adalah kegagalan itu sendiri.

    Yesus dan Bartimeus

    Mungkin sebagian dari kita jarang mendengar nama Bartimeus. Kisahnya diceritakan dalam Markus 10:46-52. Bartimeus adalah seorang yang buta. Tentunya dia menginginkan kesembuhan sehingga dia dapat melihat kembali. Namun, disini ada hal yang menarik. Mengapa ketika Bartimeus datang kepada Yesus, dia justru mendapatkan pertanyaan, “Apa yang engkau inginkan untuk Aku lakukan kepadamu?” Mengapa Yesus mengajukan pertanyaan seperti itu? Bukankah sudah pasti dia menginginkan kesembuhan? Tidak mungkin kan apabila ada orang kelaparan yang datang kepada kita, namun kita masih bertanya, “Apa yang kamu mau?”

    Beberapa waktu yang lalu, ketika kota Jakarta masih dipimpin oleh gubernur Basuki Purnama ‘Ahok’. Ada berita tentang warga Kampung Pulo yang selama ini mendirikan rumah-rumah liar di pinggir kali. Mereka menolak dipindahkan ke rumah susun yang didirikan oleh Ahok. Kita semua mungkin geram ketika mendengar berita ini. Padahal mereka sudah disediakan fasilitas yang begitu memadai di rumah susun. Mereka bisa mendapatkan unit secara cuma-cuma, bahkan bisa hidup dengan lebih layak di rumah yang terbuat dari tembok. Akan tetapi, mengapa mereka tidak mau pindah?

    Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita perlu membayangkan diri kita menjadi seperti mereka. Mereka tidak siap dengan perubahan. Kehidupan yang lebih baik di rumah susun, tentunya menuntut mereka juga untuk memiliki standard hidup dan skill-skill baru yang harus mereka pelajari. Mereka harus mencari pekerjaan yang baru, mereka harus mencari penghasilan lebih untuk membayar uang sewa setiap bulannya, dan tentunya menyesuaikan diri dengan peraturan-peraturan hidup bersama dalam rumah susun. Mereka tidak bisa hidup bebas seperti dulu lagi ketika mereka hidup di rumah-rumah yang mereka dirikan.

    Hal yang sama juga tentunya akan dialami oleh Bartimeus jika dia dapat melihat kembali. Setelah sekian lama hidup sebagai orang buta, dia harus keluar dari zona nyaman yang dia miliki selama ini. Jika dia dapat melihat lagi, maka dia harus mencari pekerjaan dan penghasilan sendiri. Dia tidak dapat lagi berbaring di pasar sambil mengemis dan bergantung kepada kemurahan hati orang lain. Dia harus mengubah cara hidupnya. Dengan kata lain, pertanyaan Yesus sebenarnya ingin memastikan apakah dirinya ingin benar-benar sembuh dari kebutaannya dan membayar harga untuk sebuah kesembuhan, yaitu keluar dari zona nyaman dan beradaptasi dengan hidup yang baru.

    Pada akhirnya, pilihan yang diambil Bartimeus telah membawanya kepada kesembuhan dan menjadikannya sebagai pengikut Kristus. Bagi Bartimeus, kebutaannya adalah keterpurukan, kegagalan, dan penghalang baginya. Kristus yang datang ke dalam hidup Bartimeus telah mengangkat dirinya dari kegagalan itu. Kristus yang sama juga datang dalam hidup kita, menebus dosa dan setiap kegagalan kita dan mengangkat kita dari keterpurukan akibat kegagalan dan dosa.

    Apa yang selama ini menjadi kegagalanmu? Mungkin kejatuhan dalam dosa yang sama terus menerus? Mungkin kegagalan dalam studi, pekerjaan, pelayanan, berelasi? Semua kegagalan itu adalah masa lalu dan masa lalu bukanlah sebuah ke-selalu-an. Artinya, kita tidak dapat melihat masa lalu sebagai masa kini dan masa depan kita. Jika bagi Bartimeus, kebutaannya adalah masa depan yang tidak dapat diubah. Maka hidupnya akan selalu diikat oleh masa lalu, “Ah saya memang orang buta, mau bagaimana lagi? Saya akan mengemis sepanjang hidup saya.” (Merupa Hidup Dalam Rupa-Nya, Yohan Candawasa).

    Tetapi Bartimeus tidak mengambil jalan pasrah dengan kegagalan yang dialaminya. Dia beriman, dia menyerahkan masa depannya ke dalam tangan Kristus yang dia percaya. Sehingga poin terpenting bukanlah lagi apakah dia sembuh atau tidak, karena jika dia tidak sembuh maka hidupnya tidak akan berubah, tetapi jika dia sembuh maka akan ada tantangan baru yang harus dia hadapi.

    Poin terpenting dalam kisah ini adalah bagaimana Bartimeus beriman dan percaya kepada Kristus yang mampu menyelamatkan dan memberi masa depan baginya. Itulah yang membuat Bartimeus berani melangkah dari zona nyaman dan membayar harga untuk sebuah perubahan. Kita sesungguhnya juga merupakan Bartimeus yang mengalami kegagalan demi kegagalan dalam hidup kita. Pertanyaannya, maukah kita melangkah dengan berani menuju masa depan dan membayar harga demi masa depan yang lebih baik?

    Melangkah Menuju Masa Depan

    Mari kita kembali kepada kisah Petrus dalam Yohanes 21:15-19. Ini adalah pertama kalinya Petrus bertemu kembali dengan Yesus setelah dia menyangkal Yesus, tepat seperti yang dikatakan Yesus sebelumnya. Kita dapat membayangkan perasaan Petrus disini, dia pasti merasa sangat malu dan bersalah kepada Yesus. Akan tetapi, disini Yesus tidak bersikap menghakiminya. Justru Yesus menawarkan suatu perubahan dalam hidup Petrus, “Gembalakanlah kawanan dombaku.” Tentunya ini bukan suatu langkah mudah yang harus diambil Petrus. Dia tahu bahwa tidak mudah menjadi pengikut dan penyebar ajaran seseorang yang dianggap bidat bahkan sampai dihukum salib. Namun, kita tahu apa yang dipilih Petrus, seperti yang juga dijelaskan Yesus di ayat 18-19. Di akhir hidupnya, Petrus akan mati martir dan memuliakan Tuhan.

    Petrus, dari sebuah penyangkalan sampai akhirnya mati martir demi Kristus. Dari keterpurukan dalam kegagalan, hingga akhirnya diberikan kesempatan untuk hidup baru. Sekarang kita semua juga diberikan kesempatan untuk bangkit menuju masa depan walaupun ada tantangan yang harus dilewati dan harga yang harus dibayar. Pertanyaannya adalah, “Apa yang kamu mau agar Aku lakukan untukmu?”

    Mari meminta hikmat kepada Kristus untuk memampukan kita menjawab dengan tepat, keluar dari zona nyaman, dan membayar harga demi sebuah perubahan.

    HIDUP BAGI KRISTUS

    Tuhan Kau pernah ada di tengah manusia
    Berjalan di antara manusia berdosa
    Menyembuhkan yang luka, mengangkat yang jatuh
    Melepaskan yang terikat dalam dosa

    Tuhan t’lah kurasakan indahnya kasih-Mu
    Tak mungkin hanya kusimpan berdiam diri
    Bawalah aku berjalan di tengah dunia-Mu
    Buatlah aku hidup hanya untuk-Mu

    Reff:
    Hidup bagi Kristus hanya mungkin kar’na kasih-Nya
    Hidup bagi Kristus hanya mungkin kar’na anugerah
    Mengasihi yang Dia kasihi
    Melakukan yang Dia kerjakan
    Kumau hidup bagi Kristus

    Cipt: Astri Sinaga

    (Tulisan ini merupakan hasil penyuntingan dari naskah khotbah yang saya bawakan di Pembinaan Pengurus PO Binus pada tanggal 1 Desember 2017)