Tag: Relationship with God

  • The Lord is my …

    The Lord is my …

    A preacher once told me, “Psalm is an expression of the people who wrote it.”

    I think it’s true. Look at David who wrote about his desperation in need of God’s help when he was being chased by Saul in Adullam Cave. It was his experience and more importantly his relationship with God through his struggle that made him write the Psalm.

    The same way goes to Psalm 23. Maybe it’s the most famous and mainstream Psalm in our Bible. This Psalm was written when David was thinking about God and how he described Him as a living character that David knew the most. A shepherd. We all know, David was a shepherd before he became a king.

    So often we think about God when something happens in our life. When life goes right according to our will, we will see God as a kind father, a best friend, etc. Otherwise, we will see God as a cruel master, and so on.

    In a staff retreat of IFES (International Fellowship of Evangelical Students) Indonesia, I tried to rewrite this Psalm in my own version after I took some time to be alone with God.

    The Lord is my Painter
    I shall not disheartened

    He paints me in a big canvas
    He paints me according to His liking

    He is the One who gives colors
    He puts everything in the right composition
    For the sake of His art sense

    Even when some parts are abstract
    I’m not discouraged
    For You will finish what You have painted aesthetically
    Your brush and Your artistic hands reassure me

    You prepare a showcase of Your painting
    In plain sight of my enemies
    To show them the beauty of me
    In your hands

    Surely You are the original artist of all things
    And all things are made beautifully
    I will depend on Your hands forever

    I just got back from my vacation at Malang, Indonesia. It was really nice to be able to enjoy the sunrise at Bromo’s peak and sunset at South Malang Beach. The scenery was also amazing. To think that God is the One who created this beautiful world, makes me wonder how beautiful is His sense of art and what a great artist He is.

    As an artist (graphic designer to be exact), I often have to focus all my time just to think for inspiration. Inspiration is something you couldn’t get anytime you want to. A famous painter, Sir Joshua Reynold (1723-1792) once said, “Nothing comes from nothing – invention, strictly speaking, is little more than a new combination of those images which have been previously gathered and deposited in the memory.” Even the greatest artist in this world can’t make an original masterpiece. I’m glad I was created by The Greatest Original Artist of all things in this world. And guess what? He is still painting me until now!

    Have you ever seen an unfinished painting? I bet it would look not good. Maybe you will even wonder what kind of picture is this? But there is a good news. Although my painting has not finished, I know He is still holding the brush. When you see your life right now, you will only see an unfinished painting. Maybe it’s messy, something isn’t right, it’s blur, and you don’t even know what kind of picture it is. But later after He finish the painting, you will see a really beautiful big picture of your life.

    Live your life because you know your painting is on the right hands and will be finished beautifully in the end.

  • Yesus Sanggup Mengubah Aib Kita menjadi Alat Kasih Karunia-Nya

    Yesus Sanggup Mengubah Aib Kita menjadi Alat Kasih Karunia-Nya

    Penulis:
    Jon Bloom

    Diterjemahkan dari:
    Jesus Is Turning Your Shame into a Showcase of His Grace

    http://www.desiringgod.org/articles/jesus-is-turning-your-shame-into-a-showcase-of-his-grace

    Anda tahu bagian dari diri yang Anda sangat tidak ingin orang lain tahu — kelemahan yang sulit diubah, kegagalan yang hina, penyakit yang memalukan, masa lalu yang mengerikan, atau mungkin pergumulan dosa yang sekarang dialami. Ada kabar baik untuk Anda melalui kisah seorang wanita yang menderita pendarahan di Lukas 8.


    Yesus saat itu adalah seorang ‘selebriti’. Dan keramaian memadati sekeliling-Nya ketika Dia sedang berjalan menuju rumah Yairus untuk menyembuhkan anak perempuannya yang sudah berusia 12 tahun.

    Di tengah keramaian itu, adalah seorang wanita putus asa. Sudah 12 tahun dia menderita Vaginal Hemorrhage [penyakit alat reproduksi pada vagina berupa mentruasi yang tidak berhenti-henti]. Semua pengobatan medis yang dia coba telah menghabiskan hartanya. Tidak ada yang dapat menyembuhkannya.

    Tapi dia telah melihat kuasa penyembuhan Yesus. Ketika Dia menyentuh orang-orang, maka mereka sembuh. Pikirnya, jika saja dia dapat menyentuh-Nya…

    Akan tetapi, dia [wanita ini] punya suatu masalah. Masalahnya itulah masalah. Semua orang yang datang kepada Yesus untuk disembuhkan harus menceritakan kepada-Nya — demikianlah semua orang — apa masalah yang mereka alami. Yairus juga sudah melakukannya. Tapi bagaimana dengan penyakit organ reproduksi? Di depan semua orang-orang itu? Yang lebih parah, penyakit pendarahannya ini membuat dia tidak tahir [najis menurut hukum Taurat], yang artinya membuat dia bertambah merasa hina dan malu.

    Tapi mungkin Yesus tidak perlu tahu bahwa Dia sudah tersentuh olehnya. Bagaimana jika wanita itu menyentuh-Nya? Dengan begitu banyak orang yang ingin mendekati Yesus, dia bisa saja dengan cepat menyentuh jubah-Nya. Tidak akan ada seorangpun yang tahu.

    Dorongan dan desakan dilaluinya menuju kepada Sang Rabi. Semakin dekat dia pada Yesus, semakin tak karuan tubuhnya teraduk. Murid-murid Yesus sudah mencoba menghalangi orang-orang untuk menyentuh Yesus. Tapi keputusasaan wanita ini telah memantapkan determinasinya. Tiba-tiba saja ada celah yang terbuka dan dengan cepat, dia langsung membungkuk dan mengibaskan tangannya untuk meraih ujung jubah Yesus.

    Sementara dia kembali berdiri dan mundur, dia merasa ada sebuah kehangatan yang menjalar melalui perutnya. Dalam sekejap dia tahu bahwa dia sudah sembuh. Seketika itu juga, kejutan kebahagiaan memenuhinya.

    Setidaknya selama 5 detik.

    Kemudian Yesus berhenti dan mulai mencari di tengah keramaian itu. Dia melihat dengan risau dan berkata dengan keras, “Siapa yang menjamah Aku?” (Lukas 8:45)

    Ketakutan sekejap memenuhi wanita itu kembali. Semua orang yang berdiri dekat Yesus mulai mundur dan saling melihat. Banyak dan bermacam-macam pengakuan “Bukan aku!” Tapi wanita itu diam membeku.

    Petrus yang merasa risih, berkata kepada Yesus, “Guru, orang banyak mengerumuni dan mendesak Engkau.” Ya ampun, semua orang juga ingin menyentuh-Mu!

    Tapi Yesus tetap melihat dan berkata, “Ada seorang yang menjamah Aku, sebab Aku merasa ada kuasa keluar dari diri-Ku.” (Lukas 8:46)

    Wanita ini sadar bahwa dia tertangkap basah. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia mungkin sudah mencuri kesembuhan ini.

    Tanpa perlawanan, dia berkata, “Akulah orangnya.” Dia melangkah ke hadapan Yesus dan orang ramai memberikan jalan baginya. Dengan penuh air mata, dia berlutut di hadapan-Nya. “Aku menyentuh Engkau, Tuan.” Kemudian dia menceritakan semua aibnya di hadapan orang banyak itu.

    Hati Yesus tersentuh. Dia membungkuk dan menyeka air mata wanita itu, kemudian berkata, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau, pergilah dengan selamat!”

    Ketika Yesus akhirnya sampai di rumah Yairus dan membangkitkan anak perempuannya, Yesus melarang orangtua anak itu untuk mengatakan kepada siapapun apa yang dilakukan-Nya (Lukas 8:56). Tapi wanita ini, yang sudah berusaha begitu keras agar kesembuhannya tidak ketahuan ternyata malah harus menceritakan semua aibnya itu di depan banyak orang. Mengapa?

    Karena wanita ini percaya kepada-Nya.

    Apa yang Yesus perlihatkan saat itu bukanlah kelemahan dan aib wanita itu. Apa yang Yesus tunjukkan adalah imannya. Dia ingin iman wanita ini terlihat, sehingga semua orang yang membawa aib memalukan yang selama ini dirahasiakan — yang artinya semua dari kita — dapat memliki pengharapan [di dalam Yesus].

    Yesus, Tabib yang Ajaib, memiliki kekuatan untuk menyembukan kita dari setiap dosa, kelemahan, kegagalan, penyakit dan semua kejahatan yang pernah menyerang kita. Dan Dia berjanji untuk menyembuhkan semua orang yang percaya kepada-Nya (Yohanes 3:16; Matius 21:22).

    Iman adalah apa yang berkenan bagi Tuhan (Ibrani 11:6) dan iman adalah apa yang memperlihatkan kasih karunia Tuhan dalam hidup kita (Efesus 2:8; Lukas 8:48). Apakah Anda ingin dilepaskan dari rasa malu atau aib Anda? Datang dan percayalah kepada Yesus. Datang dengan keputusasaan dan kerinduan yang dalam untuk menyentuh-Nya. Dan jika imanmu lemah, teriakanlah, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Markus 9:24) dan “tambahkanlah iman[ku]!” (Lukas 17:5).

    Tidak, mungkin tidak semua janji kasih karunia itu akan diterima sekarang (Ibrani 11:39). Faktanya, kebanyakan ditunda hingga hidup baru kita yang akan datang (Ibrani 11:35).

    Tapi, Anda yang percaya kepada-Nya akan menerima kasih karunia yang cukup (2 Korintus 12:9) untuk menolong Anda pada waktunya (Ibrani 4:16).

    Jadi percayalah kepada-Nya. Aib dan rasa malu itu tidak akan tinggal diam selamanya. Yesus sanggup mengubahnya menjadi suatu alat kasih karunia-Nya.

    Tolonglah aku yang kurang percaya ini. Walau di dalam hidup yang fana ini aku tidak dapat melihat janji-Mu, ingatkan diriku bahwa janji-Mu akan digenapi suatu hari nanti di dalam kekekalan yang lebih indah.

  • Shaun The Forgotten Sheep

    Shaun The Forgotten Sheep

    Pernahkah kamu menonton film Shaun The Sheep The Movie? Film ini bercerita tentang sekumpulan domba nakal yang sudah bosan dengan keseharian kehidupan di peternakan. Kemudian mereka berencana membuat gembala mereka tertidur sementara mereka menguncinya di sebuah karavan mobil usang yang sudah tidak terpakai lagi. Rencana berjalan dengan baik hingga akhirnya sesuatu yang tidak terduga terjadi, mobil karavan itu tiba-tiba saja meluncur dari atas bukit dan akhirnya sampai di kota dekat peternakan mereka.

    Awalnya para domba nakal itu merasa agak khawatir, tapi akhirnya mereka membiarkan hal itu dan mulai “menguasai” rumah sang gembala untuk bersantai-santai. Namun kesenangan yang mereka rasakan ternyata tidak berlangsung lama, mereka mulai merasa membutuhkan sang gembala. Mereka tidak dapat makan sendiri, mereka tidak dapat mengurusi diri sendiri, dan mereka rindu dengan sang gembala yang sudah merawat mereka sejak kecil.

    Akhirnya mereka pun memulai petualangan mereka di kota untuk mencari sang gembala. Di kota itu banyak tantangan yang menunggu, yaitu sang penangkap binatang liar yang begitu berambisi untuk menangkap domba-domba ini, penolakan dari penduduk kota, dan penolakan dari sang gembala yang ternyata kehilangan ingatannya akibat kecelakaan itu.

    Ceritanya yang mengocok perut dan mudah dimengerti sangat cocok ditonton oleh anak-anak hingga orang dewasa. Selain itu, film animasi ini juga membuat saya kembali merenungkan realita relasi antara sang Gembala Agung dan umat-Nya.

    Yesaya 53:6-8 (TB)  “Kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan kepadanya kejahatan kita sekalian. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. Sesudah penahanan dan penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya? Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan umat-Ku ia kena tulah.”

    Melihat kenakalan domba-domba itu, saya kembali merenungkan bahwa manusia pun juga sama seperti domba-domba itu. Di dalam keberdosaannya, manusia cenderung ingin menjauhi Sang Gembala, Allah.

    Menjauh dan terus menjauh sampai akhirnya kita menyadari bahwa dosa dapat mematikan diri kita sendiri. Terkadang Allah mengijinkan kita mengambil jalan yang salah agar kita tahu betapa bodoh dan lemahnya kita tanpa Tuhan. Seperti perumpamaan anak bungsu, dia akhirnya menyadari kesalahannya dalam mengambil harta warisan ayahnya yang masih hidup.

    Jikalau di film ini, para dombalah yang mencari gembalanya, maka bersyukurlah kita karena Gembala kita sendiri yang mencari kita. Bahkan Dia rela menderita dikucilkan, ditolak, dan dihukum mati demi menyelamatkan kita, para domba nakal yang melarikan diri dari-Nya.

    Jikalau di film ini, gembalanya mengalami amnesia dan melupakan para dombanya, maka bersyukurlah kita karena Gembala kita sendiri tidak pernah melupakan kita dan selalu membuka tangannya untuk menerima kita, para domba nakal yang ingin kembali kepada-Nya.

    Shaun adalah domba yang terlupakan, tetapi kita adalah domba yang begitu berharga, bahkan seharga darah dan nyawa sang Gembala. Selama apapun dan sejauh apapun kita telah pergi dari-Nya, Dia bukan sekedar menunggu, tapi Dia mengejar kita.

    “[My faith is] due to Jesus Christ himself, who pursued me relentlessly even when I was running away from him in order to go my own way. And if it were not for the gracious pursuit of the hound of heaven I would today be on the scrap-heap of wasted and discarded lives.” (Why I am a Christian, John Stott)