Sebuah Peringatan Untuk Semua Orang
Pada suatu hari, ada dua orang sahabat (sebut saja Bunga dan Mawar) yang sedang berbincang.
Kata Bunga, “Aku punya dua buah berita untukmu. Yang pertama berita baik, yang satunya lagi berita buruk. Berita baiknya, kamu dapet hadiah gratis untuk berlibur ke Eropa selama 1 tahun. Tiket transportasi, akomodasi, konsumsi, semuanya ditanggung.”
Sementara Mawar sudah begitu gembira, dia bertanya, “Lalu berita buruknya apa?”
“Berita buruknya adalah maaf, kamu terkena kanker ganas dan sudah stadium akhir. Waktu hidupmu tinggal seminggu lagi.”
Perbincangan yang cukup konyol bukan jika ini fiktif? Apa yang akan kita lakukan jika kita adalah teman dari Bunga dan Mawar yang sedang berada disana mendengarkan perbincangan ini? Apa yang kira-kira akan menjadi respon kita kepada kedua sahabat ini? Mungkin kita akan berkata, “Bunga, jika kamu adalah seorang sahabat yang baik untuk Mawar, bukankah seharusnya kamu tidak perlu menyampaikan berita buruk itu? Biarlah Mawar menikmati sisa hidupnya yang seminggu itu dengan perasaan tenang dan gembira. Toh, tidak ada hal yang bisa dia perbuat lagi mengenai kankernya.” atau mungkin kita akan memberikan respon demikian, “Bunga, kamu adalah sahabat yang sangat kejam. Seharusnya kamu tidak perlu menyampaikan berita baik itu dan langsung saja ke berita buruknya yang lebih penting. Mungkin Mawar dapat menggunakan sisa waktu hidup yang seminggu itu untuk melakukan hal-hal yang tidak akan dia sesali. Toh, berita baik yang kamu sampaikan tidak ada gunanya, malah memberikan harapan yang tidak akan dia capai dan sangat dia sayangkan.”
Dari kedua solusi ini, rasanya yang mana pun sama-sama tidak baik. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa Mawar akan menemui ajalnya. Namun, seandainya Yesus yang menyikapi perbincangan ini, apa yang kira-kira akan dikatakan Yesus?
Mari membaca Lukas 14:25-35.
Pada saat itu, Yesus diikuti oleh orang banyak. Mungkin kita dapat membayangkan seorang artis yang sedang berjalan-jalan ke pemukiman penduduk. Orang banyak pasti akan berkerumun di sekeliling artis ini untuk melihat dia secara langsung, bukan di layar kaca seperti biasa, ada juga yang ingin memuaskan keinginan eksistensi-nya dengan berusaha berfoto bersama, dan lain sebagainya. Satu hal yang pasti adalah seseorang yang terkenal dan sedang berada di depan umum pasti akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga image dan tidak memalukan dirinya sendiri. Istilahnya sekarang adalah pencitraan. Namun, satu hal yang sangat menarik dari perikop Firman Tuhan yang kita baca tadi, Yesus justru sebaliknya. Dia tidak berusaha menjaga image, menyampaikan sesuatu untuk mempertahankan orang-orang yang mengikuti Dia atau menambah jumlahnya.
Yesus mengatakan hal-hal yang sulit dimengerti dan tidak enak didengar. Tidak hanya itu, Yesus menyuruh mereka memikirkan ulang keputusan mereka untuk mengikuti Yesus. Dia tidak berkata, “Wah banyak sekali orang-orang yang mengikutiku, sekarang coba masing-masing membawa satu orang entah keluarga atau tetangga-tetangga kalian. Katakan kepada mereka bahwa kita akan mendengar khotbah yang lucu dan menghibur. Kemudian kita juga akan melihat berbagai pertunjukan drama, tarian, dan sulap melipatgandakan lima roti dan dua ikan untuk makanan kita semua”. Jika Yesus berkata demikian, pasti semakin membludak orang-orang yang mengikuti dan mendengar Yesus berkhotbah. Namun, perhatikan apa yang Yesus benar-benar katakan, “Jika kalian serius untuk mengikutiku, kalian harus siap meninggalkan rumah kalian yang nyaman, keluarga yang kalian kasihi, bahkan siap untuk menderita dan mati. Kalian yang tidak siap melakukan semua hal itu lebih baik berhenti mengikutiku. Jadi, sekarang silahkan kembali ke rumah masing-masing dan pikirkan ulang apakah kalian siap untuk mengikutiku.”
Peringatan yang Yesus katakan ini ditujukan kepada semua orang, tanpa pandang bulu. Bagi mereka yang masih sekedar penasaran tentang siapa Yesus lalu mengikuti Dia untuk mendengar khotbah-Nya atau yang mungkin sudah cukup lama mengikuti-Nya. Yesus tetap straight to the point, tidak ada embel-embel lain dalam perkataan-Nya yang keras dan membuat semua orang yang mendengar-Nya pasti merasa takut. Tuhan Yesus sebenarnya dapat berkata bahwa jika mereka mengikuti-Nya, mereka dapat mengambil bagian dalam Kerajaan Sorga dan disana tidak ada lagi penderitaan. Namun, mengapa Yesus menekankan hal-hal yang buruk terlebih dahulu?
Aku Satu-Satunya dan Tidak Boleh Ada yang Lain
Kata benci kepada bapa, ibu, dan saudara-saudara dalam ayat 26 adalah perkataan yang sangat sulit dimengerti, offensive, dan sangat radikal kedengarannya. Bahkan ayat ini adalah ayat yang seringkali dipertanyakan oleh orangtua saya secara pribadi. Ayat ini memang tidak dapat diartikan secara literal, akan tetapi kiasan yang hiperbola. Kata membenci yang dipakai Yesus artinya adalah kurang mengasihi. Kurang lebih kalimat ini dapat diartikan ulang demikian, “Jikalau seseorang datang kepada-Ku, dan Dia lebih mengasihi ayahnya, ibunya, saudara-saudaranya, teman-temannya, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”
Yesus menarik garis yang jelas akan hubungan antara Dia dengan para pengikutnya. Dia tidak menginginkan hubungan yang tanpa kejelasan dan status. Dia menginginkan hubungan yang jelas, ada komitmen, dan kasih di dalam-Nya, bukan hubungan yang buta, naif, dan ada maunya saja. Yesus menegaskan bahwa Dia tidak mau ada yang lain dalam hidup kita. Dia tidak mau menjadi nomor dua bahkan nomor satu. Dia tidak mau memiliki saingan entah itu sebagai nomor dua, tiga, dan seterusnya dalam hidup kita. DIA hanya ingin menjadi satu-satunya dalam hidup kita. Yesus adalah pencemburu dan itu artinya dia memang mengasihi kita. Cemburu adalah tanda cinta. Tentunya kita tidak mau pacar kita berkata kepada kita demikian, “Sayang, ijinkan aku punya pacar lagi. Kamu tenang saja, karena aku tetap akan lebih sayang sama kamu. Aku akan tetap berkencan denganmu di hari Senin sampai Sabtu, tapi cukup hari Minggu saja aku akan berkencan dengan pacar baruku.” (Kyle Idleman, Not a Fan)
Bukankah keinginan Yesus sangat masuk akal? Tentunya kita tidak ingin berpacaran dengan orang yang mempunyai pacar lain sekalipun dia lebih menyayangi kita. Sayangnya bagi kita yang hidup di dunia ini dan zaman ini, semua hal itu menjadi tidak masuk akal. Ada orang-orang yang tidak mau terikat hubungan dalam komitmen, ada yang ingin menjadi istri kedua, ada yang tidak apa-apa menjadi selingkuhan, dan lain sebagainya. Semua hal itu menjadi sesuatu yang wajar di zaman ini. Begitu juga dengan nilai-nilai kesuksesan zaman ini yang pada umumnya adalah bekerja di tempat yang bergengsi dan bergaji tinggi, menikah sebelum usia 30, sudah punya rumah dan mobil sebelum menikah. Asal ada semuanya itu, kita baru dianggap orang. Sedangkan kita lupa bahwa kita dianggap orang seharusnya ketika kita menjadi segambar dan serupa dengan Allah, hidup sesuai dan seturut kehendak-Nya.
Harga yang Harus Dibayar
Saya pun harus mengakui dengan jujur bahwa tuntutan Yesus sangat tidak masuk akal. Terlalu susah dan sulit untuk memikul salib, menyangkal diri dan orang-orang di sekitar yang kita kasihi. Kata-kata ‘memikul salib’ dan ‘menyangkal diri’ ini memang sering sekali kita dengar sehingga menjadi terasa begitu klise dan tanpa makna. Namun, ketika Yesus mengatakan kata-kata ini, pastilah semua orang yang mendengarnya disana terkejut dan semakin bingung. Zaman itu salib adalah hukuman mati legal untuk para penjahat yang paling hina. Jika kita mengibaratkan dengan kondisi zaman sekarang, Yesus mungkin akan berkata, “Siapa yang tidak mau kepalanya ditodong dengan pistol, tidak akan bisa menjadi pengikutku.” Siapa yang mau hidup dengan kepala yang siap ditembak kapan saja? Namun, itulah yang akan kita hadapi jika kita ingin menjadi murid Yesus yang sejati. Pandangan Yesus menurut Alkitab memang tidak sejalan dengan apa yang dunia ini anggap masuk akal. Dosa menjadi masuk akal karena kita adalah manusia berdosa.
Sebagai seorang Kristen, kita tahu benar bahwa hal-hal yang kita anggap lebih masuk akal dan ingin kita lakukan adalah kesalahan. Namun, ketika kita berjuang untuk tidak menuruti keinginan kita sendiri, maka itulah artinya membayar harga. Paulus sangat mengerti akan hal ini, “Sebab kita tahu, bahwa hukum taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa.” (Roma 7:14). Paulus juga dapat merasakan bahwa kedagingan kita lebih kental daripada keinginan mengikuti kehendak Tuhan. Akan tetapi, masalahnya adalah hal ini bertentangan dengan keinginan Yesus. Tuntutannya begitu jelas untuk melawan keinginan kita sendiri dan mengikuti keinginan Yesus.
Siapkah Kamu Mengikut Yesus?
Yesus mengerti bahwa tuntutan-Nya tidak mudah bagi kita, manusia berdosa. Di ayat 28-33, Yesus bahkan berkata jika tidak ingin menanggung malu dan gagal pasti seorang arsitek akan menghitung-hitung terlebih dahulu agar bangunan yang dia rancang selesai tanpa kekurangan bahan atau rubuh. Contoh lainnya, jika seorang raja tidak mau kalah berperang, pasti dia akan menghitung kekuatan dan mengatur strategi militer. Melalui kedua ilustrasi ini, sesungguhnya Yesus ingin berkata, “Pertimbangkan lah lagi harga tidak masuk akal yang harus kamu bayar itu jika mengikut Aku. Apakah kamu siap membayarnya? Jangan mempermalukan dirimu sendiri dengan menyerah di tengah perjalanan jika kamu tidak sanggup memenuhi tuntutan-Ku.”
Sikap Yesus yang tegas dan tanpa pandang bulu menandakan bahwa dia tidak membutuhkan penggemar yang mengikuti Yesus secara fisik, namun tidak benar-benar mengikuti-Nya sebagai seorang murid. Maka, dengan berani akan saya katakan bahwa kita tidak perlu pergi beribadah ke persekutuan sekolah, kampus, gereja mengikuti Kelompok Kecil, komsel, atau KTB, begitu giat melayani, berdoa, bahkan berbicara tentang Yesus ataupun Kekristenan kepada orang-orang di sekitar kita, jikalau semua hal itu kita lakukan hanya karena mengikuti orang-orang di sekitar kita, paksaan keluarga, atau sekedar untuk eksistensi diri. Yesus tidak menginginkan orang-orang yang demikian. Yesus menginginkan pengikut yang mengerti apa yang Dia kehendaki dan dapat membuktikan kasihnya kepada Yesus. Jika tidak, hidup kita sebagai seseorang yang mengaku Kristen sebenarnya percuma saja. Seperti garam yang tidak ada rasanya. Tidak berguna sama sekali. Garam yang tidak ada rasanya tidak berbeda dari debu. Orang yang mengaku diri Kristen namun tidak benar-benar menghidupi keinginan Yesus, tidak ada gunanya dan hanya menjadi batu sandungan yang menghambat pertumbuhan rohani orang lain.
Dia Memampukan Kita
Ada sebuah kisah tentang seorang pemuda bernama Tommy dan keponakannya yang baru berusia lima tahun, Mia. Mia memiliki sebuah boneka yang selalu dia bawa kemana pun. Boneka itu tidak pernah lepas dari tangannya. Mia sangat menyayangi boneka ini walaupun boneka ini sudah begitu kotor dan bau karena Mia tidak pernah mengijinkan boneka ini diambil untuk dicuci oleh ibunya. Suatu ketika, Tommy yang sudah lama tidak bertemu dengan Mia, datang untuk mengunjunginya. Mia begitu senang karena paman kesayangannya datang. Saking senangnya, ia minta digendong oleh Tommy. Tentu saja sebagai paman yang baik, Tommy tidak tega menolak permintaan Mia walaupun artinya boneka kotor dan bau itu harus menempel di tubuh Tommy ketika ia menggendong Mia. Tommy begitu menyayangi Mia, sekalipun ia tidak menyukai boneka Mia.
Ilustrasi ini menggambarkan Yesus yang merelakan diri-Nya untuk menanggung dosa kita karena Dia sangat mengasihi kita, sekalipun Dia membenci dosa kita. Untuk itu Dia rela membayar harga, meninggalkan tahta-Nya dan menjadi manusia di tempat yang hina, menderita dianiaya dan dicemooh sepanjang hidupnya, dan mati mengalami maut yang seharusnya kita tanggung akibat dosa kita. Dia telah membayar harga terlebih dahulu agar kita dapat menjadi murid-Nya. Kenyataan ini seharusnya menggugah jiwa kita untuk mau membayar harga menjadi murid karena Dia sudah terlebih dahulu memberikan kita contoh seperti apa itu membayar harga.
Namun, jika harganya saja tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kita dapat membayarnya? Bagaimana kita bisa menjadi murid Yesus? Seperti kata murid-murid yang gempar mendengar tuntutan Yesus di Matius 19:25, kata mereka, “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?”
Matius 19:26 “Yesus memandang mereka dan berkata: “Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.”
Dilanjutkan ke Jalan Kemuridan
(Khotbah Persekutuan Jumat PO Syahdan Universitas Bina Nusantara 11 Mei 2018)
Leave a Reply