Berkhotbah dengan tema Kekudusan seringkali menjadi pergumulan tersendiri bagi pembicara. Hal ini dikarenakan kita tahu apa yang orang lain tidak tahu, bagaimana hidup kita ketika tidak seorang pun melihat kita, kita tahu segala kejijikan dosa yang kita perbuat sendiri entah itu dalam pikiran maupun perbuatan. Kita mengerti, bahwa diri kita sendiri sebenarnya tidak pantas berbicara tentang kekudusan. Memang sebenarnya kekudusan yang sempurna tidak akan pernah bisa dicapai oleh manusia berdosa.
Saya pernah berdebat dengan seorang teman Kristen pada waktu SMA. Dia berkata, “Kamu harus bertobat dari dosa-dosamu untuk diselamatkan. Kamu harus sempurna sama seperti Bapa di Sorga (Mat. 5:48), itu lah syarat keselamatan.” Pada saat itu, dengan pemahaman saya yang masih sangat terbatas, saya hanya bisa bertanya kepadanya, “Apakah dirimu sudah sempurna? Apakah kamu bisa menunjukkan ada seseorang di dunia ini yang sudah sempurna seperti Bapa di Sorga? Bagaimana mungkin keselamatan hanya bisa diperoleh dengan menjadi manusia sempurna. It’s non sense!” Temanku diam dan tidak menjawab. Kemudian saya pergi meninggalkannya sambil merenungkan apa maksud sebenarnya dari ayat yang dia kutip di Mat. 5:48
Sebenarnya tidak hanya Mat. 5:48 yang membicarakan tuntutan yang begitu sulit bagi orang Kristen. Kekristenan sangat lekat dengan panggilan untuk hidup kudus. Seorang Kristen dituntut untuk hidup berbeda dari dunia ini dengan mengambil “jalan kekudusan”. Tentunya ini adalah suatu tuntutan yang sangat sulit. Sebagai manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa, kita akan sangat sulit untuk berbuat yang tidak berdosa. Seorang anak kecil saja bisa melakukan dosa tanpa perlu diajari. Mereka bisa berbohong tanpa diajari oleh siapa pun. Dan, dalam hidup yang demikian lah kita dituntut oleh Allah untuk melakukan yang bertentangan dengan natur kita.
Namun, sebenarnya apa itu kekudusan? Mengapa kita dituntut untuk menjadi kudus? Bagaimana kita bisa memenuhi panggilan Allah menjadi orang yang kudus? Kita akan sama-sama belajar dari 1 Petrus 1:13-19.
Surat 1 Petrus ini ditulis oleh rasul Petrus yang pernah menyangkal Yesus sebanyak tiga kali. Surat ini ditujukan kepada orang-orang Kristen diaspora atau yang tersebar di berbagai kota untuk menguatkan iman mereka dalam menghadapi penderitaan yang harus dialami sebagai seorang Kristen pada zaman itu. Petrus banyak mengingatkan mereka tentang kasih karunia Yesus yang sudah menyelamatkan orang percaya. Oleh karena mereka sudah diselamatkan, Tuhan memanggil mereka untuk menjalani hidup yang Dia inginkan. Sehingga, hidup kudus sebenarnya bukan suatu cara untuk mendapatkan keselamatan. Melainkan sebuah panggilan yang diberikan kepada orang-orang yang sudah diselamatkan. Kekudusan seharusnya adalah identitas orang percaya yang sudah diselamatkan.
Bagaimana?
Kita tahu betapa sulitnya untuk hidup kudus, ada kalanya kita berhasil, namun ada kalanya kita gagal. Siklus tersebut terus berulang sepanjang hidup kita di dunia yang berdosa ini. Lalu bagaimana cara kita mempertahankan hidup yang kudus?
Pertama-tama, hidup kudus dimulai dari pikiran yang kudus. Dalam Alkitab versi KJV, ayat 13 diterjemahkan “Wherefore gird up the loins of your mind, be sober, and hope to the end for the grace that is to be brought unto you at the revelation of Jesus Christ;”
Kalimat “… siapkanlah akal budimu…” ternyata memiliki arti lain yang lebih dalam yaitu, “… kencangkanlah ikat pinggang pikiranmu…”
Apa maksudnya mengencangkan ikat pinggang pikiran? Pada zaman Petrus menulis surat ini, pakaian pada umumnya para laki-laki adalah sebuah terusan yang tentunya menyulitkan gerak mereka ketika ingin berlari atau melakukan banyak gerakan fisik yang memerlukan kecepatan. Sehingga apabila terjadi sesuatu yang menyebabkan mereka harus berlari atau mungkin berkelahi, mereka akan mengangkat bagian bawah pakaian mereka dan mengikatujung-ujungnya di pinggang. Sehingga mereka dapat lebih leluasa berlari dan berkelahi. Analogi ini dipakai Petrus untuk menggambarkan bahwa mengendalikan pikiran bukanlah pekerjaan yang santai, namun pekerjaan keras yang membutuhkan persiapan. Petrus tahu betul betapa pentingnya mengendalikan pikiran karena apa yang keluar dari pikiran akan menentukan perbuatan kita. Jika yang masuk kotor, maka kotor pula lah yang akan keluar. Hidup yang kudus dimulai dari pikiran yang dikendalikan dengan penuh waspada atau kesadaran.
Kata “sadar” yang dipakai adalah “sober“, sober biasanya digunakan pada orang mabuk yang baru tersadar secara penuh dari pengaruh alkohol. Sebab, pengaruh alkohol yang memabukkan biasanya membuat seseorang tidak lagi bisa melakukan hal-hal di bawah standar moral yang dia yakini. Pikiran kita harus ada di bawah standar moral yang tepat. Namun, bagaimana manusia berdosa bisa mengetahui standar kebenaran? Kita hidup dalam dunia yang relatif. Apa yang kau anggap benar, belum tentu bagi orang lain. Peran Roh Kudus lah yang menyatakan kepada kita standar kebenaran Allah. Pikiran kita harus dikuasai oleh Roh Kudus. Kita dapat sepenuhnya menguasai pikiran kita ketika Roh Kudus yang menguasai kita.
Sulit? Memang! Oleh karena itulah, Petrus menyemangati kita dalam pengharapan oleh kasih karunia Kristus. Perjuangan kita tidak akan sia-sia karena kita tahu pada akhirnya kita akan menjadi sempurna saat Kristus datang kedua kali.
Ketika kita mengetahui akhir dari sebuah cerita, tidak peduli seberapa besar konflik yang dialami oleh sang protagonist, kita pasti akan percaya kalau dia bisa melewati semua hal itu. Kita memiliki pengharapan yang demikian juga sekalipun hidup ini terasa sulit dan penuh rintangan, karena kita mengetahui akhir dari cerita Alkitab yaitu kedatangan Yesus kedua kalinya yang membangkitkan semua orang percaya dan menghukum kuasa si jahat untuk selama-lamanya.
Kedua, menjadi kudus berarti menjadi taat di dalam perbuatan. Setelah mengendalikan pikiran, kita dipanggil untuk meresponi perintah Roh Kudus dalam pikiran kita. Bahasa yang dipakai dalam ayat 14 adalah “Like obedient shildren, do not comply with an evil urges you used to follow in your ignorance.” Seorang anak yang dididik oleh orangtuanya pasti akan menjadi serupa dengan orangtuanya. Pepatah berkata buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ketika kita ingin menjadi serupa dengan Kristus, maka kita dituntut untuk menjalani hidup yang sama seperti Dia. Artinya diperlukan ketaatan terhadap kehendak-Nya dan berbalik dari kehidupan yang lama ketika kita masih belum mengenal-Nya. Ketika Bapa kita menjalani hidup yang kudus, maka sebagai anak-anak-Nya pun kita harus meniru hidup-Nya.
Bapa kita adalah Allah yang kudus oleh karena itulah Dia menginginkan kita juga memiliki hidup yang kudus (15). Ada sebuah cerita tentang seseorang yang baru saja mendapati ada seekor kecoak di dalam rumahnya. Kemudian dia mengambil sandal dan memukul kecoak itu hingga hancur di lantai rumahnya. Orang ini pun membersihkan kecoak tersebut dan juga lantai tempat kecoak itu hancur. Tak lama, dia mengambil sebuah kue dari dapur kemudian makan di sekita tempat kecoak tersebut dipukul. Sayangnya, kue tersebut terjatuh dari tangannya dan menggelinding tepat ke tempat kecoak tersebut hancur. Jikalau kamu menjadi orang tersebut, apakah kamu akan mengambil kue itu dan memakannya lagi? Allah tidak dapat dekat dengan dosa karena Dia adalah Allah yang kudus. Allah punya natur kudus, sedangkan natur manusia adalah berdosa. Oleh karena itulah, menjadi kudus tidak dapat hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri. Kita butuh Roh Kudus yang memampukan kita.
Bapa kita juga adalah hakim atas segala sesuatu, Dia bukan hanya sekedar Allah yang kasih melainkan juga adil. Dia menghakimi semua orang menurut perbuatannya. Kenyataan ini seharusnya membuat kita takut (17). Bukan sembarang takut karena nyawa kita terancam, tapi rasa takut yang positif. Rasa takut karena menyadari ketidakberdayaan kita di tengah dunia yang sementara dan berdosa ini, juga hadapan Allah yang mahakudus. Orang percaya yang berjuang untuk kekudusan akan melihat bahwa dunia ini hanyalah sementara dan bukan segala-galanya, rumah kita yang sesungguhnya ada di dalam kekekalan yang kudus. Sehingga dalam mengejar kekudusan, orang percaya dapat melihat jauh ke depan, yaitu pengharapan yang kekal itu.
Dalam pengharapan yang kekal itulah, kekudusan dinyatakan secara sempurna kepada manusia yang tidak berdaya. Keselamatan itu bukan hasil usaha kita melainkan penyataan Allah. Allah mau mengambil kue yang tergeletak di lantai itu dan memakannya walaupun itu menjijikkan bagi-Nya, Dia mau merangkul kita yang berdosa walaupun Dia jijik dengan dosa. Dengan mengutus anak-Nya yaitu Yesus Kristus agar merendahkan dirinya sebagai manusia dan mati bagi manusia-manusia berdosa yang bahkan tidak tahu bahwa dirinya sedang ditolong. Hidup kita telah ditebus bukan dengan emas atau perak (18), tapi harganya adalah nyawa anak-Nya sendiri (19).
Kita memang mengalami berbagai kesulitan, tantangan, dan rintangan sebagai orang Kristen. Kita tergoda untuk melakukan dosa, tapi di saat yang sama ada perasaan bersalah yang menyuruh kita berbalik kepada Alkitab. Ada kalanya kita mungkin berhasil, tapi ada kalanya juga gagal. Pertanyaannya apakah kita mau bangkit dari kegagalan? Apakah kita mau merelakan penebusan Yesus dengan hidup sesuka hati kita? Apakah kita mau mengontrol pikiran dan perbuatan kita untuk menjadi serupa dengan Yesus? Dan, apakah kita mau melihat kepada pengharapan bahwa Yesus akan datang kembali kedua kalinya dan menolong kita menjadi kudus dan sempurna.
Leave a Reply