Baca Roma 16:25-27
Paulus yang tidak yakin apakah dia akan bisa sampai dengan selamat di Roma setelah melewati Yerusalem–tempat dimana kemungkinan dia akan dibunuh–pasti menyadari bahwa mungkin ini adalah tulisan terakhirnya yang bisa ditulis. Tulisan terakhir pastilah merupakan sesuatu yang penting, karena berarti itu adalah kesempatan terakhir Paulus untuk memberitakan Injil. Doksologi yang menjadi penutup surat terakhirnya–jika ia dibunuh di Yerusalem—tentunya bukanlah ayat-ayat yang tidak penting. Bagi Paulus, setiap kata berarti, apalagi dalam surat yang kemungkinan menjadi surat terakhirnya ini.
Doksologi berasal dari kata “doxa” yang berarti kemuliaan dan “logos” yang berarti firman atau kata. Doksologi adalah kata-kata yang memuliakan Allah atau suatu ungkapan penyembahan dan pujian kepada Allah atas setiap perbuatan-Nya. Kita dapat menemukan Doksologi juga di dalam Mazmur 117 dan Yudas 1:24-25. Doksologi membuat kita mengingat perbuatan Allah dalam hidup kita dan kemudian kita mengungkapkan ekspresi pujian kita kepada-Nya.
Lalu, mengapa Paulus memuji Allah di ayat ini? Apa alasannya?
Dikuatkan oleh Kebenaran Injil
Alasannya terutama terletak pada kebaikan Allah yang terbukti melalui Injil. Kemudian Injil ini yang menguatkan manusia–memberi pengharapan dan iman bagi setiap orang yang mendengarnya–khususnya jemaat di Roma lewat surat yang ditulis oleh Paulus ini (Rom.1:11-12).
Injil Allah tidak pernah berubah, ini adalah “perintah Allah yang abadi”. Injil tidak muncul tiba-tiba dalam benak Allah. Sejak awal, Allah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kedatangan Kristus sebagai manusia. Allah bekerja di dalam sejarah melalui nabi-nabi. Injil itu otentik dan merupakan rencana otentik dari Allah yang juga otentik. Sekalipun dulu dianggap misteri, namun sekarang Injil itu dapat dimengerti. Tidak semua orang mendapat hak yang sama untuk dapat mengerti misteri tersebut. Hanya orang-orang terpilih berdasarkan kemurahan hati Allah yang diberikan anugerah untuk mengerti hal tersebut. Di dalam surat Roma, kita dapat menemukan banyak topik mengenai anugerah Allah bagi umat-Nya dan pembebasan bagi umat manusia dari dosa. Kerusakan total (total depravity) yang dialami manusia bahkan tidak dapat membuat manusia memilih untuk berpaling mendengarkan atau membaca Injil. Tetapi, kita dapat, bahkan kita dapat mengerti Injil itu. Paulus juga mengalaminya. Ia yang semula adalah penindas umat Allah, tapi diizinkan mengalami penyataan Ilahi sehingga dapat mengerti Injil yang ia sebut “my gospel” (Gal.1:12). Betapa besarnya anugerah Allah bagi umat yang dikasihi-Nya. Injil tentang kedatangan Juruselamat telah menguatkan umat–setiap orang percaya dari abad ke abad. Injil itu memberikan pengharapan bagi semua bangsa. Sekarang, bagi Paulus yang bebannya begitu besar untuk jemaat non Yahudi, begitu mensyukuri kemurahan hati Allah bagi semua bangsa yang ternyata dari misteri itu sudah tersingkap dengan jelas.
Kekuatan dari Allah melalui Injil itulah yang membimbing kita kepada ketaatan iman. Sebagai manusia, seringkali kita melihat kekuatan kita dalam hal-hal di luar Allah. Seringkali saya pribadi suka berpikir, seandainya saya punya uang banyak bak konglomerat sekaliber Bill Gates. Pasti rasanya enak sekali karena seumur hidup sudah aman dan tinggal menjalani sisa hidup dengan senang-senang. Akan tetapi pikiran tersebut untungnya selalu dipatahkan ketika saya mengingat bahwa kekayaan itu bisa dan akan hilang di dalam kekekalan. Kekuatan kita tidak dapat didasarkan pada sesuatu yang fana, hanya Kristus lah yang kekal. Berita tentang Kristus–Injil–adalah kekuatan kita.
“… mengalami kasih Allah dalam Kristus membuat seseorang tidak akan menemukan kepuasan pada berkat-berkat terhebat dari dunia ini. Kasih luar biasa itu membuat kita tidak akan berhenti berjalan, sampai kita ada bersama Yesus di Sorga nanti.” (Mendapatkan-Mu Dalam Kehilanganku, Pdt. Yohan Candawasa)
Paulus yang begitu militan dalam pelayanannya, menantang maut, hidup melarat dan ditindas, sangat mengerti akan hal tersebut. Bagi Paulus, Injil adalah kekuatan yang begitu berharga yang diberikan oleh Allah. Hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya memuliakan Allah.
Jesus, What a Friend for Sinners!
Jesus! what a Friend for sinners!
Jesus! Lover of my soul;
Friends may fail me, foes assail me,
He, my Savior, makes me whole.
Jesus! what a strength in weakness!
Let me hide myself in Him.
Tempted, tried, and sometimes failing,
He, my strength, my victory wins.
Jesus! what a help in sorrow!
While the billows over me roll,
Even when my heart is breaking,
He, my comfort, helps my soul.
Jesus! what a guide and keeper!
While the tempest still is high,
Storms about me, night overtakes me,
He, my pilot, hears my cry.
Refrain
Hallelujah! what a Savior!
Hallelujah! what a friend!
Saving, helping, keeping, loving,
He is with me to the end.
Lagu Jesus What a Friend for Sinners menyatakan dengan jelas bahwa Yesus adalah penyelamat di tengah hukuman, kekuatan di tengah kelemahan, penolong di tengah kesukaran, dan penuntun di tengah kesesatan. Lagu ini ditulis oleh J. Wilbur Chapman (1859-1918). Sejak kecil, kedua orangtuanya yang merupakan orang percaya sudah mempersiapkan Chapman untuk menjadi hamba Tuhan. Demikianlah Chapman dididik dalam iman Kristen dan bertumbuh menjadi seseorang yang melayani Tuhan seumur hidupnya di gereja Presbyterian. Namun, kehidupannya yang saleh ternyata tidak menjamin malapetaka terhindar darinya. Hidupnya dirundung dengan kehilangan-kehilangan yang menyakitkan. Ia menikah dengan Irene Staddon pada tahun 1882. Namun, istrinya meninggal sebulan setelah melahirkan anak pertama mereka pada tahun 1886. Dua tahun kemudian, Chapman menikah lagi dengan Agnes Pruyn Stain. Mereka memiliki 4 orang anak, tetapi salah satu anaknya meninggal ketika masih bayi. Kemudian Agnes meninggal pada tahun 1907.
Semua kemalangan itu pasti membuatnya lemah, tetapi Allah terus memberinya kekuatan untuk terus melayani Tuhan. Ia dipakai dengan begitu luar biasa, memimpin beberapa gereja, berkhotbah, menginjili hingga ribuan orang bertobat. Pada tahun 1910, akhirnya ia mengikat janji pernikahan untuk terakhir kalinya bersama wanita yang menemani sepanjang sisa hidupnya. Di tahun yang sama, ia menulis lagu yang menjadi ungkapan hatinya bagi Tuhan dalam melewati pergumulan hidupnya. Berharap pada sahabat ataupun keluarga dapat mengecewakan karena mereka tidak abadi. Tetapi Kristus tidak pernah mengecewakannya, justru malah kepuasan sejati dapat dirasakan dari-Nya. Itulah yang menjadi kekuatan bagi Chapman untuk memuji dan menyembah Allah lewat lagu gubahannya.
Doxologi
Apakah Injil sudah menjadi kekuatan bagi kita? Seringkali kita mengaku bahwa memang Injil adalah keselamatan bagi kita, tapi nyatanya Injil tidak kita anggap kekuatan bagi kita. Kekuatan bagi diri kita masih disandarkan pada hal-hal lain. Kitab Roma dibuka oleh pemaparan tentang bagaimana manusia tidak berdaya, hopeless, dan diperbudak oleh dosa. Tetapi kitab Roma ditutup oleh pengharapan bahwa Injil menguatkan kita, manusia berdosa. Ketika kita dapat menghayati arti Injil, maka kita akan sampai pada suatu titik dimana kita dapat berkata, “Aku tidak butuh yang lain, Injil saja sudah cukup bagiku untuk menghadapi kehidupan ini.”
Mari belajar menghayati arti Injil itu dan pujilah Allah atas rahmat dan kasih-Nya yang besar bagi kita. Doxology!
Praise God, from Whom all blessings flow;
Praise Him, all creatures here below;
Praise Him above, ye heav’nly host;
Praise Father, Son, and Holy Ghost.
(“Doxology” by Thomas Ken, 1674)
Leave a Reply