Ini merupakan sebuah pengalaman rohaniku bersama Tuhan. Suatu pengalaman yang tidak akan kulupakan đ
Minggu-minggu ini merupakan hari-hari yang sangat sulit untuk aku lewati. Setiap hari bangun dengan kekhawatiran dan kepanikkan. Bagaimana tidak, uang bulanan ku untuk hidup di kost sudah habis untuk keperluan pelayanan di kampus bulan ini yang sangat banyak dan tabungan ku sudah tidak bersisa, aku harus bertahan hidup dengan uang yang tidak seberapa selama sisa bulan ini.
Matius 6:26 “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu?”
Ayat di atas merupakan salah satu kekuatan yang diberikan-Nya bagiku. Tanggal 20 September kemarin adalah hari dimana Persekutuan Mahasiswa Kristen Bina Nusantara (PO BINUS) mengadaan ibadah rutin. Di dalam ibadah tersebut dibahas mengenai kekhawatiran, 1 ilustrasi yang sangat aku nikmati adalah terkadang kita seperti seorang anak kecil yang berkata kepada ibunya “Mama, aku khawatir kalau aku hari ini tidak dapat makan.” atau “Aku takut ma, seandainya besok aku tidak dapat pergi ke sekolah karena tidak ada yang mengantar aku pergi atau aku tidak punya seragam untuk dipakai ke sekolah.”. Bukankah sudah jelas ibunya pasti akan menyediakan semua kebutuhan anaknya? Sehingga apa yang di khawatirkan oleh anaknya sebenarnya sia-sia saja. Allah pun juga tidak mungkin membiarkan kita sendiri, burung-burung saja Allah pelihara, terlebih kita yang telah diselamatkan dengan tebusan nyawa-Nya.
Matius 7:7 “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.”
Akhirnya hari-hari terlewati dengan sukacita, namun ternyata lagi-lagi aku jatuh dalam kekhawatiran. Ketika uang semakin lama semakin menipis, sehingga akhirnya sekali lagi aku harus bangun pagi dengan perasaan khawatir lagi. Ketika bangun, yang ada di benakku adalah, apakah hari ini aku masih bisa makan? Namun lagi-lagi Ia memberikan aku kekuatan, dalam ibadah minggu di gereja aku kembali diingatkan untuk tidak khawatir. Orang tua akan selalu mengharapkan yang terbaik untuk anaknya, apalagi Allah bukan? Dia pun tidak akan memberikan “batu” kepada yang minta “roti” atau memberikan “ular” pada yang meminta “ikan”. Dia yang begitu mengasihi kita sampai rela menderita atas penebusan dosa kita, masakan Dia tidak peduli pada kita mengenai hal-hal seperti ini? YWalaupun ayat di atas sering dipakai secara sembarangan oleh penganut teologi kemakmuran, tapi dalam commentary-nya, Calvin, salah seorang Bapak Reformasi pun mengatakan bahwa kita hanya perlu meminta saja.
Filipi 4:6
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”
Aku sangat menikmati setiap alur ibadah pada malam itu. Lalu beberapa hari aku lewati dengan damai sejahtera, tapi dengan kondisi keuangan yang semakin menipis lagi, aku akhirnya sekali lagi jatuh dalam kekhawatiran. Kali ini aku bangun pagi dari tidurku dengan penuh beban pikiran sambil bertanya apakah hari ini dan besok aku bisa makan? Selama beberapa hari aku hampir tidak makan sama sekali untuk menghemat, hingga akhirnya aku merenungkan menjadi seorang pengikut Kristus tidaklah mudah, melayani bukanlah pekerjaan yang digaji, apalagi pelayanan mahasiswa di kampus. Tapi, aku bersyukur, walaupun sudah 3 kali aku jatuh dalam kekhawatiran, Allah tidak pernah lelah untuk memberiku kekuatan.
Ibrani 12:2 “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.”
C.S. Lewis pernah mengatakan, “To love at all is to be vulnerable”. Artinya mencintai berarti mengijinkan dirimu untuk merasakan sakit dan kesedihan. Aku pernah mengalaminya dan sangat setuju ketika akhirnya ada beberapa orang yang menutup diri dan tidak mau mencintai lagi karena trauma akan rasa sakit dan kesedihan yang mungkin bisa terulang. Namun apakah dengan menutup diri dapat memperbaiki hati dan jiwa kita yang pernah hancur?
Seorang ibu ketika sedang mengandung, mengalami rasa sakit, tidak nyaman, mual, dan berbagai macam hal yang tidak mengenakkan. Tapi mereka selalu sabar dan melakukannya dengan tetap bersuka cita, karena mereka tahu pada akhirnya mereka dapat bertemu dengan buah hati yang sangat mereka tunggu-tunggu dan kasihi. Allah pun mengalaminya ketika Ia harus menanggung penderitaan, penyiksaan terkeji di sepanjang zaman bahkan kematian, tapi Ia tahu bahwa ketika semuanya telah usai, kita semua, kau dan aku akan diselamatkan dan dapat menikmati perjumpaan dengan-Nya di kerajaan Surga nanti.
Ketika yang kita lalui pun bukan jalan yang mulus melainkan penuh batu demi mengikuti Kristus, mengapa kita tidak mencoba merenungkan kembali akan kasih-Nya? Ia pernah melalui jalan tersebut lebih dulu daripada kita dan Ia melaluinya karena tahu di ujung jalan tersebut ada perjumpaan yang sangat Ia rindukan dengan setiap kita. Bukankah kita pun juga seharusnya bersukacita karena di ujung jalan berbatu ini, kita juga dapat bertemu dengan-Nya?
Kasih kepada Kristus menuntut kita untuk berani merasa sakit karena memberikan hidup kita untuk melakukan apa yang tidak kita inginkan. Mengikuti Kristus memang penuh pengorbanan, harta, waktu, tenaga, bahkan mungkin ditolak oleh orang-orang yang kita kasihi. Namun semuanya itu tidak sebanding ketika kita dapat bertemu dengan-Nya di ujung jalan yang penuh pengorbanan ini. Melayani Tuhan mungkin memang tidak bisa membuat kita kaya raya, bahkan kita akan “merasa” kekurangan, tapi lewat pengalaman ini aku belajar bahwa sekalipun “merasa” lapar, Ia tidak akan membiarkan kita kelaparan.
Yohanes 14:3
“Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada.”
Leave a Reply